Jadi primadona, harga tanaman hias ‘digoreng’ kala pagebluk?
Pandemi Covid-19 membuat orang lebih banyak beraktivitas di dalam rumah untuk menghindari penularan. Intensitas keluar rumah semakin berkurang dan mendorong hobi yang bersifat rumahan.
Salah satunya adalah hobi koleksi tanaman hias yang kini menjadi pilihan bagi sebagian orang. Ada yang sekadar mengisi waktu luang untuk mengusir kebosanan, ada pula yang menjadikannya sebagai salah satu sumber penghasilan. Tak hanya mengoleksinya, banyak orang yang menekuninya dengan serius melalui perawatan dan pemeliharaan tanaman secara intens.
Sejak kanak-kanak, Yos Alirama (73) sudah menyukai berbagai macam tanaman. Di halaman rumahnya ,tumbuh berbagai jenis tanaman mulai dari buah-buahan seperti mangga dan rambutan, puring-puringan, palem-paleman, hingga tanaman talas-talasan (Araceae) seperti Gelombang Cinta (Anthurium), Sri Rejeki (Aglaonema), hingga Janda Bolong (Monstera Adansonii). Ia juga menanam berbagai macam bunga seperti melati, kemuning, dan anggrek.
“Saya pribadi emang suka tanaman. Di samping untuk kesibukan, juga untuk penghijauan,” katanya ketika ditemui di rumahnya, Senin (31/8).
Yos mengaku tidak terlalu mengikuti tren dalam membeli tanaman. Dia kerap mengincar tanaman hias yang belum pernah dikoleksinya, baik sendiri maupun melalui orang suruhannya. Pria yang berprofesi sebagai pengusaha burung piaraan ini mengaku tak memiliki anggaran khusus untuk mengoleksi tanaman hias.
“Kalau ada uang saja baru beli. Itu kan bukan suatu hal yang harus diprioritaskan. Ketika ada uang ke tempat tanaman terus lihat belum ada yang punya, kita beli,” ujar warga Tangerang Selatan, Banten tersebut.
Untuk mendukung hobinya, Yos juga memperbanyak koleksi tanamannya melalui stek sehingga tak melulu membeli tanaman hias baru. Bahkan, sebagian tanaman yang ditanamnya juga dibagi-bagikan kepada para kerabat dan keluarganya.
“Tanaman bagus juga karena masalah pemeliharaan, bukan karena jenisnya. Kalau kita pelihara dan pupuk kan juga jadi bagus, hijau gitu. Tanaman apapun kalau bagus akan menghasilkan bentuk bagus dan manfaatnya bagi penghijauan kan juga ada. Enggak perlu tanaman yang mahal-mahal,” pesannya.
Jadi primadona kala pagebluk
Pagebluk memang menjadi berkah tersendiri bagi para pedagang tanaman hias, seperti yang dialami oleh Baim (38). Pria yang telah terjun ke bisnis jual-beli tanaman hias sejak 2003 silam ini membuka lapak tanaman hias di Taman Anggrek Ragunan, Jakarta Selatan. Ia mengaku omzetnya meningkat sekitar 100% kala pandemi.
“Sebenernya kalau di Ragunan (Taman Anggrek) enggak tutup. Tutup mah di atas doang (Kebun Binatang Ragunan). Omzet malah bagus. Orang jenuh di rumah larinya ke tanaman,” ungkapnya kala berbincang dengan Alinea.id, Selasa (1/9).
Baim menjelaskan tanaman anggrek, Aglaonema, dan Phylodendron menjadi tanaman yang paling banyak diminati oleh pelanggannya. Tak hanya melayani pengunjung, kiosnya juga melayani pemesanan hingga seluruh Indonesia. Untuk tanaman-tanaman yang tengah naik daun, ia mengaku kesulitan dalam mencari pasokan dari petani maupun importir.
