Industri penerbangan menjadi salah satu sektor usaha yang terpukul akibat pandemi Covid-19.
Direktur Angkasa Pura I Faik Fahmi mengatakan pengelola bandara adalah pihak yang paling merasakan dampak pembatasan pergerakan orang dan barang selama pandemi Covid-19 di Indonesia. Bahkan, dengan terganggunya penerbangan ke berbagai rute, pihaknya sempat kehilangan pendapatan hingga 99% pada Mei 2020 di saat pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di berbagai daerah.
"Pengelola bandara merupakan sisi bisnis yang paling terkena dampak pandemi Covid-19 ini. Kalau dilihat dari persentase bisnis, kami sempat kehilangan pendapatan hingga 99% terutama Mei. Dan ini tentu sangat signifikan," katanya dalam video conference, Rabu (15/7).
Dia mengatakan, dengan diterapkannya standar kesehatan di bandara selama pandemi, turut menambah biaya operasional pengelola. Di sisi lain, tingkat penerbangan pesawat mengalami penurunan yang signifikan.
"Aviasi itu sangat tergantung regulasi karena terkait masalah safety dan security, namun regulasi di masa Covid-19 ditambah terkait healthy sehingga ada tambahan cost di situ," ujarnya.
Menurutnya, di tengah kondisi pandemi seperti saat ini pihaknya berusaha mengakomodir kepentingan ekonomi sekaligus kesehatan untuk dapat dijalankan secara beriringan.
"Ini yang saya kira menjadi tantangan bersama dan menjadi proyeksi banyak hal yang akan dilakukan ke depan," ucapnya.
Faik menuturkan, trafik dari 15 bandara yang dikelolanya telah mengalami penurunan tajam sejak pandemi. Dari sebelumnya sebanyak 7,5 juta trafik per bulan, kemudian jeblok menjadi hanya rata-rata 750.000 trafik per bulannya.
Hal yang sama juga dikeluhkan oleh Garuda Indonesia. Maskapai pelat merah tersebut mengalami penurunan penerbangan dari rata-rata 330 penerbangan per hari menjadi hanya 40 penerbangan saja.
Dirut Layanan Pengembangan Usaha dan TI Garuda Indonesia, Ade Susardi mengatakan dengan rata-rata 40 penerbangan sehari tersebut tidak menguntungkan. Pasalnya, keterisian pesawat terbatas hanya sebanyak 40% penumpang dari total kapasitas pesawat.
"Garuda terdampak pandemi secara keseluruhan. Jumlah penumpang kami pada Mei hanya 10% atau 30 flight. Sekarang okupansi 40% dan itu tidak menguntungkan karena di masa normal load factory kami 80%. Operation cost kami tidak tercapai dengan ini," ucapnya.
Dia mengatakan, kunci penyelamat Garuda Indonesia dari kebangkrutan dengan kondisi saat ini adalah naiknya tingkat volume penumpang. Saat ini, ujarnya, penumpang masih wait and see untuk menggunakan moda transportasi udara.
"Sebenarnya yang bisa bantu Garuda sekarang adalah penumpang. Dengan penumpang yang cukup, maka cost kami akan kembali normal," ucapnya.