Ironi mimpi swasembada energi Prabowo
Presiden Prabowo Subianto mengungkap keinginan agar Indonesia mencapai swasembada energi di masa depan. Menurut Prabowo, swasembada energi semestinya bisa dicapai Indonesia yang kaya dengan sumber-sumber energi, baik dari yang berbasis fosil hingga energi baru terbarukan, seperti geotermal dan tenaga surya.
"Kita harus siap dengan kemungkinan yang paling jelek... Kalau terjadi hal yang tidak kita inginkan, sulit kita dapat sumber energi dari negara lain. Karena itu, kita harus swasembada energi dan kita mampu untuk swasembada energi,” ujar Prabowo dalam pidato pelantikan di Gedung MPR, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10).
Swasembada energi dicita-citakan oleh semua presiden sebelum Prabowo, termasuk Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, tak satu pun presiden yang mampu merealisasikannnya. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), impor liquefied petroleum gas (LPG) dan bahan bakar minyak (BBM) RI bahkan sudah mencapai kisaran Rp500 triliun per tahun.
Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia (MITI) Mulyanto mengatakan keinginan Presiden Prabowo untuk swasembada energi patut diapresiasi. Namun, ia sepakat mimpi itu bakal sulit diwujudkan karena Indonesia masih sangat tergantung pada impor BBM untuk memenuhi kebutuhan domestik.
"Target swasembada energi itu cukup berat khususnya terkait dengan sumber energi BBM dan gas LPG. Faktanya sekarang ini kita masih impor dan semakin lama jumlah impor BBM dan gas LPG tersebut semakin meningkat," kata Mulyanto kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Untuk mewujudkan swasembada energi, menurut Mulyanto, ada banyak aspek yang perlu dibenahi. Guna mengurangi impor, misalnya, pemerintah Prabowo harus membangun infrastruktur dan teknologi produksi migas yang memadai.
Pada sisi hilir, perlu digalakkan langkah penghematan, pembatasan, dan pengawasan. Di sisi hulu, upaya-upaya meningkatkan kontribusi energi baru dan terbarukan (EBT) dalam bauran energi harus dikebut. "Bukan hanya infrastruktur yang perlu disiapkan tapi tata kelolanya juga harus dirombak total," ujar Mulyanto.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), realisasi EBT dalam bauran energi primer pada 2023 hanya baru 13,1%, meningkat 0,8% dari 2022. Angka itu masih jauh dari target bauran EBT sebesar 23% pada 2025. Bauran batubara masih dominan dengan 40,46%, diikuti minyak bumi dengan 30,18% dan gas bumi 16,28%.
"Begitu pula terkait penggunaan gas LPG, perlu langkah yang lebih massif untuk substitusi penggunaan gas LPG ke gas alam yang relatif berlimpah. Penggunaan kompor gas LPG secara bertahap harus diganti dengan kompor gas alam (jargas)," kata anggota DPR RI periode 2019-2024.
Ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi sepakat mimpi swasembada energi yang ditargetkan Prabowo bakal sulit dicapai. Apalagi, jika itu diupayakan dengan mengandalkan EBT berbasis pengolahan kelapa sawit, singkong, tebu, sagu, jagung dan panas bumi (geotermal), tenaga air, angin, dan matahari. Pasalnya, Indonesia tidak memiliki teknologi pengolahan EBT.
"Semula Pertamina sudah mengusahakan biodiesel, yang merupakan percampuran solar dengan minyak sawit. Dimulai dengan B-20, meningkat ke B-35, naik menjadi B-40. Lalu, itu berhenti lantaran Eni, partner usaha dari Italia, menghentikan kerja sama dengan Pertamina," kata Fahmy kepada Alinea.id, Selasa (22/10).
Menurut Fahmi, program gasifikasi yang mengolah batu bara menjadi gas juga gagal setelah partner usaha Air Product asal Amerika Serikat hengkang dari Indonesia. Gasifikasi dinilai tidak mencapai harga keekonomian lantaran harga batu bara di pasaran cenderung fluktuatif.
Untuk mewujudkan swasembada energi, menurut Fahmi, pemerintah perlu menarik investor asing pemilik teknologi untuk bekerja sama dengan perusahaan energi dan BUMN dalam negeri. Strategis lainnya adalah mengembangkan penelitian dan pengembangan pengolahan energi.
"Dengan menggandeng Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan universitas-universitas di Indonesia untuk menghasilkan teknologi yang dibutuhkan. Upaya itu dibutuhkan komitmen jangka panjang karena R&D (research and development) membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar," kata Fahmy.
Tiada kalah penting adalah melanjutkan pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang telah dimulai pada era Jokowi dengan membentuk Dewan Energi Nasional (DEN) dan tim percepatan pembangunan PLTN. Menurut Fahmi, PLTN merupakan energi bersih yang bisa mendongkrak bauran EBT dalam energi primer.
"PLTN harus dijadikan prioritas dikembangkan. Alasannya, PLTN merupakan energi bersih yang secara masif menghasilkan listrik. Resource PLTN seperti uranium juga tersedia di Indonesia. Prabowo sebaiknya melanjutkan upaya Jokowi dalam pengembangan PLTN, sehingga tidak harus memulai dari awal," kata Fahmy.
Di luar itu, Fahmy juga menekankan pentingnya sokongan dari menteri-menteri terkait di Kabinet Merah Putih. "Tanpa upaya serius dan terus menerus, komitmen Prabowo yang disampaikan pada pidato perdana sebagai presiden untuk mencapai swasembada energi tak lebih hanya omon-omon saja," imbuhnya.