close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pertanian. Foto Pixabay.
icon caption
Ilustrasi pertanian. Foto Pixabay.
Bisnis - Pangan
Jumat, 30 Agustus 2024 17:40

Ironi petani di negeri agraris: Penghasilan tak layak dan segudang masalah lain

Sektor pertanian terus mengalami kemerosotan. Nasib petani masih memprihatinkan.
swipe

Sektor pertanian terus mengalami kemerosotan, jadi ironi di Indonesia yang diklaim sebagai negara agraris.

Julukan negeri gemah ripah loh jinawi seolah menjadi slogan belaka. Indonesia jorjoran mengimpor beras lantaran produksi dalam negeri tak mencukupi. Nasib petani di Indonesia pun masih memprihatinkan. 

Pertanian merupakan lapangan pekerjaan terbesar dengan kontribusi 29,4% terhadap jumlah tenaga kerja nasional pada tahun 2023. Namun, kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya 12,5% pada 2023 atau menyusut ketimbang 2014 yang berada di angka 13,34%. Padahal, pertanian merupakan sumber penghasilan utama bagi 48,9 % rumah tangga miskin di Indonesia.

Pendapatan bersih petani dan nelayan di Indonesia cenderung rendah dan di bawah rata-rata upah minimum regional. Banyak petani yang mengantongi penghasilan di bawah Rp1,5 juta per bulan.

Subsidi pupuk

Kenaikan harga pupuk menjadi masalah petani yang terus berulang. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyayangkan alokasi anggaran untuk subsidi pupuk justru menurun.

Pada 2019 misalnya, anggaran subsidi pupuk mencapai Rp34,3 triliun, tetapi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 anggaran subsidi pupuk turun menjadi Rp26,7 triliun. 

Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development Indef Abra Talattov mengatakan, kondisi ini membuat pupuk seakan menjadi barang mahal. Lantaran, harga pupuk dunia terus meningkat akibat konflik global, seperti perang Rusia dan Ukraina.

Sebenarnya, anggaran sektor ketahanan pangan relatif meningkat, dengan rata-rata pertumbuhan tahun 2020-2024 mencapai 11,3% per tahun. Pada 2019, anggaran ketahanan pangan sebesar Rp80,7 triliun, kemudian naik menjadi Rp114,3 triliun pada 2024. Kenaikan anggaran dipengaruhi pembangunan irigasi dan bendungan, serta dukungan Transfer ke Daerah atau TKD. Sayangnya, alokasi anggaran untuk subsidi pupuk justru menurun.

Pemerintah berdalih, tengah berupaya melakukan reformasi subsidi pupuk. Caranya dengan skema bantuan langsung pupuk (BLP) kepada petani melalui kartu tani atau kartu tani digital secara bertahap. Masalahnya, di lapangan banyak petani yang belum bisa mengakses pupuk bersubsidi.

“Karena adanya persoalan birokrasi di desa dan masih terjadinya praktik politisasi terhadap akses subsidi pupuk,” kata Abra, baru-baru ini.

Perkara lainnya, ada ketimpangan akses digital antara petani di Jakarta dengan daerah lain seperti Nusa Tenggara Timur (NTT). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 64,3% keluarga petani di Jakarta memiliki perangkat digital, tapi di NTT hanya 7,5%. Pun demikian dengan pemanfaatan internet, untuk Jakarta sebesar 63%, sementara di NTT hanya 4%.

Petani juga menghadapi sederet masalah lain. Akses petani terhadap pembiayaan dan pelatihan masih terbatas, khususnya di wilayah timur Indonesia. Pembiayaan Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk keluarga petani di Gorontalo mencapai lebih dari 20%, tapi hanya 0,5% yang mendapat pelatihan. Di Papua, hanya 1,2% petani yang mendapat pembiayaan KUR.

“Ini akan jadi pekerjaan rumah yang cukup berat bagi pemerintahan mendatang untuk memastikan pembiayaan sektor pertanian yang dialokasikan oleh anggaran negara maupun sektor komersial, bisa menjangkau petani, khususnya di timur Indonesia,” ujarnya. 

Tantangan lainnya adalah program bantuan sosial seperti program keluarga harapan (PKH), bantuan pangan nontunai (BPNT), dan bantuan langsung tunai (BLT) Desa belum sepenuhnya menjangkau keluarga petani dengan tingkat pendapatan terendah. Abra menyebut terdapat 52,7% keluarga petani di tingkat pendapatan terendah belum mendapat berbagai jenis bantuan sosial tersebut.

Tingkat kesejahteraan

Abra menyebut pemerintah memiliki tugas untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Apalagi, mengutip data Kementerian Keuangan, Nilai Tukar Petani (NTP) yang menjadi salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani, menunjukkan hanya naik tipis. Di 2013, angkanya mencapai 103,21 dan naik di 2022 menjadi 107,33. NTP pada 2023 ditargetkan 105-107, sedangkan pada 2024 dipatok 105-108.

Sebagai informasi, NTP adalah perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani. NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani di pedesaan.

Di sisi lain, tingkat kemiskinan dan pengangguran tak banyak berkurang dari tahun ke tahun. Ketimpangan juga semakin melebar, dari 0,382 di 2019 menjadi 0,388 di 2023. Perdesaan juga masih menjadi kantong kemiskinan.

Kepala Center of Macroeconomics and Finance Indef M Rizal Taufikurahman mengatakan tingkat kemiskinan dalam satu dekade pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), masih tinggi. Demikian juga dengan realisisasi pertumbuhan ekonomi yang stagnan bahkan di bawah target. 

“Target pertumbuhan ekonomi dalam 10 tahun sulit tercapai, bahkan belum ada yang tercapai. Jadi memang ini menjadi satu catatan penting. Realisasi tersebut menggambarkan ekonomi jauh dari harapan meskipun tumbuh,” ujarnya. 

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan