Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencatat utang BUMN sebesar Rp 5.217 triliun per September 2018. Angka tersebut merupakan total utang 143 BUMN.
Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN Aloysius Kiik Ro menyebut, utang sejumlah Rp 5.271 termasuk menghitung Dana Pihak Ketiga (DPK) yang ada di BUMN perbankan.
"Porsi simpanan DPK termasuk uang yang ada di rekening nasabah itu secara accounting memang utang, tapi itu konsepnya simpanan. Jadi, utang di luar DPK dan cadangan premi dan lain-lain itu hanya Rp 2.488 triliun dari 143 BUMN," ujar Aloysius di Kementerian BUMN, Selasa (4/12).
Ada dua alasan kenapa BUMN konstruksi memiliki risiko lebih tinggi dalam membayar utang. Pertama karena rata-rata industri konstruksi (non BUMN) tidak menggarap banyak proyek.
Kedua karena BUMN memiliki proyek pre financing, alias proyek yang dikerjakan dengan dana dari perusahaan yang juga bersumber dari utang. Jika proyek sudah jadi baru dibayar oleh pemilik proyek, dalam hal ini pemerintah.
"Kontraktor itu keluarin duit dulu. Setelah jadi lima tahun, 10 tahun, barang jadi, setelah diserahkan, baru duitnya turun," jelasnya.
Skema pre financing ini dilakukan agar pemerintah bisa menggenjot pembangunan infrastruktur, sementara pendanaan dibebankan dulu ke perusahaan, mulai dari untuk pembebasan lahan hingga pembangunan konstruksi.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai bengkaknya utang BUMN terjadi karena beberapa hall.
"Ada beberapa faktor yang membuat utang BUMN bengkak yakni penugasan infrastruktur dan subsidi energi serta pelemahan kurs rupiah," ujar Bhima saat dihubungi Alinea.id, Selasa (4/12).
Keduanya memiliki porsi yang cukup besar antara selisih kurs dan penugasan.
Dari sisi penugasan, target pembangunan infrastruktur menjadi salah satu penyebab pertumbuhan utang perusahaan-perusahaan milik negara.
Misalnya saja beban pembangunan yang kini harus ditanggung BUMN, seperti PT Waskita Karya (Persero) Tbk. (WSKT), PT Hutama Karya (Persero), PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, hingga PT Adhi Karya (Persero) Tbk.
Pertamina dan PLN juga harus menanggung penugasan di sektor energi. Tak ketinggalan para bank pelat merah, sejatinya diberi tugas untuk program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan 1 juta rumah, meski tidak seberat BUMN karya dan energi.
"Tren empat tahun terakhir, utang BUMN naik cukup signifikan, khususnya BUMN karya yang diberi penugasan infrastruktur. Mereka seperti saling berlomba dalam hal menerbitkan utang, khususnya utang valas," ujar Bhima.
Utang BUMN juga bengkak lantaran nilai tukar rupiah yang fluktuatof dalam setahun terakhir. Pada awal tahun, rupiah masih berada di kisaran Rp13.400-13.500 per dollar AS. Namun, kurs membengkak di tengah tahun hingga menyentuh kisaran Rp15.200 per dollar AS.
Di penghujung tahun ini rupiah kembali menguat di bawah Rp15.000 pada kisaran Rp14.200-14.300 per dollar AS. "Tapi jika dikonversikan, utang bengkak karena selisih kurs melebar," imbuhnya.
Bhima menegaskan, yang perlu diperhatikan bukan sekedar rasio utang tapi juga arus kas atau cashlow BUMN tersebut.
"Jika terjadi missmatch maka BUMN dipaksa untuk terbitkan utang baru lagi. Hati hati muncul kerawanan apabila cash stream dari proyek BUMN tidak setinggi yang direncanakan sebelumnya. Nantinya akan timbul missmatch, dan berujung jual aset hingga bailout fiskal," jelas Bhima.
Menurutnya, tidak ada jalan pintas bagi BUMN untuk membayar utangnya. Oleh karena itu, pemerintah melalui Kementerian BUMN seharusnya sudah mulai mencari jalan keluar dari risiko pembengkakan utang BUMN.
Misalnya, dengan mulai meninjau kembali berbagai penugasan yang diberikan kepada masing-masing perusahaan. "Segera rasionalisasikan penugasan, sehingga kalau ada yang bisa di-cut, segera cut loss," ungkapnya.
Bhima juga menyarankan BUMN memilih utang denominasi rupiah ketimbang dollar AS dalam penerbitan utang baru. Dengan demikian, dampak selisih kurs terhadap beban utang dapat diminimalisasi.
Selain itu, penerbitan utang dengan menyasar investor dalam negeri juga dapat mendorong pendalaman pasar keuangan.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Piter Abdullah Redjalam mengatakan, utang BUMN memang sudah diperkirakan melonjak sangat cepat seiring dengan begitu masifnya program pembangunan pemerintah khususnya infrastruktur yang dikerjakan oleh BUMN.
"Strategi pembangunan infrastruktur oleh pemerintah saat ini memang lebih mengutamakan pembiayaan di luar APBN yaitu melalui BUMN. BUMN sendiri selanjutnya membiayai proyek-proyek tersebut dengan meningkatkan leverage yaitu dengan berutang," ungkap Piter.
Menurutnya, peningkatan utang sejatinya sah-sah saja bila utang tersebut dapat digunakan secara produktif dan menambah kinclong kinerja masing-masing perusahaan. Sayangnya, kinerja laba tak seiring dengan kenaikan utang.
"Kenaikan utang atau leveraging sebenarnya hal yang sangat wajar. Oleh karena itu seiring kenaikan aset BUMN saya meyakini utang BUMN pada tahun depan masih akan terus naik," katanya.