Manajemen emiten PT Kawasan Industri Jababeka Tbk. (KIJA) mengaku tak mampu membayar utang obligasi global US$300 juta setara Rp4,2 triliun yang jatuh tempo. Surat utang global (notes) yang diterbitkan anak usaha perseroan, Jababeka International BV di Singapura itu berpotensi default.
Direktur Kawasan Industri Jababeka Tedjo Budianto Liman mengakui saat ini perseroan belum memastikan apakah akan membeli kembali (buyback) obligasi tersebut atau tidak. Menurut dia, perseroan tak mampu membayar utang senilai US$300 juta lantaran arus kas hingga Maret 2019 hanya Rp873,89 miliar.
"Kami sebagai perusahaan publik sudah memiliki rencana pembayaran, notes kami ini akan jatuh tempo pada 2023. Hal yang terjadi di RUPS (rapat umum pemegang saham) tahunan ini benar-benar di luar dugaan," kata Budianto dalam paparan publik insidentil di Gedung World Trade Center I, Jakarta, Senin (8/7).
Potensi default KIJA ini terjadi karena adanya perubahan pengendali perusahaan. Sumbernya, saat RUPST perseroan pada 26 Juni 2019.
Pemegang saham dalam RUPST menyepakati usulan pergantian susunan anggota direksi dan anggota komisaris. Usulan tersebut datang dari PT Imakotama Investindo dan Islamic Development Bank (IDB) yang masing-masing memegang saham perseroan sebesar 6,287% dan 10,841%.
Akhirnya, pemegang 52,117% saham melalui voting menyetujui pengangkatan Sugiharto sebagai Direktur Utama dan Aries Liman sebagai Komisaris. Hal tersebut menanadakan adanya acting in concert dan perubahan pengendalian dalam perseroan.
"Seharusnya perubahan direksi dan komisaris tersebut datang dari Komite Nominasi dan Remunerasi (KNR) dan melalui tes kelayakan atau fit and proper test," ujar Budianto.
Perubahan itu terbilang menyalahi syarat dan kondisi notes yang diterbitkan oleh anak usaha perseroan. Akibatnya, perseroan berkewajiban untuk memberikan penawaran pembelian kepada para pemegang notes dengan harga pembelian sebesar 101% dari nilai pokok notes US$300 juta ditambah kewajiban bunga.
Dalam hal perseroan tidak mampu melaksanakan penawaran pembelian tersebut, maka Jababeka International B.V akan berada dalam keadaan lalai atau default. Jika potensi risiko default tersebut terjadi, kata Budianto, direksi akan melakukan pertemuan dengan para pemegang saham. "Berarti kan Jababeka menjadi korban atas segala yang terjadi di situ, dan ini bukan dari kinerja perusahaan," tutur Budianto.
Pada perdagangan Senin (8/7), saham KIJA disuspensi oleh PT Bursa Efek Indonesia. Sebab, BEI menilai akan adanya potensi default pada pembayaran utang KIJA.
Sebagai catatan, total utang jangka panjang dari senior notes mencapai Rp4,05 triliun dan pinjaman bank Rp89,4 miliar. Sedangkan, utang jangka pendek dari perbankan mencapai Rp147 miliar.