Peluang industri makanan setelah Cheetos dkk hilang di pasaran
Tiga merek snack terkenal, Lays, Cheetos dan Doritos bakal hilang di pasaran. Ketiga camilan keripik ini dikabarkan tak lagi berproduksi di Indonesia mulai Agustus 2021 hingga tiga tahun ke depan.
Bagi Wardhani (30), makanan ringan bermerek Cheetos bukan hanya sekadar keripik jagung renyah. Camilan gurih dengan aneka varian mulai dari jagung bakar hingga BBQ steak ini, telah membersamainya sejak masa kecil.
Menurut perempuan asal Semarang, Jawa Tengah ini, jenama Cheetos memiliki kenangan tersendiri di tiap fase kehidupannya. Mulai dari anak-anak, remaja hingga dewasa.
"Dulu pas kecil, mama suka bikin games yang hadiahnya Cheetos, selalu excited. Terus makin gede, ya kalau belanja kemana pun, pasti langsung nyari Cheetos," ujar Wardhani saat berbincang dengan Alinea.id, di kawasan Jakarta Selatan, Sabtu (20/2).
Karena kecintaannya itu, Wardhani hampir tiap pekan selalu menyetok Cheetos untuk menemani berbagai aktivitasnya. Mulai dari aktivitas nonton, mengerjakan deadline pekerjaan hingga momen bersantai bersama teman.
"Makanya, ketika dapat kabar akan berhenti berproduksi ya sedih lah. Selera rasa Cheetos itu paling pas menurutku, karena aku enggak suka yang terlalu lebay micinnya," imbuhnya.
Berbeda lagi dengan Aziz (25) yang mengaku sebagai penikmat makanan ringan Lay's. Rasa keripik kentang dengan varian bumbu yang khas menjadi daya tarik tersendiri. Dia paling menyukai varian rasa yang bernuansakan rumput laut.
Karyawan swasta di Jakarta ini, seringkali menikmati Lays di tengah momen bersantai atau saat bepergian. Tak hanya Lays, keripik jagung Doritos pun, menjadi salah satu camilan gurih yang seringkali dia nikmati.
"Kayak ada yang hilang sih kalau enggak ada kayak Lay's cs, paling nanti diganti yang hampir sejenis sih camilannya," ujar Aziz kepada Alinea.id, Sabtu (20/2).
Para penggemar makanan ringan Lay's, Cheetos dan Doritos memang patut bersedih. Hilangnya merek Lay's cs disebabkan langkah PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) yang mengakuisisi sebesar 49% saham milik PepsiCo di PT Indofood Fritolay Makmur (IFL). Dengan adanya transaksi itu maka IFL akan mengakhiri perjanjian lisensi dengan PepsiCo.
Pepsico diketahui memiliki beberapa merek makanan ringan dan minuman yang paling populer seperti Lays, Doritos, Cheetos hingga Pepsi-Cola.
"Harus sudah diselesaikan dalam waktu 6 bulan sejak tanggal dilakukannya transaksi (masa transisi)," tulis Corporate Secretary Indofood CBP Sukses Makmur Tbk, Gideon A. Putro dalam keterangannya kepada Bursa Efek Indonesia, Rabu (17/2).
Dia menjelaskan, Fritolay, PepsiCo dan atau pihak afiliasi lainnya tidak boleh memproduksi, mengemas, menjual, memasarkan atau mendistribusikan produk makanan ringan apapun di Indonesia.
Menyoal itu, Head of Corporate Communications PT Indofood Sukses Makmur Tbk, Stefanus Indrayana mengakui keputusan tersebut sudah sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
"Sesuai kesepakatan, Fritolay, PepsiCo dan atau pihak afiliasi lainnya," ujar Indrayana saat dihubungi Alinea.id, Jumat (19/2).
Terkait penghentian produksi itu, dia mengungkapkan pihaknya bakal mengoptimalkan aneka produk camilan mereka yang telah ada di tengah masyarakat.
"Kami akan terus memproduksi, menjual dan mengembangkan merek-merek kami, seperti
Chitato, Qtela, Chiki dan Jetz, yang telah lama menjadi salah satu makanan ringan favorit masyarakat Indonesia," kata dia.
Menelisik pasar makanan ringan
Di dunia bisnis produk panganan, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. (ICBP) memang tidak asing lagi di telinga. Perusahaan yang mengakuisisi saham PepsiCo ini, merupakan perusahaan yang mendominasi penghasilan dari induk usaha perseroan yakni PT Indofood Sukses Makmur Tbk. (INDF).
Berdasarkan laporan keuangan perseroan yang dirilis terakhir yaitu per September 2020, INDF mencatatkan kontribusi pendapatan terbesar dari produk konsumer bermerek senilai Rp33,71 triliun. Angka itu belum dikurangi oleh eliminasi hingga September 2020. Perolehan ini juga meningkat 3,85% dari capaian tahun sebelumnya.
Produk konsumer ICBP ini, menaungi banyak brand di bawahnya sebut saja Indomie, Indomilk, hingga Chitato dan bumbu Racik.
Selama masa pandemi Covid-19, emiten Grup Salim ini, juga mencetak penjualan yang gemilang. INDF diketahui membukukan kenaikan penjualan neto konsolidasi sebesar Rp58,78 triliun. Angka ini naik 2% dibanding September 2019 yang sebesar Rp57,85 triliun.
Seiring dengan itu, laba perusahaan pun meroket sebesar 21% menjadi Rp8,63 triliun dari sebelumnya Rp7,15 triliun. Marjin laba usaha juga meningkat menjadi 14,7% dari sebelumnya 12,4%.
"Laba periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk tumbuh 6% menjadi Rp 3,75 triliun dari Rp 3,53 triliun," papar Anthoni Salim, Direktur Utama dan Chief Executive Officer Indofood, dalam keterangan resmi, Senin (30/11/2020).
Tak elak, marjin laba bersih Indofood pun naik dari 6,1% jadi menjadi 6,4%. Adapun core profit atau laba inti meningkat sebesar 26% menjadi Rp4,34 triliun dari Rp3,44 triliun.
Anthoni mengatakan pertumbuhan dan peningkatan kinerja pada periode sembilan bulan tahun 2020 ini, tak lepas dari model bisnis Indofood yang tangguh. Imbasnya, meskipun pandemi melanda perusahaan tetap bisa tahan banting.
Model bisnis yang dimaksud adalah kerja sama dari empat Kelompok Usaha Strategis (Grup) yang saling melengkapi dan menopang.
Beberapa kelompok usaha yang diunggulkan tersebut, pertama, produk konsumen bermerek (CBP) yang memproduksi mie instan, produk dairy, makanan ringan, penyedap makanan, nutrisi dan makanan khusus, dan minuman.
Ada pula kelompok kedua yaitu Bogasari. Grup ini memiliki kegiatan usaha utama yang memproduksi tepung terigu dan pasta, didukung oleh unit usaha perkapalan dan kemasan.
Lalu ketiga ada agribisnis. Kegiatan usaha utamanya meliputi penelitian dan pengembangan, pemuliaan benih bibit, pembudidayaan dan pengolahan kelapa sawit. Usaha ini juga meliputi produksi dan pemasaran produk minyak goreng, margarin dan shortening.
Keempat, usaha distribusi dengan berbekal jaringan yang luas. Grup ini mendistribusikan sebagian besar produk konsumen Indofood dan anak-anak perusahaannya, serta berbagai produk pihak ketiga.
Tak hanya Grup Indofood, perusahaan yang juga memproduksi makanan ringan di Indonesia adalah PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA). Salah satu produknya yang terkenal adalah snack Taro.
Kabar terbaru, AISA baru saja lepas dari lilitan utang yang membelenggunya. Perusahaan yang berdiri sejak 1959 ini akhirnya bisa kembali fokus pada bisnis. Rencana bisnis paling tampak adalah dengan peluncuran varian baru merk Bihunku. AISA juga akan meluncurkan rasa baru untuk Taro dan Mie Superior.
Di satu sisi, AISA juga memilih meninggalkan bisnis beras dan fokus pada bisnis yang sudah kuat seperti segmen bihun.
Pebisnis makanan ringan lainnya yang juga banyak dikenal adalah PT Calbee Wings Food. Perusahaan ini merupakan joint venture antara Wings dan produsen snack dari Jepang, Calbee.
Pada pertengahan 2019 lalu, PT Wings Calbee Wings telah meluncurkan produk terbarunya di Indonesia yaitu keripik kentang tipis, Japota, yang hadir dengan dua varian rasa Umami Japanese Seaweed dan Happy Honey Butter.
Tren camilan di Indonesia
Orang Indonesia terbukti sangat menggemari camilan saat sedang bekerja, belajar, dan mengerjakan aktivitas lainnya. Tercatat, ada 51,33% orang Indonesia yang mengonsumsi camilan berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Calbee Wings dan Jakpat terhadap sejumlah responden di berbagai kota di Indonesia.
Sebagian responden lainnya yaitu 50,95% ternyata memilih untuk makan camilan di kala penat untuk membuat suasana hati menjadi lebih baik. Selain itu, anak muda Indonesia berusia 18-25 tahun juga tercatat bisa menikmati camilan hingga 3 kali sehari.
Secara garis besar, mengudap camilan bisa dikatakan merupakan gaya hidup masyarakat Indonesia khususnya generasi muda. Tak elak, sebutan 'Generasi Micin' atau penggemar makanan ringan kemudian menjadi begitu populer.
Pengamat bisnis dari Peka Consult, Kafi Kurnia menilai makanan ringan memang banyak diproduksi mengikuti tren yang ada. Bukan hanya soal selera rasa yang terus baru, namun juga teknik-teknik pemasaran yang mengikuti dinamika penikmatnya.
Terlebih saat pandemi Covid-19 ini, Kafi berpendapat tingkat kebutuhan konsumen untuk membeli camilan lebih meningkat. Dikarenakan waktu luang di rumah yang semakin banyak ditambah adanya tekanan stres.
"Pas pandemi, kenapa snack tinggi permintaannya. Ya karena orang frustasi, ngemil," ujar Kafi kepada Alinea.id, Jumat (19/2).
Kafi menjelaskan, pasar makanan ringan memang tidak sepenuhnya didominasi oleh camilan pabrikan seperti Lays cs. Belakangan, muncul pula aneka snack 'artisan', sebutan untuk camilan UMKM yang dikemas kreatif.
"Snack modern kalau kita lihat di supermarket, itu saingannya kan makin banyak. Karena banyaknya 'artisan' dan snack tradisional," jelasnya.
Menurutnya, camilan jenis pabrik ini cenderung punya karakteristik yang lebih kaku untuk perubahan inovasi. Sementara camilan UMKM lebih luwes mengikuti selera pasar, utamanya produk lokal.
"Perusahaan besar ini kan produknya susah berubah, harus ada R&D (Research and Development) kalau yang artisan enggak laku tinggal ubah," imbuhnya.
Meski begitu, dirinya percaya bahwa produk makanan ringan ini masih akan mempunyai segmen pasar tersendiri yang loyal. Asalkan, terus berinovasi dengan kecanggihan teknologi dan adaptif terhadap selera pasar.
"Apalagi sekarang promosinya sudah bisa digital dan melibatkan influencer," pungkasnya.