Investor anyar berharap cuan dari pasar saham
Ada hikmah di balik musibah. Mungkin itu kalimat yang tepat untuk menggambarkan kondisi bursa saham di Indonesia kala pandemi. Meski sempat merosot di bawah level 4.000, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kini perlahan merangkak naik. Pada Selasa, 24 Maret lalu, IHSG mengalami kejatuhan terdalam di level 3.937,63, jauh dari posisi saat pembukaan awal tahun di level 6.283,58.
Di tengah pandemi yang tak seorang pun tahu kapan akan berakhir, IHSG memiliki harapan baru. Indeks terus bergerak naik secara perlahan, meninggalkan level 4.000. Pada penutupan perdagangan Senin (26/10), IHSG berada pada zona hijau di level 5.144,05, naik 31,86 poin (0,62%) dibandingkan penutupan akhir pekan lalu.
Meskipun sepanjang September kemarin, IHSG juga kembali jatuh 368 poin atau 7,03% ke level 4.870 dibandingkan Agustus 2020.
Di tengah situasi yang tak menentu, pasar modal juga semakin diminati oleh masyarakat untuk berinvestasi. Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat jumlah investor ritel meningkat dari 2,5 juta SID (Single Investor Identification) pada 2019 menjadi 3,27 juta SID per September 2020.
Bursa Efek Indonesia (BEI) memperkirakan jumlah SID akan mencapai 3,5 juta pada 2020. Potensi peningkatan masih sangat lebar mengingat jumlah investor dalam negeri masih sebesar 1,3% dari total penduduk Indonesia.
Data KSEI juga mencatat, porsi kepemilikan saham investor domestik juga naik dari 48,11% pada Akhir 2019 menjadi 51,23% pada Agustus 2020. Selama periode yang sama, porsi kepemilikan saham investor asing menyusut dari 51,89% menjadi 48,77%. Padahal secara year to date (ytd), investor asing mencatatkan penjualan bersih sebesar Rp47,11 triliun hingga Selasa (20/10).
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan investor ritel domestik menjadi motor ketahanan di pasar modal, terutama pasar saham. Oleh karena itu, pihaknya bersama pemangku kepentingan terus mengupayakan peningkatan jumlah investor ritel sebagai upaya pendalaman pasar modal nasional. Selain itu, pengembangan infrastruktur dan digitalisasi juga ditempuh untuk semakin memudahkan investor ritel dalam melakukan transaksi.
Kini, 73% volume transaksi di BEI berasal dari investor domestik. "Ini transaksi yang paling banyak dalam lima tahun terakhir," kata Wimboh saat membuka Capital Market Summit & Expo 2020 secara virtual, pekan lalu.
Dia menekankan perlunya pendalaman pasar dengan memperbanyak instrumen investasi baik untuk ritel maupun korporat. Ia mengharapkan emiten mampu menciptakan instrumen-instrumen yang bisa diakses investor ritel. "Dengan begitu ada variasi instrumen lebih banyak dan harus memenuhi kebutuhan pasar baik instrumen biasa maupun instrumen hedging," urainya.
Salah satu cara memperluas basis pemain ritel, menurutnya, dengan mengemas seluruh transaksi secara terintegrasi dan digital. Harapannya, digitalisasi ini mampu menjangkau calon-calon investor di seluruh Indonesia.
Berharap cuan
Pengalaman pertama berinvestasi di pasar modal dialami Shofi Maretha (25). Meski sudah tertarik dengan instrumen saham sejak masih kuliah, ia baru tercatat sebagai investor pasar modal sejak empat bulan lalu. "Aku awalnya lebih mikir ke deposito untuk jangka pendek dulu yang kelihatan cuannya. Cuma tertarik lagi ke saham karena ada teman kuliah update tentang saham," ujarnya.
