Indonesia punya peluang gantikan China masuk ke pasar AS
Terjadinya perang dagang AS-China berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi global. Seiring dengan penurunan volume perdagangan global sebagai konsekuensi dari kebijakan proteksionisme AS dan China.
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kemendag, Arlinda mengatakan, penerapan AS atas bea masuk untuk produk baja dari berbagai negara, termasuk Indonesia dan China, akan mematikan daya saing baja Indonesia dan China di pasar AS.
Sejatinya, rencana kebijakan ini masih tarik ulur dan belum menunjukkan kepastian. Kendati begitu, rencana pengenaan tarif diperkirakan dapat memicu retaliasi dari negara mitra dagang yang dirugikan, di antaranya Uni Eropa.
Uni Eropa sudah menyiapkan daftar barang impor dari AS yang akan dikenakan tarif sebagai bentuk retaliasi dengan total nilai sebesar US$ 3,5 miliar. Ada 350 barang impor produk pertanian dan produk industri dari AS yang masuk daftar retaliasi. Sementara China berencana melakukan tindakan retaliasi terhadap 128 komoditi impor dari AS termasuk kedelai dan gandum.
Bagi Indonesia, perang dagang AS-China akan mengganggu pasar ekspor misalnya ekspor baja dan aluminium. Dampak proteksionisme AS tersebut adalah terjadinya peningkatan ekspor baja dan aluminium dari China ke dunia termasuk Indonesia. Pasalnya China akan mencari pasar lain untuk barang produksinya. Pada Januari 2018 perdagangan Indonesia dan China terjadi peningkatan defisit sebesar 34,95%.
Seandainya China melakukan retaliasi terhadap AS dengan melarang impor kedelai dan gandum. Maka dampak yang sama akan terjadi. Di mana AS juga akan mencari pasar lain termasuk peningkatan ekspor ke Indonesia yang merupakan importir kedelai dan gandum.
Sehingga diperkirakan surplus Indonesia terhadap AS akan menurun. Pada periode Januari 2018, neraca perdagangan Indonesia ke AS mengalami surplus sebesar US$ 741 juta atau turun 13,64% dibanding periode yang sama 2017.
Hingga kini belum ada dampak yang cukup berarti terhadap perang dagang AS-RRT bagi dunia termasuk Indonesia. Namun fenomena ini harus diwaspadai karena salah satu dampak perang dagang AS-China adalah pengalihan pasar tujuan ekspor ke negara lain termasuk Indonesia.
Apabila itu terjadi, persaingan di dalam negeri akan semakin ketat karena produk China harganya jauh lebih murah. Produk AS kualitasnya lebih baik sehingga daya saing produk Indonesia harus meningkat. Agar dapat berkompetisi dengan produk impor baik dari segi harga dan kualitas. "Di sisi lain, pemerintah juga akan melakukan pengamanan perdagangan untuk melindungi produk dalam negeri dari persaingan yang tidak fair," jelas dia.
Slowdown perekonomian China sebagai counterpart dagang utama AS, pastinya sangat mempengaruhi ekspor negara-negara ASEAN. Termasuk Indonesia yang cukup bergantung pada ekspornya ke China. Perang dagang AS dan China dikhawatirkan akan mengganggu kinerja perdagangan Indonesia. Sebab, Indonesia akan kesulitan melakukan ekspor, serta negara-negara yang berseteru akan mengalihkan produknya ke negara lain termasuk Indonesia.
Sebagai contoh, perang dagang tersebut telah membuat ekspor baja dan alumunium termasuk dari Indonesia ke AS terganggu. Selain akan mengalami hambatan tarif di pasar AS atas produk baja dan aluminium. Indonesia berisiko menjadi negara peralihan pasar tujuan ekspor barang produk dari kedua negara itu.
Di lain pihak, beberapa produk ekspor unggulan Indonesia juga diekspor China. Di antaranya adalah TPT, alas kaki, furniture kayu, dan permesinan. Jika AS mengambil tindakan kebijakan impor atas produk-produk tersebut yang berasal dari China, maka produk Indonesia diperkirakan dapat mengisi supply yang kosong di pasar AS
Indonesia juga bisa mengambil peluang untuk menjadi pihak ketiga yang menjual produk AS dan China. Karena saat kedua negara melakukan perang dagang, maka tidak akan langsung bisa melakukan interaksi. Kedua negara, butuh negara lain untuk memasukan barang ke China atau ke AS.
Untuk itulah, produsen atau pelaku industri perlu menyiapkan strategi dan upaya agar tidak tergerus oleh derasnya tensi dagang yang akan terjadi. Para pelaku usaha harus kreatif dan inovatif dalam mencari celah untuk memanfaatkan peluang pada situasi terkini.
Para pelaku usaha Indonesia perlu mengamati produk-produk apa saja yang dapat dijadikan subtitusi bagi produk China di AS. Selain itu, Indonesia dapat menjadi mediator sehingga produk negara lain dapat masuk dulu ke Indonesia, kemudian dilakukan proses pembuatan nilai tambah untuk dilakukan ekspor kembali. Tentunya produk-produk yang akan direalisasikan harus memiliki daya saing dari sisi harga, kualitas maupun kuantitas.
Nilai total perdagangan Indonesia-AS selama 2017 mencapai US$ 25,9 miliar. Indonesia menikmati surplus neraca perdagangan pada 2017 tersebut sebesar US$ 9,6 miliar. Tren ekspor selama lima tahun terakhir (2013-2017) tumbuh sebesar 2,29% tiap tahunnya. Untuk tahun 2017, ekspor ke AS mencapai US$ 17,8 miliar atau meningkat 10,20% dari tahun 2016, dengan nilai ekspor migas sebesar US$ 645 juta dan nonmigas sebesar USD 17,1 miliar.
