Industri properti di tengah ancaman pailit dan minimnya stimulus
Akhir Desember 2019, mega skandal gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero) mencuat ke publik. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahkan melansir perusahaan asuransi jiwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu telah merugikan negara hingga Rp16,8 triliun. Jiwasraya diduga telah menyelewengkan uang negara dengan penempatan investasi pada saham-saham gorengan.
Nama Benny Tjokro (Bentjok), Komisaris PT Hanson International Tbk (MYRX) ditetapkan sebagai salah satu tersangka atas kasus investasi bodong tersebut. Kejaksaan Agung (Kejagung) menyita sejumlah aset Bentjok sebagai jaminan untuk pengembalian uang negara atas kerugian negara.
Dari sekian banyak aset Bentjok yang disita, Kejagung rupanya juga turut menyita dua proyek perumahan Hanson International. Dua proyek itu adalah perumahan Millenium City seluas 20 hektare dan Forest Hill seluas 60 hektare.
Dengan penyitaan sejumlah aset dan belitan kasus tersebut, kinerja perseroan semakin berantakan. Pada 12 Agustus 2020, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pun akhirnya memberikan keputusan pailit kepada perusahaan tekstil yang bersalin rupa menjadi perusahaan properti tersebut.
Direktur Hanson International Hartono Santoso mengatakan, dengan putusan pailit tersebut, seluruh sidang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pun turut dinyatakan berakhir oleh PN Jaksel.
“Atas putusan tersebut, perseroan akan melakukan langkah-langkah dan upaya hukum sesuai dengan undang-undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,” tulis Hartono dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), (28/8).
Selain MYRX, emiten properti milik Bentjok lainnya PT Armidian Karyatama Tbk (ARMY) juga telah menerima putusan pailit pada Juli 2020. Putusan tersebut merupakan tindak lanjut dari gugatan PKPU yang diajukan para investor perseroan di PN Jakarta Pusat.
Perseroan dianggap tidak mampu membayar imbal hasil atas pembelian medium term notes (MTN) senilai Rp3 miliar yang jatuh tempo pada 2 Desember 2019. Walhasil, PN Jakarta Pusat pun memutuskan untuk memberi kesempatan bagi ARMY melunasi tanggung jawabnya dalam jangka waktu 60 hari setelah putusan diketok pada 4 September 2020.
“Saat ini ARMY sedang menyusun proposal perdamaian tersebut berdasarkan kondisi keuangan atau kemampuan pendapatan profit sharing dari kerja sama operasi pembangunan perumahan Citra Maja Raya,” tulis Corporate Secretary Armidian Karyatama, Yudi Darmawan dalam laman keterbukaan informasi BEI, (18/9).
Di luar dua emiten properti milik Bentjok ini, ada tiga lagi perusahaan properti yang juga terjerembab dalam pusaran pailit. Salah satunya, PT Cowel Development Tbk (COWL) yang diputus pailit pada 17 Juli 2020.
Kemudian ada PT Kota Satu Properti Tbk (SATU) yang hampir saja jatuh pada jurang kepailitan lantaran pengajuan PKPU para krediturnya atas utang Rp88,84 miliar. Namun akhirnya, kasus ini bisa berujung damai dan SATU diberi waktu 32 hari untuk melunasi utangnya terhitung sejak putusan diketok 3 Juli 2020.
Terakhir, ada nama PT Sentul City Tbk (BKSL) yang sempat digugat pailit oleh Andi Ang Bintoro dan sejumlah konsumen Sentul City lainnya pada 7 Agustus 2020. Gugatan pailit itu diajukan lantaran konflik pembelian tanah kavling senilai Rp30 miliar. Tetapi, konflik ini berujung damai dengan ditariknya pengajuan pailit oleh Ang Bintoro CS pada 18 Agustus 2020.
Performa semu
Menariknya, di tengah putusan pailit ini, performa emiten-emiten properti di lantai bursa justru menunjukkan kinerja gemilang. Pada periode 14-18 September lalu, sektor properti bahkan berhasil terbang tinggi dan menjadi penyangga kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dengan kenaikan 12,74%.
PT Pollux Properti Indonesia Tbk (POLL) menjadi salah satu emiten properti yang punya kinerja paling mengesankan. Dalam waktu sepekan (14-17 September), saham POLL melesat 21,4% dari level Rp7.975 menjadi Rp10.150 per lembar.
Saham POLL bahkan sempat mendapat suspensi dari Bursa Efek Indonesia (BEI) sebanyak dua kali karena peningkatan yang dianggap tidak wajar. Suspensi pertama dilakukan pada 15 September 2020, ketika saham POLL mampu melesat 12,3% ke level Rp9.100.
Kemudian, saham POLL kembali dibuka pada 16 September 2020, sebelum akhirnya kembali disuspensi pada 17 September 2020. Suspensi belum dibuka BEI sampai artikel ini ditulis.
Alinea.id telah menghubungi Direktur Pollux Properti Indonesia Michael Tanuwijaya terkait votalitas saham POLL tersebut. Namun, Michael hanya menjawab singkat pesan kami.
“Nanti akan dijelaskan melalui public expose (paparan publik) IDX (Indonesia Stock Exchange),” tulis Michael melalui pesan singkat kepada Alinea.id, (22/9).
Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee menjelaskan, apa yang terjadi pada saham-saham properti sepekan terakhir ini boleh jadi hanyalah angan-angan semu semata. Tingginya ekspektasi terhadap suku bunga The Fed yang dipatok 0%-0,25% memberi harapan besar bahwa industri properti akan bangkit dalam waktu dekat.
Problemnya, investor tidak melihat bahwa perbaikan di sektor properti juga sejatinya amat dipengaruhi oleh situasi pandemi Covid-19. Selama Covid-19 belum selesai, katanya, maka performa sektor properti mungkin akan terus melempem.
“Sekarang memang penjualan rumah belum membaik, tapi ekspektasi orang bisa membuat harga sahamnya juga bisa menguat tinggi,” kata Hans saat berbincang dengan Alinea.id pekan lalu.
Salah sasaran
Sementara itu, jika merujuk data Indonesia Property Watch (IPW), sebetulnya tren penjualan properti di kuartal II sudah menunjukkan adanya sedikit perbaikan. Peningkatannya bahkan sampai menyentuh angka 88,2% dibandingkan kuartal sebelumnya.
Hanya saja, peningkatan justru lebih banyak ditopang oleh segmen properti di harga Rp300 juta ke bawah dengan kenaikan 9,9%. Sementara untuk segmen Rp301 juta – Rp500 juta justru mengalami penurunan 4%. Pun demikian dengan segmen Rp500 juta – Rp1 miliar yang menderita penurunan 7,2%.
Direktur Eksekutif IPW Ali Tranghanda mengatakan, situasi ini masih belum bisa dikatakan cukup baik bagi industri properti. Pasalnya, tren ini justru menunjukkan masih banyaknya konsumen yang wait and see untuk menempatkan dananya di sektor properti.
Padahal sebetulnya, segmen konsumen menengah dan menengah atas inilah yang menurut Ali masih memiliki daya beli. Namun, mereka enggan membeli karena situasi ekonomi yang masih penuh dengan ketidakpastian.
Untuk itu, kata Ali, perlu adanya stimulus yang tepat sasaran untuk kembali menggairahkan segmen tersebut. Stimulus seperti pemotongan pajak hak atas tanah dan bangunan (BPHB), pelonggaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan relaksasi loan to value (LTV) mutlak diperlukan saat ini.
Sebagai informasi, saat ini pemerintah memang sudah memberikan stimulus kepada sektor properti dalam bentuk penambahan dana Rp1,5 triliun. Namun, penambahan ini hanya diperuntukkan bagi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Sedangkan, untuk segmen menengah dan menengah atas, belum ada stimulus apapun yang diberikan. Adapun saat ini, Tim Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tengah mengkaji soal subsidi pajak BPHTB. Tetapi lagi-lagi, stimulus ini rencananya hanya akan diperuntukkan bagi MBR.
“Jangan salah sasaran. Sasarannya jangan ke menengah bawah, menengah atas yang masih punya daya beli,” kata Ali saat berbincang dengan Alinea.id belum lama ini.