Pekerja lepas sebagai guru les privat ini menggali informasi soal investasi saham dengan menonton konten Youtube. Disitulah ia menemui fakta bahwa rata-rata orang terkaya di dunia berinvestasi saham. Akhirnya, ia pun mantap membuka Rekening Dana Nasabah (RDN) di salah satu sekuritas.
"Dulu (beli) Rp500.000. Awalnya aku beli ANTM (PT Aneka Tambang Tbk.) sama UNVR (PT Unilever Indonesia Tbk.), pokoknya itu," singkatnya.
Dia pun terbantu dengan aplikasi RTI Business untuk memberi pemahaman soal transaksi saham secara real time. "Awalnya sedikit-sedikit itu, kok nagih ya. Ya sudah, jadi rutin tiap bulan nyiapin dana untuk pos itu," tambah warga Jakarta Barat ini.
Dia menyadari instrumen saham termasuk berisiko tinggi, namun itu sejalan dengan peluang keuntungan yang juga tinggi. Karena itu pula, meski berinvestasi di instrumen logam mulia, Shofi tetap berharap cuan dari saham. Apalagi saat ini adalah momen yang tepat untuk membeli, mengingat harga saham sedang murah. "Saham lagi murah-murah cuy, lagi turun. Turun 10% kayak midnight sale," selorohnya.
Setelah memulai investasi dengan Rp500.000, wanita berhijab ini berkomitmen menyisihkan 10% penghasilannya untuk investasi. Dia mengaku tak takut rugi selama memilih saham yang relatif aman karena stabil di zona hijau. Meski demikian, dia mengaku cukup impulsif dalam memilih emiten.
Di masa perkenalannya dengan dunia pasar modal, Shofi memilih saham-saham seperti PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk. (SIDO), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI), PT Kimia Farma Tbk. (KAEF), dan PT Mayora Indah Tbk. (MYOR).
"Tadinya aku kayak melihat harga rendah sedikit, mau beli semua. Selagi murah aku beli semua. Terus aku pikir percuma aja aku beli banyak jenis saham, tapi nilainya hanya sedikit-sedikit, mending aku fokus banyakin di saham tertentu," paparnya yang kini mengajar privat secara online.
Ia berpatokan pada slogan 'Jangan membeli kucing dalam karung' saat berinvestasi saham. Cara ini ampuh untuk menghindari kerugian karena harga saham yang jatuh dan terpaksa mengambil aksi cut loss. Untungnya, sejauh ini Shofi mengaku belum mengalami kerugian dan baru sedikit memetik keuntungan dari saham.
Sama halnya dengan Shofi, Eko Wahyudi (27) juga baru terjun ke bursa saham empat bulan belakangan. Pria yang berprofesi sebagai jurnalis ini mengaku terpengaruh dari rekannya yang berinvestasi saham lebih dahulu. "Gue banyak akses informasi dari mana-mana. Ya sudah tuh sambil buka-buka media sosial, ada duit menganggur ya sudah," ujarnya.
Dia pun bermain aman di masa awal investasi saham dengan memilih saham blue chip. Menurutnya, likuiditas saham ini cukup menguntungkan dan tidak membuat shock dengan fluktuasi pergerakannya. Ia memilih saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. (TLKM) yang kini juga di zona hijau dengan harga 2.650 per saham.
"Telkom kan bisnis telekomunikasi internet. Untuk saat ini tumbuh pesat. Internet bakal maju banget sepuluh atau dua puluh tahun lagi," ujarnya beralasan.
Eko mengaku gajinya dipotong oleh perusahaan tempatnya bekerja gara-gara pandemi. Namun, itu tak menyurutkan niatnya berinvestasi. Selama jadi investor baru, Eko belum mengalami kerugian dan meraup cuan keuntungan. "Kan pandemi saham lagi murah. Gua agak telat masuk. Apalagi saat penerapan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) jilid satu, turun banget. Kalau gua masuk pas itu untung banget," sesalnya.
