close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) memproyeksi Indonesia masih sulit lepas dari jerat utang sepanjang periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo. / Pixabay
icon caption
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) memproyeksi Indonesia masih sulit lepas dari jerat utang sepanjang periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo. / Pixabay
Bisnis
Selasa, 15 Oktober 2019 21:02

Indonesia sulit lepas dari jerat utang di era Jokowi

Bank Indonesia menyatakan utang Luar Negeri (ULN) Indonesia hingga akhir Agustus 2019 mencapai US$393,5 miliar atau naik 8,8% year-on-year.
swipe

Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) memproyeksi Indonesia masih sulit lepas dari jerat utang sepanjang periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Keyakinan itu ditarik lembaga ini berdasarkan ketidakmampuan pemerintah selama ini dalam meningkatkan pendapatan negara seiring dengan pembangunan infrastruktur yang sudah jadi dari utang tersebut.

"Apabila pemerintah belum juga bisa memiliki inovasi dalam meningkatkan pendapatan negara, Indonesia bakal sulit lepas dari jerat utang," ujar Peneliti Seknas Fitra Gulgino Guevarrato dalam diskusi publik bertajuk Habis Gelap Terbitlah Kelam di Upnormal Coffee, Jakarta Pusat, Selasa (15/10).

Sebagaimana diketahui, salah satu faktor utama pertumbuhan utang negara yang kian subur setiap tahunnya berasal dari target pembangunan infrastruktur yang pada periode kemimpinan Jokowi sebelumnya begitu digencarkan. Hingga akhir 2018, total utang pemerintah pusat mencapai Rp4.418,30 triliun atau tumbuh 10,59% dibanding tahun sebelumnya yang sebesar Rp3.995,25 triliun. 

"Bila dibandingkan lagi dengan pertumbuhan utang sebelum masa kepemimpinan awal Jokowi, pertumbuhannya bahkan mencapai 69,36% dari total utang 2014 yang sebesar Rp2.608,78 triliun," katanya.

Demikian pula dengan melesatnya penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) berdenominasi valuta asing (valas). Padahal, kebijakan tersebut sangat berisiko terutama terhadap gejolak nilai tukar rupiah yang pada akhirnya akan mengakibatkan bengkaknya beban pembayaran bunga utang negara. Nilai tukar rupiah selama ini saja cenderung selalu terdepriasi.

"Kalau kita lihat ke belakang, porsi SBN valas kita masih sekitar 19,46% dari total SBN. Namun, pada tahun-tahun berikutnya komposisi SBN valas semakin bertambah hingga mencapai 27,99% pada akhir 2018, ini kan berbahaya," tuturnya.

Sedangkan, dari total outstanding SBN rupiah yang sebesar Rp2.419 triliun, yang dapat diperdagangkan adalah sekitar 90,79% nya dan pemilik mayoritasnya adalah investor asing.

"Dominasi investor asing memang mencerminkan kepercayaan investor global terhadap perekonomian domestik, namun besarnya porsi kepemilikan asing tersebut mengandung risiko yang tidak kecil karena akan menyebabkan pasar SBN sangat rentan terhadap aksi penarikan dana secara besar-besaran dan tiba-tiba," ucapnya.

Untuk itu, pemerintah diimbau agar dapat lebih memperhatikan prioritas utangnya agar dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.

"Peruntukan utang harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan dapat lebih mendorong pertumbuhan ekonomi kita," ujarnya.

Aksi represif aparat kepolisian pada sejumlah aksi unjuk rasa dinilai sebagai salah satu indikator kemunduran demokrasi. / Antara Foto

Demokrasi mundur

Sementara itu, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) meyakini bahwa kondisi demokrasi Indonesia dalam masa lima tahun kepemimpinan Presiden Jokowi ke depan bakal semakin mengalami kemunduran. 

Hal itu terjadi mengingat semakin terbatasnya ruang kebebasan berekspresi dan berpendapat yang diberikan kepada masyarakat terutama sepanjang era digital ini.

