close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
(Kedua dari kiri ke kanan) Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono, Dirjen Perikanan Tangkap KKP Muh Zaini, Dirjen Pengawasan Sumber daya Kelautan dan Perikanan KKP Adin Nurawaluddin. Foto istimewa
icon caption
(Kedua dari kiri ke kanan) Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono, Dirjen Perikanan Tangkap KKP Muh Zaini, Dirjen Pengawasan Sumber daya Kelautan dan Perikanan KKP Adin Nurawaluddin. Foto istimewa
Bisnis
Selasa, 28 Februari 2023 16:06

Ini alasan KKP terapkan PNBP pascaproduksi

Perlu transformasi aturan PNBP karena untuk memperoleh PNBP yang sesuai dengan hasil produksi yang ada.
swipe

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah menetapkan pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pascaproduksi mulai 1 Januari 2023. Ketetapan ini sebelumnya telah diatur pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada KKP Pasal 20, kemudian mengalami transformasi secara penuh melaksanakan mekanisme pascaproduksi.

Selanjutnya, pada 20 Januari 2023, KKP menerbitkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) Nomor 21 Tahun 2023 tentang Harga Acuan Ikan, yang merupakan hasil diskusi KKP dengan nelayan. Kepmen KP ini adalah salah satu peraturan turunan PP 85/2021.

“Beberapa waktu lalu saya bertemu nelayan dari daerah. Saya sampaikan ke mereka silakan kasih kami masukan berapa besarannya. Sekarang regulasi harga acuan ikan yang menjadi komponen dalam menetapkan pungutan  PNBP pascaproduksi sudah terbit,” kata Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono dalam konferensi pers PNPB Pascaproduksi di kantor KKP, Selasa (28/2).

Pada Kepmen KP 21/2023, penyesuaian harga acuan ikan adalah hasil pertimbangan dari masukan para pelaku usaha perikanan dan harga produksi atau biaya operasional.

Trenggono mengungkapkan, perlunya transformasi aturan PNBP karena untuk memperoleh PNBP yang sesuai dengan hasil produksi yang ada. Jika PNBP yang didapat bisa berjumlah banyak, maka hasilnya bisa digunakan untuk membangun kelautan dan perikanan Indonesia, salah satunya pelabuhan.

“Yang paling penting adalah kita harus menjaga populasi perikanan kita tetap terjaga dengan baik,” tutur Trenggono.

"Nelayan langsung yang hidupnya bergantung dari laut, ini yang ingin kita sejahterakan. Caranya adalah sumber daya perikanan yang diambil oleh pelaku usaha penangkapan dari laut, juga harus dibagi dalam bentuk PNBP pascaproduksi tadi yang bisa kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat nelayan," ujar Trenggono.

Ada perbedaan penarikan PNBP praproduksi menjadi pascaproduksi. Pada praproduksi, PNBP Pungutan Hasil Perikanan (PHP) dibayar saat sebelum melaut atau pada saat pengurusan perizinan (Surat Izin Penangkapan Ikan/SIPI), PNBP dibayar untuk setahun ke depan, dan berapapun volume produksi yang didapat maka PNBP yang dibayar tetap sama.

Sedangkan pada penarikan PNBP pascaproduksi, pada SIPI tidak dipungut biaya atau gratis dan PNBP PHP dibebankan pada setiap volume ikan yang ditangkap pada setiap trip penangkapan ikan, dan dihitung setelah kapal melakukan operasi penangkapan ikan.

Adanya perubahan ini bertujuan untuk membuat tata kelola yang lebih terukur, adil, dan terkendali, pendataan yang lebih lengkap dan akurat, dan perbaikan tata kelola perikanan secara keseluruhan seperti pada tata kelola pelabuhan pangkalan.

“Pelabuhan-pelabuhan kita itu bau, kotor, dan lain sebagainya. Tetapi, kita tidak bisa memperbaikinya, padahal ikan yang diambil nilainya sangat besar. Bayangkan kalau ikan laut saja 7 juta ton. Kalau rata-rata Rp20.000 per kilogram saja, berarti untuk 7 juta ton sudah Rp140 triliun (nilai transaksi penjualan ikan),” tuturnya.

Trenggono menyampaikan, PNBP yang diperoleh pada 2020 Rp600 miliar, lalu naik menjadi Rp750 miliar pada 2021 dan menjadi Rp1,2 triliun pada 2022. Namun perolehan tersebut masih kurang untuk membangun perikanan di seluruh Indonesia. 

img
Erlinda Puspita Wardani
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan