close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pasar modal. Freepik.
icon caption
Ilustrasi pasar modal. Freepik.
Bisnis - Bursa
Selasa, 24 September 2024 18:23

Instrumen investasi terbaik di tengah tren suku bunga rendah

Siklus suku bunga rendah telah dimulai. The Fed dan Bank Indonesia memangkas suku bunga acuannya.
swipe

Siklus suku bunga rendah telah dimulai. Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed) memangkas suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin (bps) ke level 4,75% - 5,00% di bulan September. Sementara, Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga 25 bps menjadi 6,00%. 

Turunnya suku bunga acuan membawa sentimen positif bagi pasar modal. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Selasa (24/9), ditutup menguat 2,76 poin atau 0,04% ke posisi 7.778,49. Sementara kelompok 45 saham unggulan atau indeks LQ45 naik 0,15 poin atau 0,02% ke posisi 985,41.

Di pasar obligasi, Indonesia Bond Price Agency (IBPA) atau PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) mencatat Indonesia Composite Bond Index (ICBI) dalam sepekan terakhir merangkak naik 0,72% ke level 396.088 pada penutupan Selasa (24/9). Secara year to date (ytd), ICBI telah naik 5,96% dan secara year on year (yoy) naik 8,08%.

Investasi menarik

Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta mengatakan obligasi bisa menjadi pilihan investasi bagi investor karena memiliki risiko yang lebih kecil ketimbang instrumen lain seperti saham. Pasalnya, faktor global masih diliputi ketidakpastian seiring berjalannya pemilihan presiden di Negeri Paman Sam. Kontestasi itu diperkirakan akan berpengaruh terhadap kondisi politik dan keamanan. 

“Untuk investasi, obligasi bagus karena minim risiko dan return-nya pasti. Selain itu, bisa ke reksa dana pendapatan tetap, reksa dana pasar uang, dan reksa dana saham,” ucapnya kepada Alinea.id, Minggu (22/9).

Penurunan suku bunga acuan telah berdampak terhadap turunnya yield alias imbal hasil dan kenaikan harga surat utang. Likuiditas di pasar obligasi juga mengalami kenaikan. 

“Apalagi fundamental makro domestik Indonesia memang solid dan wajar saja rating Indonesia masih stable, sehingga pasar obligasi menarik bagi investor,” ujarnya 

Analis Bank Woori Saudara Rully Nova mengatakan obligasi dan emas menjadi alternatif investasi terbaik saat suku bunga terus mengalami penurunan. Kenaikan harga dan penurunan yield di pasar obligasi masih akan berlanjut dalam jangka pendek sampai menengah bahkan kemungkinan hingga tahun depan. Penyebabnya, suku bunga acuan the Fed dan BI diramal masih akan turun sampai dengan akhir tahun ini dan juga tahun depan.

Adapun sejumlah risiko yang membayangi pasar modal adalah kondisi politik di AS. Di dalam negeri, kinerja 100 hari kabinet baru pemerintahan presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan memengaruhi pergerakan instrumen investasi. 

"Pasar akan konsolidasi dulu sampai pada ketidakpastian politik bisa terlewati," tuturnya, saat dihubungi Alinea.id, Minggu (22/9). 

Sementara itu, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) mencatat pasar obligasi sudah konsisten berkinerja positif sejak periode Juli hingga Agustus, dan terlihat masih terus berlanjut. Di sisi lain, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus menguat dan arus dana investor asing ke pasar obligasi juga membanjir. 

Portfolio Manager, Fixed Income MAMI, Laras Febriany mengatakan, siklus pemangkasan suku bunga secara historis berdampak positif bagi pasar obligasi. Pada empat siklus pemangkasan suku bunga BI sebelumnya yang terjadi di 2011, 2016, 2019, dan 2020 secara rata-rata indeks Bloomberg Indonesia Local Sovereign Bond (BINDO) mencatat kinerja positif 18%. 

Menurut Laras, pada dasarnya Indonesia memiliki profil ekonomi yang menarik di antara negara berkembang lain, didukung oleh tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi yang stabil, inflasi rendah, tingkat utang negara rendah, kondisi politik stabil, dan tingkat imbal hasil obligasi yang tinggi. Hal ini menjadi daya tarik investor asing untuk masuk ke pasar obligasi Indonesia.

"Dengan profil yang menarik itu, faktor kunci bagi investor adalah pada stabilitas nilai tukar rupiah, karena pelemahan nilai tukar akan menggerus potensi imbal hasil bagi investor asing, membuat obligasi Indonesia kurang menarik, dan pada akhirnya dapat membuat arus dana asing berbalik," kata Laras.

Dimulainya siklus pemangkasan suku bunga The Fed diperkirakan dapat menjadi iklim yang suportif bagi rupiah dan bisa menarik arus dana asing masuk ke pasar obligasi Indonesia lebih lanjut.

Secara historis, kata Laras, periode pemangkasan suku bunga The Fed adalah kondisi yang negatif bagi dolar AS. Namun, pemangkasan suku bunga The Fed yang dipicu oleh resesi AS justru mendorong penguatan dolar, seperti di tahun 2001, 2007, dan 2020. Saat itu, resesi meningkatkan permintaan dolar AS sebagai aset safe haven. Dus, terjadinya resesi AS dapat menjadi tantangan bagi stabilitas nilai tukar rupiah ke depannya, di tengah naiknya ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed.

Faktor lain yang dapat memengaruhi nilai tukar rupiah ke depannya adalah dinamika kondisi domestik dari inflasi, kinerja neraca perdagangan, dan kebijakan ekonomi pemerintah baru.

“Ke depannya, konsensus pasar memperkirakan BI akan bergerak lebih konservatif dibanding The Fed, dengan The Fed diperkirakan menurunkan suku bunga di kisaran 200 bps hingga akhir 2025, sementara BI di kisaran 100 bps di periode sama,” jelasnya.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan