Unjuk gigi industri fesyen angkat budaya daerah lewat marketplace
Wiwit Mulyani terbiasa mengenakan busana batik dalam kesehariannya. Tak hanya sekadar hobi, batik menjadi kebutuhan untuk pekerjaannya. Meski sesekali, perusahaannya mengizinkan karyawan berpakaian kasual.
“Untuk batik, kadang saya memakai baju, rok, celana, atau cuma yang berbentuk scarf. Seringnya sih baju sama scarf,” kata perempuan 27 tahun itu kepada Alinea.id, Selasa (29/6).
Wiwit atau yang karib disapa Mbak Wied menjelaskan, ada kebanggaan tersendiri saat dirinya mengenakan busana batik. Dengan memakai batik, dia bisa memperkenalkan kain yang telah diakui United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) kepada wisatawan, baik lokal maupun mancanegara yang datang untuk mempelajari budaya khas Purworejo.
“Dalam setiap gambar yang ada di kain batik mempunyai maknanya sendiri-sendiri dan orang biasanya enggak tahu itu. Nah, dengan pakai batik, aku bisa jelasin ke mereka,” kata pengajar seni batik dan kriya di salah satu Dinas Pariwisata dan Kebudayaan di Jawa Tengah itu.
Tak hanya di tempat kerja, batik juga menjadi busana rumah dalam bentuk daster atau baju tidur.
“Kalau mbukak (membuka) lemari, memang yang paling banyak isinya batik,” ujarnya sembari berkelakar.
Saat duduk di bangku kuliah, dia sering membuat sendiri busana batik maupun kain songket. Namun, dengan padatnya jadwal pekerjaannya sekarang, Wied lebih memilih untuk membeli busana batik maupun kain songket dari lapak online di marketplace seperti Tokopedia.
Berbeda dengan Wiwit, Kaka (25) justru lebih gemar mengoleksi baju, kain, hingga pernak-pernik khas dari berbagai daerah di Indonesia. Hal itu sejalan dengan kecintaannya menjelajahi berbagai daerah, utamanya pelosok-pelosok negeri.
Dia selalu menyempatkan diri mengunjungi pusat oleh-oleh atau pasar tradisional yang ada di kota atau daerah yang sedang dikunjunginya. Kebiasaannya itu membuat ratusan baju atau kerajinan khas dari berbagai daerah berjejer di rumahnya.
Gara-gara pandemi, konsultan hukum di Jakarta Selatan itu mau tak mau harus menghentikan hobi bepergiannya untuk sementara.
“Untuk sekarang, saya membeli (suvenir) secara online di marketplace,” imbuhnya.
Menjaga tradisi lewat fesyen
Perancang Busana Taruna K. Kusmayadi menjelaskan, menjaga dan merawat tradisi yang telah mengakar di Indonesia bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya melalui fesyen. Bahkan menurutnya, dengan sifat fesyen yang tak lapuk dimakan zaman, pelestarian budaya melalui busana adalah cara yang sangat tepat.
Dengan adanya pergeseran pola pikir dan gaya hidup masyarakat, saat ini pelestarian budaya melalui busana tidak hanya dilakukan oleh pelaku industri fesyen saja. Namun juga oleh para fashion enthusiast (pegiat fesyen).
“Makanya, pasar untuk fesyen dengan corak lokal atau kedaerahan itu akan selalu ada,” katanya saat berbincang dengan Alinea.id, Senin (28/6).
Pasar fesyen dengan corak kedaerahan diprediksi akan semakin besar. Hal itu seiring dengan banyaknya orang-orang yang berpikir bahwa melestarikan budaya adalah satu hal yang harus dilakukan.
Meski begitu, sama halnya dengan model fesyen kebanyakan, busana dengan corak kedaerahan pun akan mengalami pergeseran tren. Jika sebelumnya pakaian memiliki corak atau gambar khas daerah yang berukuran cenderung besar, nantinya para fashionpreneur akan memperkecil ukuran corak-corak tersebut.
“Perubahan terjadi karena sasaran pasarnya bukan cuma orang daerah setempat saja, tapi seluruh Indonesia, bahkan dunia,” ucapnya.
Salah satu brand lokal yang melakukan upaya pelestarian budaya lewat busana adalah Tioria by Camaria. Merek ini dirintis oleh Thekla Odelia Caramia.
Mengenyam pendidikan seni desain dan fesyen di Italia dan Amerika Serikat tak membuat kecintaan Caramia terhadap Indonesia luntur. Dara 29 tahun itu justru berpikir untuk membuat sebuah produk yang bisa memperkenalkan budaya khas nusantara, melalui Tioria by Caramia.
Dengan bermodal sekitar Rp50 juta, Tioria pun lahir pada 2017 dengan produk-produk yang terbuat dari batik cap. Namun, seiring berjalannya waktu, Caramia memutuskan untuk memiliki produk autentik yang juga disenanginya. Sebagai seniman dan lama tinggal di Jakarta, membuatnya melihat Ibu Kota melalui sisi lain yang lebih nyentrik dan artistik.
Segala hal dari keindahan sampai kesemrawutan Jakarta menjadi inspirasi yang dipersepsikan dengan motif penuh warna lewat produk fesyen.
“Hal yang menarik dari Jakarta adalah kemacetannya. Dari situ aku menemukan banyak unsur budaya dan cerita keren yang relate dengan Betawi. Ada ondel-ondel, asinan, Kota Tua, dan masih banyak lagi,” ujarnya, kepada Alinea.id, Rabu (30/6).
