Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) non subsidi dinilai bakal mengakibatkan terjadinya inflasi. Tak hanya di bulan ini saja atau Oktober, tetapi diperkirakan bakal bertahan sampai akhir tahun 2018.
Menurut Ekonom Indef, Bhima Yudhistira, angka inflasi di bulan Oktober diperkirakan akan mencapai 0,1 sampai 0,15%. Di bulan berikutnya dan sampai akhir tahun 2018 inflasi diprediksi bisa menyentuh angka 3,5 sampai 3,7%.
"Efeknya bulan Oktober mulai terjadi inflasi 0,1% - 0,15% dan sampai akhir tahun bisa mencpai 3,5% - 3,7%. Mungkin meleset tipis,” kata Bhima saat dihubungi Alinea.id pada Rabu, (10/10).
Bhima menjelaskan, inflasi dari BBM akan mendorong kenaikan biaya logistik. Pada akhirnya pun menaikkan harga bahan makanan, makanan jadi, dan komponen inflasi lainnya. Inflasi akan mencapai angka tertinggi diperkirakan pada November dan Desember 2018.
“Inflasi diperkirakan bisa meningkat tinggi, menyusul kenaikan harga BBM non subsidi lainnya, cepat atau lambat,” ujar Bhima.
Sementara itu, pengamat energi, Komaidi Notonegoro, menyebut kenaikan harga BBM merupakan hal yang wajar. Pasalnya, dipengaruhi oleh harga minyak mentah. Juga nilai tukar rupiah yang terus melemah dipicu sejumlah faktor eksternal.
Apalagi, kata Komaidi, pemerintah memutuskan tidak menambah subsidi bagi Pertamina. Jika tak menaikkan harga BBM dikhawatirkan keuangan perusahaan minyak plat merah itu berisiko. Meski begitu, Pertamina masih memiliki ruang untuk menaikkan harga sekira Rp300 sampai Rp500 per liter pada tiap jenis BBM.
"Untuk risiko keuangan (di Pertamina), paling tidak di atas Rp20 triliun dalam satu tahun anggaran," ujar Komaidi.
Seperti diketahui, Pertamina menetapkan penyesuaian harga untuk BBM non subsidi. Adapun kenaikannya antara lain untuk jenis Pertamax naik Rp 900 menjadi Rp10.400. Kemudian, Pertamax Turbo naik Rp1.550 menjadi Rp12.250.
Lalu Solar NPSO naik Rp2.200 menjadi Rp9.800. Dexlite naik Rp1.500 menjadi Rp10.500. Terakhir, Pertamina Dex naik Rp1.350 menjadi Rp11.850