Ironi pengerukan pasir laut: Untungkan asing, rugikan nelayan
Kapal keruk dengan jenis Trailing Suction Hopper Dredger (TSHD) milik perusahaan Van Oord kembali terlihat melintasi Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta dengan muatan sejak 18-22 November lalu. Padahal, pada 27 Oktober, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) baru saja menyegel kapal berbendera Belanda ini karena diduga melakukan kegiatan pengisapan atau pengerukan pasir laut tanpa dilengkapi dokumen Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) atau persetujuan pemanfaatan ruang laut. Dalam penyegelan itu, KKP menemukan barang bukti berupa muatan pasir laut sebanyak 24.000 meter kubik.
Soal aktivitas terbaru, Forum Peduli Pulau Pari (FPPP) menduga, kapal bernama MV Vox Maxima ini kembali mengeruk pasir laut di Pulau Tunda, Banten. Selama lima hari, pasir yang dikeruk kapal yang dipekerjakan oleh PT Hamparan Laut Sejahtera (LHS) ini telah mengangkut sekitar 120.000 meter kubik pasir laut, dan akumulasi pendapatan kotor dari penjualan pasir laut mencapai Rp22,56 miliar (dengan perkiraan harga pasir laut seharga Rp188 ribu per meter kubik untuk kebutuhan dalam negeri).
Direktur Eksekutif WALHI Jakarta Suci Fitriah Tanjung bilang, jika aktivitas kapal MV Vox Maxima terus berlanjut, pihaknya khawatir kerusakan lingkungan di Teluk Jakarta akan terulang kembali. Seperti saat pemerintah mengizinkan reklamasi Pulau G beberapa tahun lalu. Bahkan, dengan luas Pulau Tunda yang hanya sekitar 300 hektar, dikhawatirkan akan membuat pulau ini hilang.
“Kehancuran yang dimaksud adalah di Perairan Pulau Tunda yang mengakibatkan hancurnya kehidupan sosial ekologis nelayan, serta kehancuran di Teluk Jakarta beberapa tahun yang lalu,” katanya kepada Alinea.id, Senin (27/11).
Pemerintah, melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah melakukan kesepakatan dengan PT Pertamina (Persero) untuk memulai proyek reklamasi PT Pelindo di Kalibaru, Jakarta Utara dan PT HLS lah yang diminta oleh pemerintah untuk menyuplai pasir laut sebagai bahan baku proyek ini. Nantinya pulau reklamasi itu akan digunakan untuk memindahkan lokasi Tangki Bahan Bakar Minyak (TBBM) Depo Plumpang.
“Dengan pembangunan proyek reklamasi ini pemerintah Indonesia akan meneruskan kehancuran, alih-alih memulihkan ekosistem teluk Jakarta yang telah rusak,” ujar Suci.
Kerusakan di pesisir Jakarta telah terlihat dari indeks kualitas air laut (IKAL) yang dipublikasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2020 lalu, di mana IKAL di Teluk Jakarta memiliki skor 59,95. Artinya, kualitas air laut di Teluk Jakarta dalam keadaan tidak baik.
“Proyek reklamasi ini akan semakin menghancurkan kualitas air laut di Teluk Jakarta,” tegas Suci.
Perlu diketahui, kini ada tiga izin usaha pertambangan (IUP) pasir laut yang dibebankan kepada Pulau Tunda. Pertama, IUP yang dipegang PT Pandu Katulistiwa, berupa wilayah konsesi seluas 954,70 ha berdasarkan SK No. 570/28/IUP.OP/DPMPTSP/XII/2020. Kedua, IUP milik PT Hamparan Laut Sejahtera (HLS), dengan wilayah konsesi seluas 937,70 ha berdasarkan SK No. 570/27/IUP.OP/DPMPTSP/XII/2020. Selanjutnya, IUP PT Krakatau Banten Sejahtera, dengan wilayah konsesi seluas 482,00 ha berdasarkan SK No. 570/14/IUP.OP-DPMPTSP/XI/2020.
Padahal, lanjut Suci, dengan luas wilayah mini, Pulau Tunda memiliki kerentanan lebih tinggi karena hanya bergantung pada pulau utamanya saja. Hal inilah yang membuat pulau yang terletak di antara Pulau Jawa dan Sumatera ini seharusnya dilindungi, dengan tidak mengizinkan siapapun menambang pasir di sekitar Pulau.
Rugikan nelayan
Sementara itu, nelayan tradisional sekaligus Ketua Forum Peduli Pulau Pari Mustaghfirin (Bobi) menjelaskan, aktivitas kapal MV Vox Maxima telah mengganggu dan menimbulkan kerugian bagi banyak nelayan tradisional. Bagaimana tidak, jalur yang dilewatinya oleh kapal penghisap ini adalah jalur tangkap nelayan kecil.
“Kapal itu menabrak jalur kami, sehingga alat tangkap kami nelayan jadi rusak. Alat tangkap yang rusak seperti bubu, jaring, tendak (rumpon) dan bubu kepiting. Wilayah tangkap kami yang dilewati kapal itu hanya berjarak sekitar 3 mil dari Pulau Pari,” keluhnya, saat dihubungi Alinea.id, Senin (27/11).
Kerugian-kerugian yang nelayan kecil rasakan ini seharusnya menjadi perhatian serius dari pemerintah. Sebab, selain merusak jalur tangkap nelayan tradisional, penambangan pasir laut juga membuat ekosistem laut seperti terumbu karang menjadi rusak. Padahal, di situ lah ikan-ikan banyak tinggal.
“Kami nelayan kecil menjaga keberlanjutan ekosistem laut, tapi lautnya malah ditambang karena izin dari pemerintah. Kami nelayan kecil menolak pertambangan pasir laut dan juga penimbunan pantai, karena nelayan yang selalu merasakan dampaknya dan menjadi korban!” tegas Mustaghfirin.
Terpisah, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Parid Ridwanuddin mengungkapkan, saat pulau kecil telah rusak karena aktivitas penambangan pasir laut, akan membutuhkan biaya besar untuk memulihkan lingkungan yang rusak di sekitar pulau. Dari hasil kajian WALHI, jika 1 meter kubik penambangan pasir laut menghasilkan pendapatan Rp1, biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan lingkungan sebesar Rp5.
“Artinya, biaya pemulihan lingkungan hidup itu lebih besar lima kali lipat dari pendapatan,” ungkapnya.
Akibat reklamasi Teluk Jakarta, Parid menghitung, nelayan di Teluk Jakarta berpotensi kehilangan penghasilan hingga Rp766 miliar per tahun. Dengan kerugian tiap nelayan mencapai Rp26,9 juta per tahun untuk setiap 1 hektar laut terdampak reklamasi. Dus, total kerugian para nelayan di utara Jakarta mencapai Rp137,5 miliar per tahun setiap 1 hektar laut yang terdampak reklamasi.
Selain nelayan, reklamasi juga akan mengakibatkan kerugian total Rp13,6 miliar per tahun bagi para pemilik tambak ikan. Kemudian 1.561 orang pedagang ikan akan rugi Rp119,4 miliar setiap tahun karena aktivitas pengerukan pasir. Pun dengan 472 pengolah ikan yang akan rugi Rp46,2 miliar per tahun.
“Dengan demikian, kami mendesak proyek reklamasi sekaligus pertambangan pasir laut di Pulau Tunda, Banten, segera dihentikan. Masa depan Pulau Tunda dan Teluk Jakarta adalah pemulihan ekologi dan ekonomi untuk nelayan,” tegas Parid.