Pemerintah Indonesia telah mengantongi lima firma hukum calon penggugat Uni Eropa (UE) atas diskriminasinya terhadap produk minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation/WTO).
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menyatakan, sebelumnya pihaknya sudah menerima sebanyak sembilan firma hukum ternama yang mendaftarkan diri untuk mewakili pemerintah RI dalam gugatan tersebut.
Kini, pemerintah telah mengerucutkan kandidat-kandidat tersebut menjadi lima firma hukum saja sebelum akhirnya dipilih satu atau lebih firma hukum sebagai penggugat utama.
"Sudah mengerucut menjadi lima firma hukum, semuanya berstandar internasional. Namun, firma hukum mana yang mewakili masih harus kita konsultasikan lagi dengan tim ahli yang kita bentuk, apakah satu saja atau konsorsium atau bagaimana," ujar Oke di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Rabu (19/6).
Saat dikonfirmasi tenggat waktu penunjukkan firma hukum penggugat, Oke enggan membeberkannya. Oky menjelaskan proses gugatan akan panjang dan bisa memakan waktu selama enam bulan hingga satu tahun.
"Yang pasti segera, dalam waktu dekat, sudah dibentuk Surat Keputusan, dan akan segera ditandatangani,” kata dia.
Lebih lanjut, Oke menjelaskan bahwa proses gugatan ke WTO menjadi tanggung jawab penuh pihak firma hukum terpilih. Sehingga Oke belum bisa menerangkan pokok-pokok gugatan yang akan dilayangkan terhadap UE di WTO.
"Firma hukum terpilih yang menyiapkan materi-materi gugatannya, jadi mereka yang tau pasal-pasal mana saja yang akan kita gugat dan menggunakan apa, bahkan seberapa jauh kesiapan kita," tuturnya.
Sementara, pihaknya bertanggung jawab dari segi anggaran. Meski demikian, ia enggan membeberkan sumber anggaran yang bakal dicairkan atas proses gugatan tersebut.
"Nanti saja itu," ucapnya.
Adapun gugatan yang hendak dibawa pemerintah RI ke WTO terkait aturan pelaksanaan atau The Delegated Act dari kebijakan Arahan Energi Terbarukan II (Renewable Energy Directive/RED II).
Kebijakan ini akan menghapus penggunaan produk CPO di Benua Biru hingga mencapai 0% hingga tahun 2030.
Selain itu, beleid ini bukan hanya melarang penuh penggunaan produk sawit, melainkan juga menempatkan CPO dalam daftar komoditas berisiko untuk kepentingan bahan bakar nabati atau High and Low ILUC Risk Criteria on biofuels.
Hal ini jelas merugikan bagi kepentingan nasional sebagai pengekspor sawit. Mengingat, Eropa merupakan negara tujuan ekspor produk sawit RI kedua setelah India.
Nilai ekspor komoditas tersebut ke Eropa sanggup mencapai 4,78 juta ton per tahun dari total ekspor sawit sebesar rata-rata 34,71 juta ton sawit.
Selain Indonesia, negara-negara penghasil minyak kelapa sawit lainnya yang tergabung dalam Misi Gabungan Negara-Negara Penghasil Minyak Kelapa Sawit (Council of Palm Oil Producing Countries/CPOPC) juga telah sepakat untuk bersama-sama melawan kebijakan tersebut. Negara yang tergabung dalam CPOPC terdiri dari Indonesia, Malaysia, dan Colombia.
Ketiganya meyakini bahwa diskriminasi sawit dimunculkan untuk mengisolasi dan mengecualikan minyak sawit dari sektor energi terbarukan. Hal ini dilakukan demi keuntungan minyak rapa (rapeseed oil) asal UE dan minyak nabati lainnya yang kurang kompetitif dibanding sawit.