Awalnya, Caramia membuat produk yang mudah untuk dijadikan sebagai kado atau oleh-oleh seperti scarf. Lama-lama, produk Tioria yang bergaya pop art dan menggunakan warna-warna cerah semakin berkembang. Kini, Camaria menghadirkan keunikan Jakarta seperti moda transportasi bajaj dan becak dalam berbagai desain busana sampai aksesoris pelengkap.
“Misalnya, scarf, bandana, dompet, tas, dan masker,” kata dia.
Tak hanya di dalam negeri, nilai Indonesia yang digambarkan Tioria juga disukai di pasar mancanegara. Camaria menuturkan, berkat kesempatan dari Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan pemerintah daerah, Tioria pernah mengikuti pameran di Bali, Shanghai, hingga beberapa waktu lalu, di Los Angeles.
Berbekal pengenalan produk dari bazar ke bazar dan juga media sosial, Tioria berhasil mencatatkan omzet rata-rata hingga Rp30 juta setiap bulannya.
Namun, dengan adanya pandemi Covid-19, bisnis yang dijalankan Caramia harus menelan pil pahit. Tidak adanya bazar selama pagebluk, praktis membuat penjualan Tioria menurun hingga 70%. Berusaha bangkit, Caramia pun mulai fokus penjualan produknya ke pasar digital, dengan menggandeng Tokopedia.
“Sebelumnya sudah join dengan Tokopedia sejak akhir 2018 atau awal 2019, tapi baru fokus ke sana pas pandemi,” jelasnya.
Dia mengelola toko online-nya dengan perencanaan yang matang, seperti meng-update foto, membuat tampilan toko online terlihat menarik, mengikuti program-program yang diselenggarakan oleh Tokopedia hingga mengikuti kampanye Bangga Buatan Indonesia (BBI) yang dicanangkan pemerintah.
Buntutnya, omzet Tioria mengalami kenaikan hingga tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Dari total tersebut, 60% di antaranya berasal dari penjualan melalui Tokopedia. Tak hanya itu, cakupan penjualan Tioria sejak bergabung dengan platform digital pun semakin luas.
Jika sebelumnya hanya terbatas pada pasar Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) dan Jawa, kini Caramia bisa mengirim produknya sampai ke Nusa Tenggara Timur (NTT) dan juga Makassar.
“Tapi tetap, masih banyak dan dominan dari pulau Jawa dan Jabodetabek,” tuturnya.
Bisnis suvenir laris manis
Selain Tioria, ada CariSouvenir yang juga mengusung budaya lokal. Brand ini dirintis oleh Ukrumah Suda. Bisnis yang bermula pada 2014 itu menggandeng perajin lokal dari berbagai wilayah di Jawa, termasuk dari Yogyakarta, Pekalongan, Jepara, hingga Bali.
“Kami memproduksi sendiri berbagai produk suvenir termasuk ondel-ondel, mulai dalam varian boneka kayu, magnet kulkas, gantungan kunci, hingga alat musik Karimba. Bahan kayu dan cat yang kami gunakan legal dan ramah lingkungan,” katanya.
Selain melakukan inovasi produk secara berkala, Ukrumah juga memanfaatkan platform digital seperti Tokopedia untuk memasarkan produknya.
“Lewat Tokopedia, CariSouvenir bisa dikenal lebih banyak masyarakat, termasuk dari Yogyakarta, Jawa Timur, Batam, Aceh, Balikpapan, Bali hingga Gorontalo. Ini tentunya berdampak pada omzet kami yang mencapai Rp60 juta,” terangnya.
Lesu
Sementara itu, Direktur Kuliner, Kriya Desain dan Fesyen Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Yuke Sri Rahayu mengakui, kinerja industri fesyen nasional selama pandemi turun tajam.
Mengutip data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), sepanjang 2020 industri Kimia, Tekstil, dan Farmasi 2020 masih mengalami kontraksi minus 1,49% dengan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,48%. Kemudian nilai ekspor sektor ini mencapai 33,99% dari total ekspor nasional. Sementara untuk industri tekstil dan pakaian jadi hanya mencapai US$10,62 miliar dalam periode yang sama.
Tahun | PDB tekstil dan pakaian jadi | Pertumbuhan tahunan tekstil dan pakaian jadi |
2016 | Rp143,55 triliun | -0,1% |
2017 | Rp150,54 triliun | 3,8% |
2018 | Rp168,55 triliun | 8,8% |
2019 | Rp200,02 triliun | 15,3% |
2020 | Rp186,63 triliun | -8,9% |
Padahal, sebelum pandemi, industri kreatif membuktikan diri sebagai sektor yang produktif dengan menyumbang devisa hingga Rp1.200 triliun pada 2019. Fesyen masuk di dalamnya, bahkan menjadi kontributor terbesar kedua setelah kuliner.
“Namun, Covid-19 menghantam sektor ini yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja ribuan karyawan hingga sejumlah pabrik berhenti beroperasi,” katanya, kepada Alinea.id, Senin (29/6).
Karenanya, untuk bisa kembali berdiri, brand lokal harus punya visi yang besar. Sebab, kalau masalah modal dan kemampuan, Yuke yakin para pelaku industri mode telah memilikinya.
“Segala kekayaan bangsa itu harus diakselerasi dengan inovasi dan kreativitas agar menjadi produk yang relevan dengan tren saat ini,” imbuhnya.
Selain itu, pemilik usaha juga wajib memutar otak agar brand-nya bisa menonjol. Ini hanya bisa terjadi jika pelaku industri dapat menerobos pasar luar atau global. Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan teknologi digital yang saat ini telah berkembang.
“Covid membuat era digital terakselerasi secara cepat, mau enggak mau pelaku industri harus masuk ke platform digital jika mau survive (bertahan),” tegas dia.