close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menjadi salah satu tulang andalan bagi pertumbuhan industri pengolahan atau manufaktur nasional. Kendati demikian, sektor ini justru kurang mendapat perhatian dari hulu hingga ke hilir.  / Antara Foto
icon caption
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menjadi salah satu tulang andalan bagi pertumbuhan industri pengolahan atau manufaktur nasional. Kendati demikian, sektor ini justru kurang mendapat perhatian dari hulu hingga ke hilir.  / Antara Foto
Bisnis
Kamis, 31 Oktober 2019 13:15

Nasib industri tekstil, kurangnya SDM hingga banjir impor China 

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dibanjiri produk impor China hingga US$13 miliar dalam setahun.
swipe

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menjadi salah satu tulang andalan bagi pertumbuhan industri pengolahan atau manufaktur nasional. Kendati demikian, sektor ini justru kurang mendapat perhatian dari hulu hingga ke hilir. 

Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Indonesia (IKATSI) Suharno Rusdi menyebutkan Indonesia tidak pernah serius mengelola industri TPT.

Suharno menjelaskan permasalahan yang terjadi saat ini,yaitu kualitas sumberdaya manusia (SDM) di bidang industri tekstil tidak memadai. Padahal SDM ini akan berkontribusi kepada peningkatan kapasitas industri.

Suharno membandingkan, negara-negara yang industri tekstilnya maju memiliki perguruan tinggi yang khusus mempelajari, meneliti, dan mengembangkan teknologi mengenai pertekstilan. Oleh karena itu, lanjutnya, industri TPT mereka berkembang pesat.

"Human investment itu penting. Indonesia kalah karena pendidikan di industri tekstilnya tidak maju. Bahkan India itu Kementerian Tekstil saja sudah ada. Kita direktur tekstil saja tidak ada di Kementerian Perindustrian. Hanya mungkin ada kasubdit atau di bawah lagi," ujarnya.

Dia mengungkapkan, China memiliki 61 sekolah setara pendidikan tinggi soal tekstil, Amerika Serikat 111, Eropa 50, India 62, dan Indonesia hanya 10 pendidikan yang terdapat di penjurusan universitas.

"Bagaimana industri mau maju. Jadi industri mati tidak salah, SDM nggak ada, riset nggak ada, skill nggak ada. Jadi keniscayaan tekstil terperosok," tuturnya.

Selanjutnya, Suharno memaparkan, bisnis TPT di dalam negeri juga terancam oleh masuknya produk asing. Setelah dibukanya perdagangan bebas dengan berbagai negara, Indonesia tidak memiliki instrumen untuk penguatan industri tekstil nasional apalagi mendongkrak ekspor. 

Dia mengatakan, Indonesia kebanjiran produk tekstil impor dari China. Data IKATSI menyebut, dari total US$276 miliar ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) China, sebesar US$13 miliarnya masuk ke Indonesia.

"Kita terlalu bergantung dengan impor, mulai dari mesin, bahan baku, sampai sumber daya manusianya," kata dia.

Hal ini, lanjutnya memukul industri TPT dalam negeri. Pasalnya, overstock produk TPT dari China yang masuk ke Indonesia lewat perantara dijual dengan marjin 60% lebih tinggi dibandingkan dengan produk lokal, atau dengan margin 20% sampai ke penjual akhir.

"TPT kita dipaksa bersaing dengan harga yang di bawah 60%, saya rasa tidak akan bisa bertahan. Kita akan terus menghadapi tekanan dari China karena overstock," ucapnya.

Untuk itu, kata Suharno, pemerintah harus menyiapkan penghalang (barrier) dari derasnya arus impor produk TPT China ke Indonesia. Dia mengatakan, IKATSI mendorong DPR untuk membuat undang-undang yang melindungi industri dan produk dalam negeri.

Suharno menyebut undang-undang yang dimaksud harus mengatur soal ketahanan sandang nasional, sama seperti UU soal ketahanan pangan, atau UU perumahan dan UU agraria.

"Tekstil Indonesia itu harus diproteksi dengan UU ketahanan sandang. Kita ada UU perumahan, agraria, dan pangan ada. Kita stok beras saja tidak boleh, ini kalau stok tekstil sampai gudangnya penuh enggak apa-apa, tidak ada pembatasan," jelasnya. 

Tumbuh positif

Sementara itu Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengklaim industri tekstil nasional tumbuh sebesar 20% sepanjang 2019. Sementara, lanjut dia, pertumbuhan industri secara umum juga setara dengan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,05%.

"Tekstil pertumbuhannya 20%. Jadi pertumbuhan industri secara umum setara dengan pertumbuhan ekonomi nasional," katanya.

Dia pun menuturkan pemerintah sedang menyiapkan sejumlah langkah untuk mengurangi impor dan mendukung substitusi impor dengan pengembangan bahan baku dan setengah jadi.

"Substansinya itu ada di hulunya. Ini yang harus kita tackle agar seluruh kegiatan industri bisa lebih efisien, sehingga menciptakan daya saing di berbagai negara," ucapnya.

Menteri yang juga politisi Partai Golkar ini mengatakan pemerintah sudah menandatangani aturan safeguard untuk melindungi industri tekstil nasional, lewat Peraturan Menteri Perdagangan.

"Aturan safeguard sudah ditandatangani oleh Menteri Perdagangan. Untuk beberapa komponen dari safeguard sudah ada di aturan itu," tukasnya.

Agus pun memastikan aturan tersebut efektif berlaku sejak diterbitkan atau ditandatangani oleh pejabat terkait. Dia juga menjelaskan, ke depan Kementerian Perindustrian akan bekerjasama dengan Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan untuk mengawasi masuknya barang tekstil impor.

"Nanti bea cukai dia harus bekerja sesuai aturan-aturannya. Banyak hal yang perlu kita cermati, keberadaan bahan baku untuk industri, termasuk bagaimana kita menghilangkan adanya current account deficit," tuturnya.

img
Nanda Aria Putra
Reporter
img
Laila Ramdhini
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan