close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Nelayan merapikan jaring cantrang sebelum melaut di Pelabuhan Perikanan Karangantu, di Serang, Banten, Kamis (18/1). Para nelayan yang belum mendapat pembagian jaring ramah lingkungan dari pemerintah kembali antusias untuk melaut dan menyambut baik penang
icon caption
Nelayan merapikan jaring cantrang sebelum melaut di Pelabuhan Perikanan Karangantu, di Serang, Banten, Kamis (18/1). Para nelayan yang belum mendapat pembagian jaring ramah lingkungan dari pemerintah kembali antusias untuk melaut dan menyambut baik penang
Bisnis
Selasa, 23 Januari 2018 17:03

Tanpa cantrang, pengolahan ikan ditargetkan tumbuh 10%

Penggunaan cantrang berpotensi merusak biota laut dan sistem produksi ikan.
swipe

Pelarangan alat tangkap cantrang yang berlaku sejak 1 Januari 2018 lalu menuai kontroversi.

Ribuan nelayan di Tanah Air protes karena merasa sumber nafkah mereka terhenti. Dengan menggunakan cantrang, nelayan menganggap hasil tangkap menjadi lebih banyak. 

Cantrang dioperasikan nelayan menggantikan pukat trawl atau pukat harimau yang dilarang pemerintah sejak tahun 1980 karena alat tangkap jenis trawl dinilai merusak lingkungan. 

Namun, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti tetap bersikukuh enggan mencabut Peraturan Menteri tentang pelarangan cantrang. Alasannya, cantrang sangat merusak lingkungan. 

Dalam pengoperasiannya, panjang tali yang mencapai 6 kilometer (km) mengakibatkan kerusakan dasar laut. Penggunaan cantrang bisa menggaruk wilayah sekitar 280 hektare (ha).

Hasil laut terancam turun akibat penggunaan cantrang. Di kawasan pantai utara yang menggunakan cantrang terlalu banyak, telah mengalami penurunan hasil laut, seperti yaitu udang, rajungan, dan ikan.

Meski demikian, pemerintah memberikan perpanjangan waktu kepada kapal cantrang untuk tetap melaut hingga pengalihan alat tangkap pengganti cantrang selesai. Selain itu ada syarat yang harus dipenuhi, diantaranya tidak ada penambahan jumlah kapal, pendaftaran ulang kapal, serta tidak ada pemalsuan bobot kapal.

Di tengah polemik penggunaan cantrang, Kementerian Perindustrian mendukung kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan itu. Dirjen Industri Agro Kemenperin Panggah Susanto mengatakan pegawasan terhadap cantrang akan menjamin ketersediaan bahan baku industri pengolahan ikan. Industri itu ditargetkan mencapai di atas 10% secara nasional pada tahun 2019.

“Memang kalau tidak dikendalikan, tidak ada kontrol, lama-lama akan menjadi destruktif," kata Panggah, Jakarta.

Penggunaan cantrang berpotensi merusak biota laut dan sistem produksi ikan. Alat tangkap tersebut bisa mengambil hingga ke anak ikan. Penangkapan ikan pun terancam berlebih atau overfishing.

Untuk itu, diperlukan tata kelola perikanan yang baik guna menjaga keberlangsungan investasi dan keberlanjutan produksi di sektor industrinya. “Saat ini yang terpenting adalah mengisi kebutuhan bahan baku untuk mengoptimalkan kapasitas terpasang yang sudah ada,” imbuhnya.

Kemenperin mencatat, rata-rata utilisasi industri pengolahan ikan masih berkisar 50%. Seperti di industri pengolahan ikan beku, dari kapasitas yang dimiliki mencapai 975.000 ton, sudah terpakai untuk poduksi sebesar 372.686 ton pada tahun 2016. Sementara itu, produksi industri udang beku tercatat sekitar 314.789 ton pada 2016 dari kapasitas terpasang 500.500 ton.

Saat ini, kelompok bidang usaha industri pengolahan ikan di dalam negeri terdiri dari 674 perusahaan pengolahan udang dan ikan lainnya yang menyerap tenaga kerja sebanyak 337.000 orang. Selanjutnya, terdapat 44 perusahaan pengalengan ikan yang menyerap 26.400 tenaga kerja.

"Untuk kelompok industri pengolahan ikan, kami menginginkan setiap tahun mengalami peningkatan yang signifikan. Paling tidak ada growth terus di atas 10% hingga 2019," tutur Panggah. 

Dengan penguatan industri pengolahan ikan, dia optimistis akan menyumbang angka target pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, daya saing industri pengolahan ikan nasional juga lebih kompetitif dengan industri dari negara Asean lainnya seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura.

"Bahkan, bisa melampaui China sekalipun, karena sektor perikanan nasional besar sekali dan Indonesia mampu mengelolanya," kata Panggah.

Selain perikanan, pemerintah juga mendorong industri produk rumput laut Indonesia.  Kini, sekitar 85% pasokan rumput laut dunia berasal dari Indonesia. Adapun total perusahaan yang bergerak di industri rumput laut mencapai 35 perusahaan. Perusahaan tersebut memprosesnya menjadi agar-agar dan produk lainnya. "Perlu pembenahan di sektor industri pengolahan rumput laut agar produknya lebih beragam dan menjadi barang jadi, bukan produk mentah dan setengah jadi," kata dia. 

img
Satriani Ari Wulan
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Berita Terkait

Bagikan :
×
cari
bagikan