Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) menunggu pemerintah mengeluarkan satu kebijakan yang dapat memajukan industri galangan kapal Tanah Air.
Ketua Umum Iperindo Eddy Kurniawan Logam mengatakan dari tahun 2018 rata-rata impor kapal Indonesia mencapai US$1 miliar, dan menempati posisi ke tujuh dari barang-barang impor lainnya.
“Bayangkan jika kapalnya dibangun dalam negeri. Pertama itu mengurangi defisit, menciptakan lapangan kerja, dan otomatis industri maritim yang harus menjadi industri unggulan di dalam negeri itu akan bertumbuh,” katanya saat ditemui di Kantor Kementerian Perindustrian, Rabu (12/6).
Ia mengatakan, saat ini kemampuan untuk membangun kapal dan industri galangan telah dimiliki oleh Indonesia, hanya tinggal bagaimana pemerintah memberi kesempatan lebih. Terlebih, katanya, jika kebutuhan kapal pemerintah digarap oleh industri perkapalan nasional.
“Tinggal ini diberi kesempatan, dan untuk sampai pada tingkatan efisiensi tertentu itu butuh waktu. Apalagi jika ditopang dengan kebutuhan kapal pemerintah, industri ini akan menjadi industri yang besar tentu,” ujarnya.
Belum lagi, katanya, Indonesia saat ini membutuhkan kapal-kapal besar untuk mengangkut barang-barang produksi dalam negeri seperti hasil tambang. Ia melanjutkan, jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya seperti China, Jepang, dan Korea, industri galangan kapal Indonesia jauh tertinggal.
Eddy menyoroti soal besarnya bea masuk dan PPN yang harus ditanggung oleh perusahaan galangan untuk komponen-komponen kapal yang menyebabkan tingginya harga jual kapal. Ia mengatakan, saat ini bea masuknya sekitar 5% sampai 12,5%, belum termasuk PPN.
“Makanya kami dari Iperindo sudah mapping dari 2,5 tahun ini untuk mencari komponen-komponen apa saja yang belum ada di dalam negeri. Agar nanti dapat dibuat secara efisien,” ucapnya.
Ia menyatakan telah mengajukan komponen-komponen yang dibutuhkan ke Kementerian Perindustrian agar diberi kelonggaran impor. Ia mengatakan terdapat 115 komponen yang belum ada pasokannya di Tanah Air.
“Biarkan impor komponen tersebut berjalan terlebih dahulu. Tetapi jangan selamanya. Kalau galangan kapalnya bertumbuh, industri komponennya otomatis juga akan bertumbuh. Di hari nanti kalau industri komponen dalam negeri sudah mampu, baru dikenakan bea masuk lagi,” ucapnya.
Selain itu, masalah suku bunga juga menjadi perhatiannya. Pihaknya berharap bank dapat mengeluarkan skema pembiayaan yang sama dengan suku bunga untuk proyek infrastruktur.
“Kalau infrastruktur kan 7%, nah kalau kita turun ke harga 7% otomatis harga kapal kita akan turun,” tuturnya.
Ia pun mengatakan ke depan diharapkan perbankan memiliki peranan lebih untuk menjembatani antara permintaan pelayaran dan industri galangan kapal. Ia mengatakan, di luar negeri pembeli dapat melakukan pembayaran 10% untuk produksi kapal, sementara 90%-nya ditalangi terlebih dahulu oleh perusahaan.
“Tapi kami dari industri galangan kapal dalam negeri belum mampu nalangin konsumen yang bayar 10%, yang 90% kami yang nalangin. Itu kenapa harus ada perbankan yang menjembatani,” ucapnya.