Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) mencatat terjadi pelanggaran kepemilikan lahan sawit oleh perusahaan-perusahaan besar di Indonesia.
Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan LPEM FEB UI Alin Halimatussadiah memaparkan dalam aturan kepemilikan lahan telah disebutkan maksimal kepemilikan hanya 100.000 hektare (ha), namun sejumlah perusahaan mendirikan perusahaan bayangan untuk mengaburkan aturan yang ada.
"Suatu kelompok perusahaan hanya boleh memiliki lahan maksimal 100.000 hektare. Beberapa korporasi besar mendirikan perusahaan bayangan untuk mengaburkan peraturan dan mengakuisisi lahan dalam jumlah yang lebih besar dari yang ditentukan," katanya dalam diskusi Mengurai Peta Pemain Industri Sawit Nasional, Senin (4/5).
Selain itu, berbagai data di sektor kelapa sawit, seperti data lahan tutupan sawit, konversi lahan, harga tandan buah segar (TBS), dan jumlah petani masih belum transparan. Beberapa data yang telah dipublikasikan juga mengalami inkonsistensi.
"Terdapat kesenjangan signifikan dalam informasi yang tersedia mengenai kepemilikan perkebunan, karena hanya sepertiga perkebunan yang memegang HGU (Hak Guna Usaha) final yang dapat dilacak," ujarnya.
Kesimpangsiuran data tersebut, lanjutnya, berimplikasi kepada perencanaan pengembangan sektor kelapa sawit, dari hulu hingga hilir. Selain itu, berdampak kepada mekanisme pemberian insentif atau disinsentif untuk petani, industri, maupun konsumen.
Lemahnya data juga menghambat upaya untuk menciptakan pengelolaan sektor kelapa sawit yang berkelanjutan. Dari sisi lingkungan, misalnya mendorong pembukaan lahan yang tidak tepat.
"Dari sisi sosial, terjadi penggunaan tenaga paksa dan dari sisi ekonomi menciptakan pembagian rente sawit di setiap rantai pasoknya," ujar Alin.
Lebih jauh dia mengatakan, industri kelapa sawit memiliki struktur pasar berupa oligopoli di bagian hilir, dan oligopsoni di bagian hulu. Kondisi ini memungkinkan perusahaan dominan untuk menjadi price maker atau penentu harga di seluruh tahapan rantai pasok industri sawit.
"Kondisi oligopoli dan oligopsoni dapat menimbulkan kerugian (dead weight loss), baik pagi petani sawit rakyat (tekanan harga TBS), konsumen (harga minyak sawit), bahkan pemerintah (terkait insentif biodiesel)," terangnya.
Bahkan, lanjutnya, dua pertiga volume ekspor dan pengilangan minyak sawit hanya dikuasai oleh lima kelompok terbesar, yang terdiri dari Wilmar Group, Sinar Mas Group, Musim Mas Group, Royal Golden Eagle, dan Permata Hijau.
"Adanya dominasi pasar di setiap tahapan rantai pasok membuat bargaining position petani lemah, petani cenderung mendapatkan harga yang lebih rendah dari peraturan yang telah ditetapkan," ucapnya.
Dengan posisi sebagai produsen dan eksportir terbesar di dunia, perilaku produksi dan penetapan harga pemain domestik akan memengaruhi harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) secara umum.
Dampaknya di hilir, harga komoditi minyak goreng juga akan terkerek karena terkait erat dengan fluktuasi CPO. Selain itu, harga CPO memengaruhi jumlah insentif yang perlu dibayarindkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) ke pelaku usaha industri biodisel.