Indonesia surga baru bagi produsen elektronik dunia
Perang dagang Amerika Serikat dan China mendorong sejumlah produsen di dunia mengubah peta bisnisnya. Salah satu strategi yang dilakukan yakni memindahkan pabrik-pabriknya ke negara berkembang seperti Indonesia yang dipercaya tidak begitu terdampak perang antara dua negera tersebut.
Beberapa perusahaan elektronik ternama bahkan sudah menyatakan komitmen untuk merelokasi pabrik ke Indonesia. Sebut saja Sharp, Apple, dan Panasonic.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong menyatakan Indonesia bersaing sengit dengan banyak negara dalam menggarap relokasi pabrik dari China.
Thomas menjelaskan pemerintah Indonesia melalui BKPM dan Kementerian Perindustrian terus gencar mendorong agar Tiongkok mau merelokasi industri mereka ke Tanah Air.
Salah satu pemasok utama Apple, yakni Pegatron, telah berhasil merelokasi pabrik mereka ke Batam dengan menginvestasikan US$40 juta dan akan menghasilkan potensi ekspor hingga US$1 miliar per tahun.
Kementerian Perindustrian juga sedang berkomunikasi dengan satu pemasok Apple, yaitu Compal, untuk relokasi ke Indonesia. Ada dua pemasok utama Apple yang memilih ke India yaitu Foxconn dan Wistron.
“Memang kita menghadapi persaingan sengit untuk bisa menggarap relokasi pabrik dari Tiongkok," ujarnya.
Thomas menuturkan arahan untuk menggarap peluang relokasi pabrik dari Tiongkok karena imbas perang dagang telah diberikan langsung oleh Presiden Jokowi sejak triwulan III-2018.
Oleh karena itu, delegasi BKPM dan Kemenperin rutin berkunjung ke sentra mebel Tiongkok di Dongguan agar bisa merelokasi pabrik mereka ke Indonesia.
Di sisi lain, terlepas dari imbas perang dagang, Thomas menyebut relokasi industri ke luar Tiongkok sudah sepatutnya terjadi saat ini lantaran kondisi negeri tirai bambu yang disebutnya sudah tidak kondusif terhadap industri padat karya.
"Memang sudah waktunya Tiongkok mengembalikan pabrik-pabrik yang dulu diambil dari negara-negara Asia Tenggara 20 tahun lalu. Jumlah tenaga kerja di Tiongkok mulai berkurang, struktur perekonomiam Tiongkok tidak lagi kondusif untuk industri padat karya. Sekarang mereka ke sektor jasa bernilai tinggi dan sektor padat modal," kata dia.
Pasar dan basis produksi
Sebelumnya, perusahaan elektronik Jepang, Panasonic, merelokasi produksi pengatur suhu dalam ruang (AC) berkapasitas besar 2PK dan 2,5 PK ke pabrik PT Panasonic Manufacturing Indonesia yang di Jalan Raya Bogor, Jakarta.
Presiden Komisaris PT Panasonic Manufacturing Indonesia (PMI) Rachmat Gobel mengatakan relokasi pabrik AC dari Malaysia ke Indonesia ini membuktikan Indonesia tidak sekedar pasar yang besar, tapi juga basis produksi elektronik yang penting bagi Panasonic.
"Akhir tahun kami akan ekspor AC ke Nigeria," kata Rachmat Gobel.
Rachmat juga mengatakan pencapaian tersebut tidak lepas dari keterampilan sumber daya manusia yang ada di pabrik PT Panasonic Manufacturing Indonesia, sehingga dipercaya untuk produksi AC ukuran besar.
"Dengan relokasi ini, diperkirakan bisa mengurangi impor produk AC senilai Rp300 miliar," ujar dia.
Rachmat Gobel juga mengungkapkan bahwa pabrik tersebut tidak hanya memproduksi barang elektronik Panasonic tetapi juga telah menjadi produsen untuk Original Equipment Manufacturing (OEM) untuk sejumlah merek di antaranya Sanken, I Cool, dan Chimei (Taiwan).
Dongkrak ekspor
Sementara itu, Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah berharap relokasi pabrik ke Indonesia bisa meningkatkan angka produksi dan nilai ekspor dari tanah air.
"Ada lima prioritas pengembangan Industri 4.0 yaitu sektor otomotif, elektronik, kimia, makanan dan minuman, serta tekstil. Kelima ini memiliki daya ungkit ekspor yang besar," katanya.