Stimulus yang salah sasaran ini, menurutnya, dapat menyebabkan perbaikan sektor properti akan menjadi semakin lambat. Dampaknya, bisa jadi akan ada seleksi alam bagi para pengembang untuk akhirnya menutup perusahaan. Tak pelak, daftar kepailitan perusahaan properti pun akan bertambah panjang jika stimulus ini tidak segera diberikan.
Dalam kajiannya, Ali menyebutkan bahwa daya tahan pengembang menengah hanya bisa bertahan 3-6 bulan. Permasalahan ini rerata terjadi karena masalah cashflow dan proyek yang sudah tersendat sejak tahun lalu.
“Ini momennya jangan sampai terlambat. Pasar ada. Daya beli memang menurun, tapi tune up-nya itu harus didorong oleh stimulus pajak-pajak ini,” tukas Ali.
Sunset policy
Secara terpisah, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Real Estate Indonesia (REI) Totok Lusida pun mengaku sepakat dengan pendapat Ali. Menurutnya, untuk mendorong sektor properti memang dibutuhkan pula stimulus bagi segmen menengah dan menengah atas.
Dia bahkan mengusulkan adanya pengampunan pajak bagi masyarakat yang belum melaporkan kekayaannya pada tax amnesty periode 2017 lalu. Usulan ini disebutnya sebagai sunset policy.
“Tidak perlu seperti tax amnesty. Mungkin bisa pengampunan pajak dengan hanya 5% saja. Bagaimana kita menggali kemampuan dari masyarakat,” ungkap Totok saat berbincang dengan Alinea.id beberapa waktu lalu.
Dasar dari ide pengampunan pajak ini sebetulnya berasal dari aturan wajib lapor kekayaan bagi seluruh pembelian properti Rp500 juta ke atas. Aturan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dalam ketentuan pasal 17 UU tersebut, dijelaskan bahwa perusahaan atau individu yang melakukan transaksi Rp500 juta ke atas wajib melaporkan kekayaannya kepada Pusat Pelaporan dan Analisa Keuangan (PPATK).
Nah, aturan inilah yang kata Totok kerap menghambat konsumen menengah dan menengah atas untuk menempatkan dananya di sektor properti. Mereka takut kalau-kalau pembelian propertinya justru menjadi bumerang dan membuat mereka terlibat dalam urusan perpajakan.
Namun, jika pemerintah berani memberikan pengampunan pajak atas kekayaan konsumen tersebut, maka Totok menjamin sektor properti bisa kembali bergeliat. Sebab, properti merupakan salah satu instrumen investasi yang nilainya cukup stabil dibandingkan instrumen lainnya.
Sudah barang tentu, orang yang beruang akan lebih memilih properti sebagai investasinya. Apalagi, di tengah situasi ketidakpastian seperti saat ini.
“Nah kalau mereka diampuni, mereka bakal masukan uangnya, ini ‘kan jadi terpusat ke ekonomi riil. Kalau sekarang kan uangnya enggak berputar,” kata Totok, “Itu bisa memacu, men-trigger ekonomi.”
Selain itu, Totok juga mendesak pemerintah agar bisa segera memberikan insentif berupa penurunan pajak properti. Insentif tersebut berupa penurunan tarif PPh Final Sewa Tanah dan Bangunan dari yang sebelumnya 10% menjadi 5%.
Lalu, tariff PPN dari yang sebelumnya 10% menjadi 5%. Plus kelonggaran waktu pembayaran PPh Final Sewa dan Jual Beli Tanah sampai pandemi berakhir.
Cara ini, sambung Totok, dapat menjadi pengungkit sektor properti dan memberikan domino efek cukup besar bagi perekonomian. Sebab, perlu diingat bahwa sektor properti tidak pernah berdiri sendiri.
Ada 174 industri terkait dan 300 lebih ragam Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang juga nasibnya amat bergantung pada sektor properti. Di luar itu, ada total 30,34 juta tenaga kerja di sektor ini yang juga penting untuk diperhatikan nasibnya.
“Sehingga perlu stimulus khusus atau restrukturisasi khusus dalam membangun ekonomi Indonesia. Termasuk khususnya properti, karena properti sekali lagi domino efeknya gede,” pungkas Totok.