Saat ini, ia hanya fokus pada empat hingga saham blue chip saja sesuai portfolionya. Selain TLKM, ia juga memegang saham emiten PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI), PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. (HMSP), PT XL Axiata Tbk. (EXCL), dan SIDO.
Sebagai newbie, Eko juga enggan dengan saham-saham gorengan yang mengundang untung besar. "Ngapain. Nanti boncos di situ" cetusnya.
Karena itu pula, Eko mengaku tenang jika saham-saham miliknya sedikit merosot karena faktor makro ekonomi. "Turun 5-8% wajar," tutupnya.
Risiko tinggi
Perencana Keuangan dari One Shildt Financial Planning Risza Bambang menilai saham menjadi salah satu instrumen investasi yang berisiko tinggi."Saham punya tingkat volatilitas pendapatan yang cukup besar, either climb up very high (bisa naik sangat tinggi), atau terjun bebas sangat dalam," ujarnya kepada Alinea.id, Sabtu (24/10).
Karena itu pula, dia menyebut investor pemula yang berniat terjun ke bursa saham harus memilih saham yang murah terlebih dahulu. Investor anyar juga bisa menanam modalnya di reksa dana terlebih dahulu sebelum berinvestasi saham. "Ini untuk memberikan kesempatan pemula belajar karakteristik instrumen saham," tambahnya.
Dia juga mengingatkan agar para investor saham senantiasa membuka wawasannya terkait laporan keuangan emiten dan pengetahuan ekonomi, baik makro maupun mikro. Investor juga harus mempunyai sense of business untuk menentukan mana saham unggulan, berpotensi unggul, atau bahkan yang dicurigai akan jatuh.
Masyarakat juga bisa mencari keterbukaan informasi terkait saham-saham yang moncer atau dikenal sebagai saham blue chip. Apalagi, saat ini sudah ada lembaga yang melakukan survei terkait kinerja masing-masing emiten. "Namun mengingat volatilitasnya maka masyarakat harus bisa menyiapkan mental jika pendapatan sahamnya tidak sesuai harapan," tegasnya.
Karenanya, Chairman PT Padma Radya Aktuaria ini juga menyarankan agar investor menggunakan dana yang menganggur untuk bertransaksi saham alias bukan dana yang digunakan untuk arus kas kebutuhan sehari-hari.
Lebih lanjut, Perencana Keuangan Imelda Tarigan menambahkan tingginya risiko investasi saham jangan menjadi halangan bagi masyarakat untuk menanamkan modalnya. Calon investor justru harus mempersenjatai diri dengan pengetahuan yang mumpuni. Utamanya, terkait informasi tentang manajemen risiko setiap instrumen.
"Kalau kita punya pengetahuan boleh dong kita mulai berinvestasi. Pengalaman atau jam terbang kan akan datang seiring dengan waktu kan tapi kalau kita enggak pernah mulai kapan pintarnya," katanya kepada Alinea.id melalui sambungan telepon, Sabtu (24/10).
Konsultan di bidang perencana keuangan, investasi, dan persiapan pensiun ini mengakui di era pandemi ada banyak investor baru yang berani terjun investasi langsung ke saham, bukan lagi reksa dana. Menurutnya, para investor ritel ini menganggap instrumen reksa dana mempunyai beban biaya yang mengurangi keuntungan.
"Sedangkan kalau saham itu kan anytime kita mau jual atau beli kita bisa lihat angkanya, di angka berapa mau jual di angka berapa mau beli. Kalau reksa dana kan enggak. Bisa saja hari itu harganya lagi naik jadi kita dapat unitnya kecil atau harganya lagi turun berarti kita beruntung dapat lebih banyak unitnya," ungkapnya.
Maraknya investor pemula yang terjun membeli saham, kata dia, tidak lepas dari kondisi pandemi. Sebagian besar waktu orang dihabiskan di rumah. Di era ini pula, mulai bermunculan webinar atau kelas-kelas online yang membagikan ilmu berinvestasi, baik gratis ataupun berbayar.