"Pemerintah dalam hal ini sangat mundur melaksanakan demokrasi di era digital," ujar Peneliti Elsam Lintang Setianti pada kesempatan yang sama.

Lintang menjelaskan bahwa proyeksi itu sebenarnya telah terbaca dari sejumlah peraturan perundang-undangan maupun kebijakan yang digunakan pemerintah dalam kurun waktu belakangan ini kebanyakan ditujukan untuk mengkriminalisasi praktik-praktik kebebasan berekspresi yang sah baik secara langsung (offline) maupun secara daring (online).

"Dalam kurun waktu enam bulan terakhir saja, pemerintah kita lihat sudah melakukan instruksi secara tidak sah terhadap pembatasan mengakses internet seperti yang terjadi di sebagian wilayah DKI Jakarta pada 22-25 Mei lalu, juga di Papua dan Papua Barat serta di Wamena, pendekatan represif itu dilakukan dengan dalih mencegah penyebarluasan hoax dan disinformasi tapi pada saat yang sama sejumlah akun media sosial Pemerintah justru menjadi biang penyebaran propaganda tersebut," tuturnya.

Pada kesempatan lain, pemerintah juga sering kedapatan menangkapi sejumlah aktivis dengan berbagai tuduhan mulai dari penyebarluasan berita palsu, ikut serta dalam perusakan, hingga makar. Praktik kriminalisasi itu disahkan oleh negara salah satunya lewat peraturan seperti TAP MPRS No. XXV tahun 1996 dan UU No.27 tahun 1999 tentang larangan penyebaran ajaran komunisme atau marxisme atau leninisme, serta pasal-pasal makar dalam KUHP Pasal 27 (1) dan (3) UU ITE tentang pencemaran nama baik dan kesusilaan.

Pasal karet lainnya yang juga kerap digunakan pemerintah ialah Pasal 28 (1) dan Pasal (2) UU ITE tentang berita bohong dan ujuran kebencian serta Pasal 156 dan 156a KUHP tentang penodaan agama.

"Pengambil kebijakan baik di tingkat eksekutif maupun legislatif juga tidak memperlihatkan komitmen yang kuat untuk mengubah ketentuan pasal-pasal problematik di dalam UU tersebut. Faktanya, bentuk-bentuk represi dari aparat penegak hukum justru bersandar pada keberadaan aturan-aturan itu," katanya.

Selanjutnya, rencana pemerintah dan DPR RI untuk mengesahkan Rancangan UU tentang KUHP pada masa akhir jabatan juga semakin memperlihatkan kemunduran besar bagi demokrasi dan HAM di Indonesia sejak reformasi.

"Beberapa pasal di dalam RKUHP akan mengancam kualitas penikmatan kebebasan berekspresi warga negara apabila disahkan menjadi UU, terutama untuk Pasal 218-220, pasal 246 dan 247, pasal 262 dan 263, pasal 281, pasal 304, pasal 439, pasal 442, dan pasal 445. Apabila UU itu disahkan, maka RKUHP memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi ancaman serius bagi warga negara terutama bagi kelompok minoritas di Indonesia," ucapnya.

Menurut Lintang, bukan hanya RKUHP saja yang berpotensi mengancam, rencana penyusunan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber juga memberikan ruang gerak yang sangat luas bagi pemerintah untuk mengontrol aktivitas daring masyarakat.

Beberapa ketentuan yang membatasi tersebut antara lain terkait dengan penapisan konten dan aplikasi internet yang bersifat destruktif atau negatif dan kewenangan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk melakukan deteksi dini dengan menginstruksi sistem elektronik.

"Hal itu yang justru memberikan gambaran yang cukup jelas bahwa kualitas kebebasan berekspresi di Indonesia dalam lima tahun ke depan tidak akan bergerak ke arah yang lebih baik. Harusnya pemerintah hadir bukan untuk membatasi namun bisa memberi argumen yang bijak bila memang ada serangan disinformasi di ruang publik, dengan demikian masyarakat bisa semakin kritis dengan beragam informasi yang muncul," ujarnya.

img
Soraya Novika
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan