Pertumbuhan industri makanan dan minuman (mamin) hingga akhir 2019 diprediksi jauh dari target sebesar 9%. Pasalnya, hingga September 2019, industri mamin hanya tumbuh sebesar 7,72%.
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim mengatakan perlambatan pertumbuhan tersebut disebabkan oleh perilaku wait and see para investor akibat dari situasi politik nasional saat pemilihan presiden dan anggota legislatif.
"Pada semester I ada pileg dan pilpres sehingga investor agak sedikit mengerem (investasi), wait and see, setelah semester I mulai tumbuh signifikan," katanya di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin (11/11).
Namun demikian, dia mengatakan, pertumbuhan industri mamin pada kuartal III-2019 sebesar 8,33% atau meningkat dibandingkan periode yang sama pada 2018 sebesar 8,10%.
"Ini sudah lebih tinggi daripada tahun 2018. Mudah-mudahan kuartal IV bisa lebih tinggi lagi," ujarnya.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, realisasi investasi industri makanan dan minuman periode Januari hingga September 2019 mencapai Rp26,39 triliun untuk penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan US$1 miliar untuk penanaman modal asing (PMA).
Sementara, untuk ekspor produk makanan dan minuman, termasuk kelapa sawit, pada periode Januari hingga September 2019 sebesar US$19,31 miliar dengan nilai impor sebesar US$ 8,78 miliar.
"Sehingga neraca perdagangan masih dinilai positif," ucapnya.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi), Adhi S Lukman menyebut industri mamin tidak tumbuh sesuai target karena masih banyaknya regulasi yang memberatkan bagi investor.
"Presiden sudah tepat terkait regulasi bagaimana memperbaiki yang menghambat harus dihapus. Karena bagaimanapun regulasi ini sangat menjadi beban dan biaya ujung-ujungnya," ucap Adhi.
Selain itu, persoalan logistik masih membayangi industri dalam negeri, ongkos yang mahal masih menjadi kendala. Apalgi, kata dia, kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang naik tiap tahun juga membuat biaya meningkat.
Adhi mengatakan, jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, kenaikan UMP di Indonesia cukup rutin sementara negara lainnya tidak naik setiap tahun seperti di Indonesia. Akan tetapi, dia mengatakan, pelaku usaha setuju adanya kenaikan asalkan juga dibarengi dengan peningkatan produktivitas.
"Kami setuju bahwa pekerja harus meningkat pendapatannya, tapi produktivitasnya juga harus ditingkatkan. Supaya cost per unitnya jadi murah jadi turun," ujarnya.
Adhi pun mengatakan, perlu adanya reformasi mengenai rumus penghitungan kenaikan upah, bukan lagi berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi, tetapi memasukan komponen produktivitas.
"Kenaikan upah bukan berdasarkan asal naik aja atau berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi tapi harusnya berdasarkan produktivitas supaya semuanya terdorong," jelasnya.
Adhi pun menuturkan, seharusnya industri mamin dalam negeri dapat tumbuh double digit. Pasalnya, dari negara-negara di Amerika, Afrika, Uni Eropa, dan Australia, kebutuhan impor mamin sangat besar, namun Indonesia paling tinggi hanya mampu memenuhi 6% sampai 7% saja.
"Kita masih kalah dengan negara ASEAN lainnya seperti Thailand dan bahkan the new rising star Vietnam," katanya.
Namun demikian, dia mengatakan, hingga tutup tahun 2019 dia masih optimis pertumbuhan industri mamin dapat tumbuh sebesar 8%.
"Mudah-mudahan di akhir tahun ini bisa mengejar. Kira-kira bisa 8%-an lah," ujarnya.