Nilai total perdagangan Indonesia-AS periode Januari 2018 juga surplus sebesar 14,43% dibanding Januari 2017, dari US$ 2,1 miliar meningkat US$ 2,4 miliar, di mana nilai ekspor nonmigas Indonesia ke AS periode Januari 2018 mencapai US$ 1,5 miliar, naik 8,18% dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Ada beberapa sudut pandang yang bisa digunakan untuk memandang pasar AS dan peluangnya bagi Indonesia. Keduanya menghasilkan kesimpulan yang relatif sama, yaitu masih terdapat peluang bagi produk ekspor Indonesia untuk masuk ke pasar AS.
Pertama, AS sebagai pasar yang mature. AS merupakan pasar tradisional bagi Indonesia, dengan demikian, sudah terbentuk struktur perdagangan sebagaimana saat ini terjadi. Pada pasar seperti ini, produk non-tradisional atau ceruk pasar dapat dimanfaatkan oleh Indonesia dengan memperhatikan tren, peraturan dan ketentuan yang ada.
Kedua, AS merupakan pasar yang besar dan plural. Secara industri dan perekonomian. Setidaknya AS terbagi dalam empat kawasan yaitu The West, The North East, The Midwest dan The South. Saat fokus pasar selama ini lebih ke kawasan The West dan The North East, masih ada peluang yang bisa digali di kawasan AS lainnya.
Melihat besar dan beragamnya pasar AS, sebenarnya banyak produk yang berpeluang masuk, jika bisa meningkatkan keunggulan kompetitif. Keunggulan tersebut bisa diperoleh dari kualitas yang baik, memenuhi standar dan ketentuan yang berlaku di negara tujuan, memenuhi tren dan selera konsumen, dan faktor yang tak kalah penting lainnya yaitu harga.
Tren go green dan sustainability merupakan tren yang cukup mempengaruhi pola konsumsi dan permintaan masyarakat. Oleh karena itu, eksportir dalam branding dan positioning produk baiknya memanfaatkan hal ini. Contohnya, produk-produk protein nabati seperti produk turunan kelapa meraih popularitas yang cukup baik.
Produk-produk berbasis kelapa digunakan untuk pengganti yang lebih sehat dari produk berbasis susu, misal santan dan air kelapa. Produk-produk makanan dan minuman lainnya juga cukup berpotensi mengingat konsumsinya yang diperkirakan terus meningkat, terutama untuk produk specialty food, yang baik untuk kesehatan dalam bentuk premium, organik dan natural.
AS juga mengalami aging population karena lebih dari 34% masyarakatnya adalah golongan usia tua dan diperkirakan akan terus meningkat. Pada kondisi ini, akan lebih banyak permintaan masyarakat untuk produk-produk kesehatan dan peralatan medis.
Adapun produk tradisional yang dipandang masih berpeluang dan harus dipertahankan pangsa pasarnya antara lain produk garmen atau pakaian jadi. Seperti diketahui selama ini garmen memang masih menjadi andalan ekspor Indonesia, termasuk ke pasar AS. Namun demikian, harus diwaspadai persaingan dengan negara-negara seperti Etiopia, Jordania, dan Mesir yang bea masuknya nol persen ke AS.
Standar juga merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memasuki pasar Amerika. Standar yang berlaku di AS adalah ASTM (American Society for Testing and Material) yang kurang lebih setara dengan standar yang berlaku di Eropa (EN), bahkan standar Amerika tergolong lebih ringan dari standar EN yang diterapkan Eropa. Dengan demikian, produk yang telah memenuhi standar Eropa juga sekaligus memenuhi standar yang ditetapkan AS.
Lantas seperti apa upaya pemerintah untuk mewujudkannya? Ada beberapa langkah yang akan dilakukan. Pemerintah teurs mengupayakan agar produk-produk Indonesia tetap mendapat Generalized System Preference (GSP). Saat ini, Indonesia masih menjadi salah satu negara beneficiaries GSP (penerima manfaat Generalized System Preference).
Dengan demikian, Indonesia menerima keringanan bea masuk untuk ribuan produk dalam kategori HS 8 digit yang ditetapkan AS. Dari ribuan jumlah tersebut, terdapat fasilitas GSP yang ditarik seperti tembakau, produk turunan lemak dan biodiesel, produk kimia, ban, plywood dan produk kayu, alumunium, dan alat pendidih.
Daftar produk yang mendapat fasilitas GSP tersebut dalam kategori produk HS 8 digit. Dengan memanfaatkan fasilitas GSP diharapkan produk Indonesia lebih berdaya saing dalam memanfaatkan peluang pasar di AS.
Pemerintah juga melakukan pendekatan agar dikeluarkan dalam negara yang tidak terkena tindak proteksi AS. Ini dilakukan karena Indonesia termasuk negara yang surplus neraca perdagangannya dengan AS.
Melakukan tindak pengamanan perdagangan untuk produk-produk Indonesia yang terkena trade remedies di AS baik secara bilateral maupun di World Trade Organization (WTO).
"Selanjutnya, Perwakilan Perdagangan Indonesia di AS dan negara-negara mitra dagang Indonesia lainnya akan terus mengamati peluang pasar dan menginformasikannya kepada para pelaku usaha dalam negeri dalam rangka memfasilitasi peningkatan ekspor Indonesia," papar dia.
Sebelumnya, Ketua Umum Apindo, Hariyadi B Sukamdani, mengaku, peluang itu masih tetap ada. Tetapi kemungkinannya sangat kecil. Mengingat banyak negara yang juga berkeinginan meningkatkan pasarnya di AS.