Inflasi pendidikan tinggi, bukti lemahnya kebijakan pemerintah
Laporan Badan Pusat Statistik atau BPS yang menunjukkan biaya pendidikan jadi penyumbang utama inflasi Agustus 2024 menjadi bukti sekolah masih menjadi barang mahal bagi rakyat Indonesia. Kebijakan pemerintah yang mendukung pendidikan masih lemah.
Kordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menilai, pendidikan di Indonesia masih saja jadi barang mewah. Berdasarkan data survei HSBC pada 2018, Indonesia termasuk dalam 15 besar negara dengan biaya pendidikan termahal di dunia.
Rata-rata nasional, dari jenjang sekolah dasar (SD) sampai sarjana, membutuhkan biaya sejumlah US$18.422 atau sekitar Rp287 juta. Jumlah ini lebih tinggi ketimbang negara Prancis yang mencapai US$17.708 atau sekitar Rp260 juta.
“Ini kenyataan aneh. Bagaimana bisa, pendidikan dasar yang mestinya wajib dibiayai dan ditanggung oleh pemerintah kok malah jadi penyumbang inflasi terbesar,” katanya kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu.
Sebelumnya Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini dalam konferensi pers, di Jakarta, Senin (2/9) mengumumkan inflasi per Agustus 2024 sebesar 2,12% secara tahunan atau 0,87% secara kalender berjalan. Sementara secara bulanan terjadi deflasi 0,03%.
Pada bulan Agustus 2024, kelompok pendidikan mengalami inflasi sebesar 0,65%. Kelompok ini memberikan andil inflasi sebesar 0,04% terhadap inflasi umum.
Tren inflasi tertinggi terjadi pada biaya sekolah dasar yang sebesar 1,59%, diikuti oleh biaya sekolah menengah pertama sebesar 0,78%, biaya akademi atau perguruan tinggi 0,46%, serta biaya sekolah menengah atas 0,36%.
Menurut Pudji, inflasi pada kelompok pendidikan disebabkan oleh kenaikan biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) dan uang kuliah tunggal (UKT) pada berbagai perguruan tinggi. Kenaikan UKT menjadi salah satu faktor utama dalam kenaikan inflasi karena naik 0,46%.
Sementara di daerah, misalnya Jakarta menunjukkan banyak lembaga pendidikan, khususnya sekolah dasar menaikkan iuran sekolah sehingga memicu inflasi pada Agustus 2024.
Lemahnya kebijakan pemerintah
Menurut Ubaid, biaya pendidikan sekolah dasar yang masih tinggi membuat masih ditemukannya jutaan anak-anak tidak bisa sekolah. Dampaknya, anak menjadi tak melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi lagi. Puncak kesenjangan dan ketimpangan akan kian terlihat nyata di jenjang pendidikan tinggi.
Kondisi itu disebabkan oleh lemahnya kebijakan pemerintah dalam mengurusi pendidikan. Apalagi, setiap pemerintahan memiliki agenda dan peraturan yang berbeda, sehingga arah kebijakan terkait pendidikan menjadi tidak jelas.
“Jangankan sesuai sasaran dan tujuan, menyerap anggaran pendidikan saja pemerintah masih kewalahan. Tahun 2023, ditemukan Rp111 trilliun anggaran pendidikan tak terserap. Hingga kini masih belum jelas, apa saja dan mengapa bisa terjadi,” jelas Ubaid.
Kemudian, dia bilang, pemerintah masih belum mampu memenuhi anggaran pendidikan yang diwajibkan oleh konstitusi untuk pelaksanaan program wajib belajar dengan bebas biaya. Selain itu, kerap kali ada kebijakan komersialisasi dan privatisasi pendidikan yang begitu nyata dirasakan oleh masyarakat.
Hal ini bisa dilihat dari sisi jumlah lembaga pendidikan. Menurut data BPS, jenjang pendidikan dasar pada 2023 masih minim. Jumlah SDN mencapai 75%, SMPN 42%, SMAN atau SMKN 33%, dan PTN hanya 9%.
Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menyampaikan, banyak anggaran pendidikan yang salah sasaran atau misalokasi. Penyebabnya, pemerintah tidak memberikan target atau key performance indicator (KPI) yang jelas sebagai tolak ukur. Semuanya hanya sebatas angka anggaran semata.
“Tak hanya pendidikan, anggaran yang lain juga sama. Kalau pendidikan, misalnya untuk dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) targetnya apa? Apakah dengan memberikan anggaran BOS, angka PISA (Program for International Student Assessment) lebih baik atau tidak? Nah ini enggak ada. Semuanya secara akuntan saja, tidak ada hubungannya ke mana,” jelasnya kepada Alinea.id, Jumat (6/9).
Sekadar informasi, hasil survei PISA yang diumumkan 2023, secara global skor kemampuan matematika, membaca, dan sains siswa berumur 15 tahun di 81 negara turun, termasuk di Indonesia. Penilaian internasional terkait kemampuan matematika, membaca, dan sains di kalangan siswa dalam PISA ini dirancang oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organization for Economic Cooperation and Development/OECD).
Adapun skor membaca PISA 2022 turun 12 poin menjadi 359 dari tahun 2018 dengan skor 371. Matematika turun 13 poin turun jadi 366 dari sebelumnya 379, dan skor sains turun 13 poin menjadi 383 dari sebelumnya 396.
Esther melanjutkan, anggaran yang salah sasaran itu bisa berdampak terhadap turunnya kualitas tenaga kerja. Menurut BPS, hanya 12% masyarakat yang mengenyam pendidikan tinggi.
Di sisi lain, alokasi anggaran sektor pendidikan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai 20%. Namun, trennya terus turun.
“Masalahnya kalau kita bandingkan dengan PDB (produk domestik bruto), hanya 2% hingga 3%. Apabila dibandingkan negara lain, seperti Malaysia bisa lebih dari 3%, sehingga di Asia saja kita kalah,” ujarnya.