“Dulu enggak seramai sekarang. (Sekarang) Barang enggak ada, ambil dari Thailand atau petani dari Sawangan (Depok, Jawa Barat), Bogor (Jawa Barat), Bandung, mana aja susah. Ini aja (aglaonema) barangnya dari Thailand,” ceritanya.
Kelangkaan pasokan dan meningkatnya permintaanlah yang kini mengerek harga. Tak hanya Aglaonema, tanaman hias lainnya juga mengalami kenaikan semenjak Hari Raya Idul Fitri silam.
Seperti halnya diungkapkan Pemilik Godong Ijo Nursery Chandra Gunawan Hendarto. Ia bahkan mengalami kenaikan penjualan 2 hingga 4 kali lipat semenjak adanya pandemi. Namun, dia melihat fenomena boomingnya hobi koleksi tanaman hias tak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di seluruh dunia.
Adapun jenis yang kini banyak diburu adalah tanaman kelompok aroid (talas-talasan) seperti Philodendron dan Monstera. Semakin langka jenis tanaman tersebut maka harganya dapat mencapai jutaan rupiah per pohonnya.
“Saya enggak tahu dari ribuan tanaman kenapa tanaman ini (Philodendron dan Monstera) dipilih. Sama halnya ada 200 perusahaan listed (tercatat) perusahaan di bursa. Kalau saya tahu tahun depan apa yang naik, kalau perlu kolor saya jual, saya pakai sarung saja. Enggak ada yang tahu. Tanaman ini 4-5 tahun saya kumpulin. Bisa naik seperti ini enggak tahu,” ungkapnya melalui sambungan telepon, Selasa (1/9).
Pria yang tinggal di Sawangan, Depok, Jawa Barat ini memfokuskan diri pada pasar dalam negeri. Hanya 2-3% produknya yang diekspor ke luar negeri. Meskipun demikian, ia meyakini bahwa tanaman hias Indonesia berpotensi ekspor.
Ketua Umum Asosiasi Bunga Indonesia (Asbindo) Hesti Widayani melihat meningkatnya kegiatan berkebun selama pandemi memicu adanya kenaikan permintaan terhadap tanaman hias. Terlebih lagi, menurutnya, tanaman hias memiliki estetika tersendiri dan berfungsi sebagai “food for the soul” yang menyehatkan emosi dan berfungsi sebagai anti polutan.
“Tanaman hias mempunyai prospek yang menjanjikan karena fungsi tersebut dan masa pandemi yang belum diketahui masa berakhirnya, yang dapat menjadi new style dimasa new normal,” tulisnya melalui surat elektronik, Rabu (2/9).
Dia menambahkan peningkatan omzet yang dirasakan oleh pelaku usaha tanaman hias selama pandemi bervariasi. Sayangnya, omzet yang didapatkan oleh petani tidak sebesar pedagang tanaman hias yang menjual tanaman dengan selisih harga lebih besar.
Hesti menjelaskan pada dasarnya harga tanaman hias yang dibudidayakan secara massal relatif stabil karena memiliki sistem perencanaan tanam yang mengikuti jadwal permintaan tahunan pada perayaan-perayaaan tertentu seperti Idul Fitri, Valentine, Imlek, dan Natal.
“Ada trend setter, dengan mengikuti pasar Asia atau internasional. Ada permintaan pasar ekspor dan permintaan dalam negeri. Produsen harus bisa membaca pasar arahnya kemana, sehingga dapat menentukan future product,” jelasnya.
Dia mengingatkan bahwa tiap tanaman memiliki sifat dan karakteristik berbeda, sehingga para peminat dan penggiat tanaman hias mesti mengetahui kebutuhan lingkungan tanaman seperti cahaya, kelembaban, kebutuhan air, dan sebagainya.
“Merawat tanaman hias perlu kesukaan dan ketekunan tersendiri sebab tanaman hias adalah mahkluk hidup yang tidak hanya memerlukan air dan pupuk, tetapi juga perhatian,” katanya.