Imelda menilai munculnya kelas virtual ini sangat berpengaruh pada keputusan orang berinvestasi saham pertama kali di tengah wabah Coronavirus. "Orang-orang yang tadinya hanya tahu samar-samar nah karena sekarang banyak kelas webinar bermutu mereka jadi punya pemahaman yang mantab. Jadi kalau sudah merasa mantab kan pengen coba, ngapain kita punya pengetahuan tapi enggak dicoba" tuturnya.
Perencana keuangan yang juga membuka konsultasi secara online ini melihat para pemula yang terjun ke investasi saham di masa pandemi adalah kalangan milenial atau kaum muda berusia 25 sampai 40 tahun. Menurutnya, kaum muda ini memiliki profil yang lebih agresif mengingat sebagian diantaranya belum banyak tanggungan. "Mereka merasa punya waktu panjang sehingga merasa asik juga langsung coba ke saham why not?," ucapnya.
Di sisi lain, aktivitas masyarakat yang sebagian besar di rumah turut mengubah gaya hidup. Pos pengeluaran untuk transportasi, makan di luar rumah, dan segala bentuk leisure economy lainnya pun berkurang drastis. Penghematan inilah yang akhirnya menjadi modal bagi seseorang mulai berinvestasi saham. Ditambah lagi, harga-harga saham saat ini dalam kondisi bearish atau menurun sejak pandemi ditetapkan pada pertengahan Maret lalu.
"Jadi ada momen karena purchasing powernya ada karena spending berkurang di lain pihak suplainya lagi murah jadi klop lah," ujarnya terkait penambahan investor ritel yang cukup signifikan.
Mantan Senior Vice President di CIMB Securities Indonesia ini pun mengaku adanya hikmah di masa pandemi yakni timbulnya kesadaran masyarakat untuk berinvestasi. Hal serupa, kata dia, juga terjadi di Amerika Serikat maupun negara-negara Eropa. Di masa krisis bahkan resesi masyarakat justru berinvestasi di bursa saham. Terlebih lagi, di beberapa negara maju, rakyat disubsidi agar tetap di rumah saja ketika pandemi.
Bukan mainan
'Main saham' menjadi frasa yang jamak terdengar ketika menyebut aktivitas investasi saham. Imelda mengaku gerah dengan istilah tersebut. Saat masih bekerja di sekuritas, Imelda mengaku kerap 'menyemprot' rekan kerjanya yang menyebut frasa tersebut.
"Ini bukan main-main, jangan sekali-kali ngomong main saham, pantang besar. Saham itu bukan mainan, harus dipelajari, cari ilmu yang puas, bacaan yang banyak karena namanya pengetahuan itu tidak pernah ada batasnya," tandasnya.
Namun, untuk mengantisipasi kerugian di kemudian hari, Imelda membeberkan sejumlah tips bagi para pelaku investasi saham. Pertama, sebagaimana prinsip pengelolaan keuangan, setiap individu harus menyisihkan 10% dari pendapatan setiap bulannya untuk pos investasi.
"Kalau sudah punya cukup dana darurat boleh lah naik ke level lebih tinggi dalam bentuk investasi, investasi apa yang bisa receh-receh? Ya saham juga, sekarang masih terjangkau banget," sebutnya.
Ia mencontohkan saham-saham properti, yang harganya sangat murah. Merujuk data Bursa Efek Indonesia (BEI), pada perdagangan Kamis (22/10) ada lima saham top gainers, empat di antaranya adalah saham properti. Sebut saja, saham Alam Sutera Realty Tbk. (ASRI) yang menguat hingga 22,76% di level Rp151 per saham. Saham ASRI sudah melesat 24% dalam sepekan terakhir dan naik 34% dalam sebulan terakhir.