Airlangga menyatakan saat ini impor elektronik masih besar karena meskipun Indonesia kuat dalam produksi elektronik rumah tangga (home appliances), namun masih impor untuk smartphone dan device untuk Internet of Things (IoT).
"Target kami untuk industri elektronik adalah memperkuat subtitusi impor dan meningkatkan ekspor," ujar Airlangga.
Airlangga juga berharap perusahaan seperti Panasonic Corp meningkatkan investasinya di Indonesia karena pemerintah telah menyiapkan insentif pajak, tax allowance.
Bonus demografi dan tenaga kerja
Dihubungi secara terpisah, Direktur Penelitian Center of Reform on Economics ( CORE) Piter Abdullah menilai Indonesia menarik bagi para produsen elektronik terkemuka. Hal ini disebabkan ketersediaan pasar dan sumber daya manusia yang berlimpah.
Selain itu, Indonesia jelas memiliki pasar yang besar. Dari 260 juta penduduk Indonesia, sebanyak 60 jutanya adalah kelas menengah ke atas. Jika dibandingkan dengan penduduk Malaysia saja jumlahnya tiga kali lipatnya.
“Itu kalau penduduk malaysia itu kaya semua, kita masih lebih besar. Sangat menarik, itu yang menggoda investor masuk ke indonesia ditambah kekayaan sumber daya kita yang bisa menjadi penopang dari industri itu sendiri,” katanya kepada Alinea.id.
Dengan demikian, lanjut Piter, memindahkan produksi ke Indonesia merupakan keputusan strategis karena mendekatkan produsen ke konsumen. Sehingga, akan menciptakan efisiensi dan menambah daya saing dengan produk lainnya.
Sementara, dari sisi produksi, Indonesia memiliki sumber daya yang berlimpah, baik bahan baku maupun tenaga terampil. Jika dibandingkan dengan negara di Asia Tenggara lainnya seperti Thailand dan Vietnam, tenaga kerja Indonesia jauh lebih banyak.
“Beberapa negara ketersedian tenaga kerja tidak berlimpah seperti kita. Thailand itu bahkan kekurangan tenaga kerja. Dan tenaga kerja kita sebenarnya cukup terampil. Terutama di elektronik,” ucapnya.
Ia pun mengatakan dari segi harga tenaga kerja yang dimiliki oleh Indonesia masih lebih kompetitif dibandingkan Vietnam. Hanya saja, lanjutnya, patokan yang diambil seharusnya bukan daerah Jabodetabek, karena harganya pasti tinggi.
“Tapi kalau dibandingkan dengan upah yang ada di Jawa Tengah itu upah minimum kita masih rendah. Kita masih bisa unggul lah di tingkat upah,” ujarnya.
Namun demikian, kata Piter, dari sisi tenaga kerja bukan tanpa kendala. Ia mengatakan, regulasi ketenagakerjaan yang ada belum mampu memberikan kepastian bagi para investor. Tuntutan kenaikan upah dari para pekerja, katanya, kerap mengkhawatirkan para investor.
“Sekarang kan tuntutannya kenaikan upah itu kan tidak main-main. Kenaikan upah minimum itu bahkan bisa 20%-30%, itu yang ditakutkan. Belum lagi aturan pemutusan hubungan kerja (PHK),” katanya.
Selain itu, kata Piter, hal yang paling menarik bagi investor adalah suntikan insentif pajak. Pemerintah sudah memberikan insentif seperti super deduction tax.
“Sekarang itu bagaimana kita menghilangkan faktor penghambat dari realisasi investasi itu,” tuturnya.
Industri baru dan turunan
Lebih lanjut, Piter mengatakan masih ada beberapa hal yang menghambat investasi masuk ke Indonesia, di antaranya sulitnya pembebasan lahan, konsistensi kebijakan, koordinasi pusat-daerah, perburuhan dan pengupahan, serta perizinan.
“Itu yang harusnya dituntaskan. Kalau itu dilakukan saya kira investasi kita bisa melaku kencang sekali,” ujarnya.
Menurut Piter, dengan beroperasinya sejumlah pabrik elektronik ini akan membawa keuntungan yang saling tersambung secara vertikal dan horizontal. Relokasi pabrik ini, kata dia, berpotensi melahirkan industri-industri lain yang terkait sehingga menyerap banyak tenaga kerja.
“Industri lanjutannya bahkan dari hulu sampai ke hilir,” kata dia. (Ant)