Dia mengisahkan dirinya sempat mendapat untung ketika tanaman Gelombang Cinta menjadi tren. Pun ketika harganya anjlok, ia mengalami kerugian cukup besar. Alhasil, ia memutuskan untuk keluar dari bisnis tersebut.
“Kita seolah-olah dipermainkan oleh suatu kelompok. Tiba-tiba dari harga segini anjlok jadi tidak berharga. Ini 'kan drastis sekali. Bagi orang yang baru mulai pembibitan. Eh, tiba-tiba orang yang sudah duluan menghantam dengan harga yang tidak laku. Itu yang mungkin tidak membikin antusias,” keluhnya.
Senada dengan Yos, Baim mengakui adanya ‘pemain besar’ yang berperan dalam kenaikan harga. Bos-bos besar ini memborong tanaman hias dengan harga tinggi, lalu menimbunnya dan menjual ketika harga sudah tinggi. Dengan kemampuannya, oknum tersebut mampu menentukan harga.
“Dulu orang lagi Anthurium emang gila itu. Saya juga gila, bener. Motor dan mobil saya dari enggak punya jadi punya lagi terus tukar dengan pohonan lagi. Itu sebenarnya sih naik turunnya karena barangnya juga lagi jarang dan orang berduit koleksi. Saya juga orang awam, tapi itu kayak orang pencucian uang. Ada bos-bos gedenya, jadi bawahannya cari tanaman,” terangnya.
Meskipun harganya jatuh, dia masih menyimpan Anthurium yang pernah dibelinya dengan harga selangit. Ia tetap merawat dan memperbanyak tanaman gelombang cinta tersebut. Setelah sekian lama, modal yang dikeluarkannya impas melalui “anak dan cucu” Anthurium yang dulu dibelinya.
“Kadang petani yang ngikut-ngikut, ketika murah males lah. Tanamannya enggak dirawat dan rusak, gimana mau bagus? Kalau kita rawat kan rezeki dari Tuhan juga,” ujarnya.
Sebagai orang yang telah tiga puluh tahun menekuni dunia tanaman hias, Chandra Gunawan Hendarto melihat harga tanaman hias sepenuhnya diatur oleh mekanisme pasar bebas menurut hukum permintaan dan penawaran.
Chandra membantah anggapan adanya keterlibatan sekelompok orang tertentu yang memainkan harga tanaman hias. Menurutnya, sangat sulit untuk mengatur harga di tingkat global mengingat kenaikan harga juga kerap terjadi di seluruh dunia. Ia melihat kenaikan harga disebabkan oleh perilaku pedagang yang menahan stok mereka dengan harapan harga melambung lebih tinggi.
“Apakah bisa sekelompok orang menggoreng harga tanaman di seluruh dunia? Sebut dong namanya. Ini permainan, click bait ini, gitu ngomongnya. Sebut dong siapa yang ngerjain anda-anda. Kalau kamu sebut nama, sebutin langkahnya apa? Enggak ada yang jawab tuh sampai hari ini ke saya,” tegasnya.
Menurutnya, bisnis tanaman hias memang berisiko tinggi, namun berpotensi pula meraup keuntungan yang besar. Ia yakin harga tanaman yang tinggi suatu saat akan mengalami penurunan.
“Bisnis ini hanya untuk orang tertentu. Orang yang berani, punya uang, dan nekat lah, karena enggak tahu kapan turunnya. Kalau mau aman jualan pisang goreng, kue cucur, dan kacang goreng, itu aman. Menurut saya ini hanya buat orang mengerti dan berani. Kalau enggak berani nonton aja,” cetusya.
Sementara itu, Hesti Widayani dari Asbindo mengatakan untuk jenis tanaman yang mudah diperoleh dan diperbanyak, harganya tidak mungkin mencapai harga yang tidak rasional. Di sisi lain, harga tanaman hias yang diambil dari hutan atau belum dibudidayakan cenderung lebih fluktuatif.