Ada pula emiten Agung Podomoro Land Tbk. (APLN) yang harganya melonjak 10,68% di level Rp114 per saham. Saham pengelola pusat perbelanjaan Senayan City ini naik 11% dalam sepekan dan melesat 21% sebulan terakhir. Kemudian, emiten Surya Semesta Internusa Tbk. (SSIA) yang bergerak di bisnis properti dan konstruksi. Kamis lalu, SSIA melesat 7,45% di posisi Rp505 per saham. Sepekan terakhir saham SSIA naik 13% dan sebulan terakhir juga melesat 20%.
Terakhir, ada saham PT Lippo Karawaci Tbk. (LPKR) yang ditutup naik 6,92% di posisi Rp139 per saham. Saham induk PT Lippo Cikarang Tbk. (LPCK) ini naik 9% dalam sepekan terakhir dan ikutan melesat 17% dalam sebulan terakhir.
"Bagaimana cara memilih sahamnya? Itu sekali lagi tergantung kita mau belajarnya apa. Semakin rajin belajar, semakin akan lebih paham milih sektor mana," urainya.
Namun yang penting, lanjutnya, setiap investor harus mempelajari fundamental perusahaan dan kondisi makro ekonomi secara keseluruhan. Misalnya, analisa ekonomi secara global yang memengaruhi ekonomi makro Indonesia. Baru kemudian merujuk pada fundamental setiap sektor usaha yang akan dipilih, termasuk emitennya. "Kalau bisa sampai mempelajari siapa manajemennya," tambahnya.
Imelda mengatakan agar jangan terpaku pada saham blue chip semata. Jika harganya bagus dan memiliki prospek yang cerah, saham itu bisa menjadi pilihan. "Justru itu yang dicari, fundamentalnya bagus tapi murah waduh enak banget itu, tapi yang likuid ya," cetusnya.
Namun, dia memperingatkan agar investor tak terjebak dengan memilih saham 'tidur'. Saham ini biasanya tidak memiliki pergerakan transaksi baik jual maupun beli dalam sebulan terakhir. Karenanya, penting bagi investor melihat pergerakan harga masing-masing saham.
Dia melihat IHSG saat ini masih ada potensi jatuh lagi mengingat belum ada pengumuman secara resmi negara memasuki resesi. Namun, bukan tidak mungkin IHSG juga akan rebound atau kembali naik. Meski demikian, potensi ambruknya IHSG menurutnya tidak boleh menyurutkan semangat untuk masuk ke pasar saham. "Ini malah momentum," tutupnya.
Hal senada juga diungkapkan Pengamat Saham Hans Kwee. Indonesia yang hampir menuju resesi tidak menjadi hambatan besar bagi pergerakan bursa saham. "Ini hanya sementara," ungkapnya.
Bahkan, Indonesia masih mempunyai peluang besar untuk memperdalam pasar keuangan di masa pandemi ini. Apalagi, ada pengaruh positif dari tingginya minat investor pemula yang masuk ke bursa saham. "Ini enggak lepas dari kesadaran masyarakat bahwa investasi makin penting. Kemudian sudah jadi tren kaum milenial untuk investasi," sambungnya.
Direktur Anugerah Mega Investama ini juga melihat dampak PSBB yang diterapkan beberapa kali untuk mencegah penyebaran Coronavirus. Aktivitas masyarakat yang lebih banyak di rumah membuat banyak orang mencari alternatif pendapatan. Salah satunya dengan investasi saham.
Terbukti dengan maraknya transaksi investor domestik yang menguasai perdagangan di pasar saham beberapa pekan terakhir ini. Dia menilai, perlu ada berbagai instrumen derivatif untuk semakin memperdalam pasar keuangan di Tanah Air. Termasuk juga menambah investor ritel domestik agar bursa saham semakin ramai.
"Penduduk Indonesia sekitar 250 juta kalau seandainya kita anggap sepertiga saja yang main berapa angkanya. Kalau kita lihat yang bayar pajak saja 28 juta orang jadi potensi masih besar sekali sehingga pasar masih bisa naik," jelasnya.