Israel enggan gencatan senjata, harga minyak bisa terkerek
Israel masih terus membumihanguskan Palestina dan memaksa gelombang pengungsian besar-besaran warga Gaza. Serangan udara dan darat dilakukan tanpa henti ke Jalur Gaza sejak Hamas melancarkan serangan lintas batas pada 7 Oktober 2023. Berdasarkan data dari otoritas Palestina, sedikitnya lebih dari 11.300 warga Palestina telah tewas.
Termasuk di dalamnya lebih dari 7.800 perempuan dan anak-anak, dan lebih dari 29.200 lainnya luka-luka. Ribuan bangunan, termasuk pemukiman warga, rumah sakit, masjid dan gereja juga rusak hingga hancur karena serangan yang bertubi-tubi. Sementara di Israel, jumlah resmi korban tewas akibat serangan Hamas mencapai lebih dari 1.200 orang.
Hingga hari ini, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) belum menyerukan gencatan senjata untuk Israel namun hanya mengeluarkan resolusi untuk jeda kemanusiaan di Gaza. Seruan itu pun tidak digubris oleh Israel. Bahkan terbaru, negara yang dipimpin Benyamin Netanyahu ini menyerang kompleks medis al-Shifa di Kota Gaza.
Mengutip Al Jazeera, serangan diluncurkan karena menurut seorang dokter di dalam rumah sakit, Hamas menolak klaim senjata yang ditemukan dalam serangan selama berjam-jam pada hari Rabu. Kementerian Luar Negeri Palestina sendiri telah memperingatkan soal 'pemalsuan menyesatkan' Israel tentang Al-Shifa yang diklaim sebagai tempat ribuan orang berlindung.
Belum redanya konflik Israel dan Palestina yang bahkan mengarah kepada genosida warga Gaza, membuat perekonomian global bergejolak, termasuk untuk Indonesia. Ekonom senior Aviliani menyatakan Indonesia mengalami perlambatan ekonomi pada kuartal-III 2023 dengan menorehkan laju perekonomian sebesar 4,94%. Lebih rendah dibanding kuartal-III 2022 (year on year) yang sebesar 5,72% dan kuartal-II 2023 yang sebesar 5,17%.
Aviliani menilai turunnya laju perekonomian kuartal-III memang dipengaruhi banyak hal. Salah satunya, perang Ukraina-Rusia serta invasi Israel yang sangat mempengaruhi rantai pasok global, kebijakan negara, dan harga komoditas.
“Ekspor tadinya tumbuh sampai 21,26% sekarang minus 4,26%. Karena itu, konsumsi rumah tangga harus dijaga, paling enggak bisa mengurangi pengaruh dari luar,” katanya dalam Webinar Prospek Makro Ekonomi dan Market Update, Perbankan, dan Multifinance 2024, pekan lalu.
Sementara itu, Managing Partner Inventure Yuswohady mengatakan sejauh ini dampak agresi Israel ke Palestina belum begitu besar. Namun, kondisi ini bisa berubah jika eskalasi konflik meluas ke negara tetangga atau negara-negara Arab.
“Jika negara-negara ini ikutan maka (terjadi) direct war. Ini akan ngaruh ke harga minyak, nilai tukar dolar AS dan inflasi,” katanya saat Webinar Marketing Outlook 2024 oleh Inventure, beberapa waktu lalu.
Saat ini, tambahnya, nilai tukar dolar AS terhadap berbagai mata uang negara tengah perkasa. Hal ini seiring dengan kebijakan suku bunga tinggi bank sentral AS, The Fed. Awal November kemarin, The Fed memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di level 5,25-5,50%. Namun, The Fed menegaskan jika inflasi belum turun secepat keinginan mereka maka potensi kenaikan suku bunga masih ada.
Di sisi lain, agresi Israel tanpa jeda ke Jalur Gaza bisa berdampak meluas. Jika wilayah konflik masih di Jalur Gaza, tambahnya, pengaruh terhadap perekonomian global tidak begitu besar. Namun, jika merembet dan melibatkan negara lain seperti Iran, maka pengaruhnya akan langsung terasa pada kenaikan harga minyak.
“Bisa naik harga minyak, sekarang US$80-an per barel, takutnya kalau sudah menyentuh angka psikologis US$100 atau US$150 kalau perang melebar pengaruhnya cepat sekali,” kata laki-laki yang karib disapa Siwo ini.
Dia menambahkan, Inventure memiliki perhitungan eskalasi konflik Israel-Palestina dalam tiga skenario. Pertama, konflik di skala lokal yakni hanya terjadi di Jalur Gaza yang mana dampaknya ke perekonomian global tidak signifikan. Kedua, konflik merembet seiring dukungan kepada Palestina dari negara lain seperti Suriah dan Lebanon.
“Terjadi proxy war, yang perang bukan negara sebenarnya, seperti AS bantu Israel,” tambah dia.
Kemudian, skenario ketiga yang sangat mengkhawatirkan yakni jika Iran turut turun tangan dan perang dengan Israel. Dia memprediksi harga minyak bisa naik hingga US$64 atau menjadi sekitar US$140-an, dan GDP (Gross Domestic Product) global naik 1%, serta inflasi global naik 1,2 point.
“Jadi ke depan yang tergantung dolar AS dan minyak harus waspada, hati-hati,” tutup Siwo.
Lebih lanjut, eskalasi konflik yang mengarah pada pembantaian etnis ini membuat gelombang aksi Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) kian meluas dalam skala global. Namun, dia melihat sejauh ini pengaruh gerakan tersebut terhadap brand-brand milik AS sebagai sekutu Israel masih mikro. Namun di sisi lain gerakan ini memberi angin segar bagi produk dalam negeri.
“Sentimen produk luar negatif ini jadi peluang brand-brand lokal untuk perkuat brand equity,” ungkap pakar marketing ini.
Untuk diketahui, pada Rabu (15/11), mengutip dari surat kabar Israel, Maariv disebutkan bahwa terjadi pertempuran di perbatasan front utara yang semakin berkobar dan mengingatkan pada peristiwa 8 Juni 1967 alias "Perang Enam Hari". Di mana militer Tel Aviv disebut sedang menghadapi ancaman nyata dari kelompok milisi Hizbullah dari Lebanon.
"Pada saat IDF (Pasukan Pertahanan Israel) sedang berfokus pada masalah Gaza, pembebasan korban penculikan, serta pemberantasan Hamas dan Jihad Islam, perbatasan utara menjadi masalah yang sangat mengkhawatirkan bagi puluhan ribu penduduk utara (Israel), yang menghadapi Hizbullah sebagai ancaman nyata," tulis Maariv, seperti dikutip dari Al Mayadeen.