Ironi hilirisasi: Glorifikasi di balik nestapa masyarakat
Hilirisasi menjadi salah satu topik yang sering disebut dalam debat pemilihan presiden (Pilpres) 2024, Minggu (21/1) oleh ketiga calon wakil presiden (cawapres). Cawapres nomor urut 01 Muhaimin Iskandar misalnya, yang menilai hilirisasi yang dilakukan pemerintah saat ini berlangsung ugal-ugalan.
Sebaliknya, cawapres nomor urut 02 Gibran Rakabuming Raka menilai, hilirisasi telah berhasil menggenjot nilai tambah hasil tambang Indonesia. Selain itu, dengan hilirisasi, Indonesia juga berhasil menjadi produsen baterai kendaraan listrik.
Sementara itu, meski tidak banyak menyinggung soal hilirisasi, cawapres nomor urut 03 Mahfud MD, dalam dokumen visi dan misinya berencana meneruskan program hilirisasi yang telah dilakukan pemerintah saat ini.
“Hilirisasi sumber daya alam pertambangan, perkebunan, pertanian serta perikanan dan kelautan dilakukan secara menyeluruh hingga menciptakan produk akhir bernilai tinggi dengan fondasi industri hulu dan kebijakan TKDN (tingkat komponen dalam negeri),” tulis dokumen tersebut, dikutip Selasa (23/1).
Sejak dimulai 10 tahun lalu dan mulai difokuskan pada 2020, hilirisasi khususnya di sektor pertambangan memang telah berhasil mencapai tujuannya, untuk menciptakan nilai tambah hasil tambang. Buktinya, setelah hilirisasi nikel dilakukan tiga tahun lalu, neraca perdagangan Indonesia surplus selama 43 bulan berturut-turut.
Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), pada November 2023 surplus neraca perdagangan Indonesia mencapai US$2,41 miliar. Sedangkan surplus akumulatif pada periode Januari hingga November 2023 mencapai US$33,63 miliar.
Dari sisi Investasi, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengungkapkan realisisasi investasi hilirisasi hingga kuartal III-2023 mencapai Rp266 triliun, ini mencakup 25% dari total realisasi investasi nasional pada periode sembilan bulan pertama tahun lalu. Jika dirinci, realisasi investasi di masing-masing sektor yakni, nikel sebesar Rp97,0 triliun, bauksit Rp7,1 triliun dan tembaga Rp47,6 triliun.
Sementara investasi hilirisasi kelapa sawit dan oleochemical mencapai Rp39,5 triliun, pulp dan kertas Rp34,8 triliun, petrokimia Rp31,6 triliun, dan baterai kendaraan listrik Rp8,4 triliun. “Indonesia memiliki potensi mineral dan batu bara yang sangat besar dan berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi serta kemandirian dan ketahanan industri nasional,” kata Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif, kepada Alinea.id, Selasa (23/1).
Selain nilai tambah ekonomi, hilirisasi sektor mineral juga memainkan peran penting dalam mendukung transisi energi ke energi terbarukan. Hasil tambang seperti nikel dan bauksit adalah dua mineral yang menjadi bahan baku untuk pembuatan baterai kendaraan listrik.
“Selain itu, ada komoditas pendukung transisi energi lainnya yang sebagian besar sudah kita identifikasi sebagai mineral kritis untuk kebijakan percepatan transisi energi,” imbuh Irwandy.
Ajang glorifikasi
Meski begitu, di balik nilai tambah ekonomi, hilirisasi menyimpan derita masyarakat kecil, utamanya mereka yang tinggal di wilayah tambang. Dengan banyaknya kisruh pada hilirisasi, khususnya di sektor mineral dan tambang, program ini hanya menjadi glorifikasi bagi pihak-pihak tertentu.
“Pernyataan cawapres 02 yang mengglorifikasi industri nikel dan ambisi hilirisasinya, seperti yang dijalankan pemerintahan Presiden Joko Widodo–mengabaikan banyaknya persoalan yang terjadi selama ini,” beber Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjutak, dalam keterangannya yang diterima Alinea.id, Selasa (23/1).
Hilirisasi, khususnya nikel telah memicu kerusakan lingkungan, pencemaran akut, hingga penggusuran tempat tinggal masyarakat adat. Leonard bilang, ini terjadi karena Indonesia beroperasi dengan skema perizinan berbasis lahan.
Dari catatan Greenpeace Indonesia, per September 2023, ada 362 izin pertambangan nikel dengan luas 933.727 hektare, sebagian besar berada di timur Indonesia. Selain itu, di beberapa lokasi telah terjadi pembukaan lahan dan deforestasi di dalam izin konsesi nikel seluas 116.942 hektare, masing-masing terjadi di Pulau Sulawesi 91.129 hektare atau 20% dari total deforestasi Pulau Sulawesi, dan di Provinsi Maluku Utara dan Maluku seluas 23.648 hektare atau 8% dari deforestasi di Kepulauan Maluku.
“Eksploitasi nikel yang ugal-ugalan juga telah mencemari laut dan udara,” imbuh Leonard.
Rencana pembangunan 53 PLTU captive batu bara yang akan menambah beban daya sebesar 14,4 gigawatt, di mana sebagian besar di antaranya untuk pemenuhan energi smelter nikel jelas akan meningkatkan emisi dan pencemaran udara. Akibat penambangan dan pengolahan nikel, sebanyak 882.000 ton limbah berbahaya mencemari Pulau Obi dan daerah-daerah tambang lainnya.
“Cadangan nikel Indonesia pun bakal habis dalam 6 tahun hingga 15 tahun saja, imbas dari masifnya pengembangan smelter,” ujar dia.
Di sisi lain, hilirisasi hanya memperkaya pihak-pihak tertentu atau dalam hal ini adalah pelaku usaha tambang, yang kebanyakan berasal dari China. Sebaliknya, praktik hilirisasi justru menjadi alat untuk memiskinkan rakyat. Bahkan, janji hilirisasi untuk memperluas kesempatan kerja juga tidak jelas ujungnya.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Melky Nahar bilang, ketidakberuntungan masyarakat di areal tambang tergambar jelas dalam tingkat kemiskinan daerah yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). “BPS mengeluarkan data tingkat kemiskinan di wilayah sentra nikel kita ini sangat tinggi, seperti di Sulawesi Tengah hingga Maluku Utara,” katanya, dalam peluncuran laporan bertajuk: Jejaring Oligarki Tambang dan Energi dalam Pemilu 2024 di Jakarta pada Senin (22/1).
Sebagai Informasi, pada Maret 2023 BPS mencatat presentase penduduk miskin di Sulawesi Tengah sebesar 12,41%, naik 0,11% dari posisi September 2022. Sementara di Maluku Utara, pada Maret 2023 tingkat kemiskinan ada di level 6,46%, naik dari Maret tahun sebelumnya yang sebesar 6,23%.
Dengan fakta ini, Melky menilai, hilirisasi hasil tambang sebagai upaya percepatan hanyalah solusi semu yang ditawarkan para paslon presiden dan wakil presiden.
“Aneh jika menyebut hilirisasi sebagai aksi keberlanjutan. Kami menilai pemilu 2024 semacam solusi palsu untuk mengatasi permasalahan. Ini justru mencemaskan,” tutur Melky.