“Kasus Anthurium menjadi pelajaran berharga yang juga pengalaman pahit bagi para petani, usaha yang spekulatif sifatnya hanya sementara,” ucapnya.
Menurutnya, harga jual tanaman hias ditentukan oleh stadia tanaman (bibit, tanaman remaja, tanaman dewasa), harga bibit, harga pemeliharaan, biaya tambahan (overhead cost), dan selisih keuntungan yang diinginkan petani maupun pedagang.
Dukungan petani terganjal anggaran
Direktur Buah dan Florikultura, Kementerian Pertanian (Kementan) Liferdi Lukman mengatakan masih banyak potensi tanaman hias Indonesia yang masih belum tergali. Dia menyatakan dari sekian banyak tanaman hias, baru dua puluh empat jenis yang terdata dalam Badan Pusat Statistik (BPS). Berdasarkan catatan BPS, ekspor tanaman hias Indonesia mencapai US$5,72 juta pada Semester I 2020.
“Misalnya Aglaonema, Monstera, dan Philodendron. Varietasnya kan banyak sekali. Apalagi Aglaonema hasil penyilangan juga. Alhamdulillah kita bisa menemukan corak-corak gaun yang berbeda. Itu kalau dieksplor besar sekali potensinya,” katanya kepada Alinea.id, Senin (31/8).
Liferdi mengungkapkan Indonesia memiliki beberapa komoditas ekspor tanaman hias seperti anggrek, krisan, mawar, anyelir, dan Dracaena (sejenis palem). Namun, ada juga tanaman yang dulu ‘booming’ dan kini tenggelam seperti Anthurium.
“Kita sebenarnya mau mendorong ekspor untuk mensubstitusi impor. Kayak anggrek kita juga punya bunganya, tapi benihnya kita masih banyak yang impor dari Taiwan. Hasil silangnya enggak secepat sayuran. Kalau Taiwan cepat banget tiba-tiba ada anggrek sesuai permintaan konsumen. Pemuliaan kita yang mungkin belum sama dengan Taiwan,” tuturnya.
Untuk memperkuat industri florikultura (tanaman hias) nasional, Kementan mengembangkan rumah lindung (green house) untuk budidaya krisan dan mawar. Selain itu, Kementan juga mengembangkan kawasan bunga hias yang dapat dilihat pada tabel berikut.
Jenis tanaman | Luas (meter persegi) | Lokasi |
Krisan | 5.200 | Solok dan Kota Solok (Sumatera Barat), Cianjur (Jawa Barat), dan Tomohon (Sulawesi Utara) |
Mawar | 1.000 | Buleleng (Bali) |
Melati | 47.000 | Batang (Jawa Tengah), Pemalang (Jawa Tengah), Banjar (Jawa Barat) |
Anggrek | 2.000 | Kota Batu dan Kediri (Jawa Timur) |
Dracaena | 10.000 | Sukabumi (Jawa Barat) |
“Sementara ini, memang kita lebih fokus ke ketersediaan pangan, jadi memang alokasi anggaran untuk flori masih sangat terbatas dibandingkan alokasi untuk buah, sayuran, cabe, bawang terutama,” ungkapnya.
Realokasi anggaran untuk penanganan pandemi Covid-19 sendiri telah menyebabkan anggaran Kementan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 terpangkas dari Rp21,05 triliun menjadi Rp14,04 triliun. Hal ini tentu berdampak pada berjalannya program-program tersebut. Oleh karena itu, pihaknya memanfaatkan dana Kredit Usaha Rakyat (KUR), tanggung jawab perusahaan (CSR), serta menjalin kerjasama dengan investor swasta.
“Tempat-tempat yang berpotensi tetap kita alokasikan. Daerah-daerah yang kemarin ktia alokasikan enggak jadi, mudah-mudahan tahun 2021 sudah bisa. Kemarin petani sudah CPCL (Calon Penerima Calon Lokasi), tapi ternyata kena Covid (realokasi dan pemotongan anggaran),” pungkasnya.