close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyatakan pertumbuhan bisnis retail pada akhir 2019 hingga 2020 masih akan berat. Alinea.id/Annisa Saumi
icon caption
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyatakan pertumbuhan bisnis retail pada akhir 2019 hingga 2020 masih akan berat. Alinea.id/Annisa Saumi
Bisnis
Selasa, 12 November 2019 15:30

Industri retail melambat akibat penurunan konsumsi

Aprindo memprediksi industri ritel mampu tumbuh 8%-9% pada 2019 atau belum mencapai double digit.
swipe

Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyatakan pertumbuhan bisnis retail pada akhir 2019 hingga 2020 masih akan berat. Wakil Ketua Umum Aprindo Tutum Rahanta mengatakan asosiasi masih berharap industri ritel mampu tumbuh 8%-9% pada 2019 di tengah perlambatan ekonomi.

"Cukup berat, tak bisa melampaui 10% pertumbuhannya," kata Tutum ditemui usai Musyawarah Nasional VII Aprindo, di Jakarta, Selasa (12/11).

Penjualan ritel dalam negeri terus mengalami perlambatan. Berdasarkan survei Bank Indonesia, penjualan September 2019 tumbuh melambat. Hal tersebut tercermin dari indeks penjualan riil (IPR) per September 2019 yang hanya tumbuh 0,7% secara tahunan (year-on-year/yoy), lebih rendah dibandingkan dengan IPR per Agustus 2019 sebesar 1,1% yoy.

Begitupula dengan penjualan riil secara triwulanan tumbuh melambat. Pada kuartal III-2019, BI mengindikasikan penjualan eceran pada triwulan III-2019 tumbuh 1,4% secara tahunan (year-on-year/yoy), lebih rendah dibandingkan pada kuartal III-2018 yang tumbuh 4,6% yoy.

Perlambatan pertumbuhan ini, kata Tutum, lebih karena siklus perdagangan ritel, birokrasi perizinan, dan pengaruh dari perang dagang. Tutum menjelaskan peritel mengenal adanya bulan normal, yang dianggap bisa menutupi ongkos dan tidak mengalami kerugian. 

Kemudian bulan ramai, yang merupakan masa panen bagi para peritel seperti lebaran, masuk sekolah, natal, dan tahun baru. Setelahnya, adalah bulan pascapanen atau  setelah lebaran dan setelah tahun baru. 

"Nah, sisa dua bulan ini, saya lihat sangat berat. Tapi semua sedang berusaha," kata Tutum.  

Tutum pun berharap dengan adanya momen natal dan tahun baru, penjualan industri ritel akan tumbuh 10%-15% secara tahunan (year on year/)yoy. Secara sektor, Tutum memperkirakan dengan momen tersebut, penjualan pakaian akan meningkat hingga 20% yoy.  

Sementara, di tahun depan, Tutum menyebut pertumbuhan sektor ritel akan bergantung pada pertemuan antara Presiden China Xi Jinping dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terkait dengan kesepakatan dagang antara kedua negara. 

Selama ini, perlambatan ekonomi yang disebabkan perang dagang antara kedua negara tersebut turut memengaruhi sektor ritel.

"Karena nanti barang yang tak tersalurkan dari China ke AS akan dilempar ke sini, akan banjir barang impor dari China yang harganya murah dan mengganggu pasokan barang dalam negeri," ujar Tutum.

Sementara itu, Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey mengakui jika industri retail memang mengalami performa di bawah ekspektasi. Roy menjelaskan, masalah under perform tersebut tidak terkait dengan masalah daya beli, melainkan masalah rendahnya konsumsi masyarakat.

Menurut Roy, konsumsi masyarakat rendah karena terjadinya inflasi. Secara nasional, tingkat inflasi memang ada di angka 3,13%. Namun, di daerah-daerah, angka inflasi masih menyentuh 6%-7%. Roy mengatakan karena hal ini lah Aprindo perlu menjadi penentu harga (price leader).

"Price leader ini berfungsi dan berguna untuk mengatur inflasi," ujar Roy.

Roy melanjutkan, inflasi daerah memang sangat fluktuatif. Tetapi, ketika ada price leader, toko retail modern bisa memiliki harga yang sama di seluruh daerah. Sehingga, konsumsi masyarakat bisa meningkat di toko-toko ritel modern.

img
Annisa Saumi
Reporter
img
Laila Ramdhini
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan