Jakarta berpeluang raih investasi perbaikan iklim kota
International Finance Corporation (IFC), sebuah lembaga besutan organisasi Bank Dunia, merilis laporan terbaru terkait rekomendasi investasi bagi negara-negara berkembang, salah satunya untuk Jakarta. Model investasi ini dinilai memiliki peluang keuntungan cukup tinggi hingga mampu mencapai lebih dari US$29,4 triliun sampai 2030 mendatang. Adapun jenis investasi yang dimaksud adalah investasi di bidang perbaikan iklim kota.
Laporan ini menganalisis target perbaikan iklim kota dan rencana kegiatan di enam kawasan, mengidentifikasi peluang di sektor-sektor prioritas seperti bangunan ramah lingkungan, atau bangunan hijau, transportasi umum, kendaraan listrik, limbah, air, dan energi terbarukan.
Pada laporannya tersebut, IFC turut menyoroti pendekatan inovatif yang telah digunakan oleh kota-kota. Seperti, obligasi ramah lingkungan dan KPS (Kemitraan Pemerintah Swasta) untuk menarik investor swasta dan membangun perkotaan yang berkesinambungan.
Lebih dari separuh penduduk dunia saat ini tinggal di daerah urban, perkotaan mengkonsumsi lebih dari dua pertiga sumber energi dan menghasilkan lebih dari 70% emisi karbon dioksida secara global.
Menurut Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), cara perkotaan mengatasi perubahan iklim akan menjadi penting bagi upaya membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius.
"Ada kebutuhan mendesak yang besar untuk perbaikan iklim – kita harus mengambil tindakan sekarang. Perkotaan adalah langkah berikutnya untuk investasi iklim, dengan adanya triliunan dolar peluang yang belum dimanfaatkan. Untuk mewujudkan janji kota-kota peduli iklim, sektor publik perlu melakukan reformasi yang bertujuan untuk menarik lebih banyak peran serta dari sektor swasta," kata CEO IFC Philippe Le Houérou dalam keterangan tertulisnya, Jumat (30/11).
Adapun enam kota yang menjadi sampel peluang investasi iklim dari laporan tersebut di antaranya mencakup Jakarta, Nairobi, Mexico City, Amman, Rajkot, dan Belgrade.
IFC menilai, Jakarta sebagai ibu kota Indonesia mampu menarik peluang investasi terbesar kedua dibanding kota lainnya yaitu hampir US$30 miliar terutama di gedung-gedung hijau atau ramah lingkungan, kendaraan listrik, dan energi terbarukan. Sedangkan untuk Nairobi, ibu kota Kenya berpotensi mampu meraup peluang investasi senilai US$8,5 miliar untuk kendaraan listriknya, transportasi umum, dan bangunan ramah lingkungan.
Mexico City, ibu kota Meksiko mewakili peluang investasi terbesar di antara kota sampel lainnya yaitu US$37,5 miliar, terutama untuk gedung-gedung ramah lingkungan, kendaraan listrik, dan air perkotaan. Begitu pula dengan Amman, ibu kota Yordania, mewakili peluang investasi senilai US$ 12 miliar, Rajkot mewakili peluang investasi US$4 miliar, dan Belgrade, ibu kota Serbia mewakili peluang investasi senilai US$5,5 miliar untuk bangunan ramah lingkungan, transportasi umum, kendaraan listrik, dan air perkotaan.
Secara global, bangunan ramah lingkungan akan berpeluang investasi perbaikan iklim di perkotaan senilai US$24,7 triliun. Potensi investasi yang signifikan dapat dihasilkan dari transportasi rendah karbon seperti transportasi umum hemat energi hingga US$1 triliun dan kendaraan listrik mencapai US$1,6 triliun. Pada saat yang sama, energi ramah lingkungan yang bernilai investasi hingga US$842 miliar, air senilai US$1 triliun, dan limbah senilai US$200 miliar tetap merupakan komponen penting dari pembangunan kota yang berkelanjutan.
"Dengan perkiraan pesatnya peningkatan urbanisasi di Asia, akan ada ada lebih banyak kesempatan untuk transisi ke kegiatan rendah karbon, yang menyumbang bagian besar dari PDB di wilayah tersebut. Di Jakarta, ada peluang investasi senilai lebih dari US$30 miliar, terutama dalam gedung-gedung ramah lingkungan, kendaraan listrik, dan energi terbarukan. Laporan itu menunjukkan kota-kota besar di Asia juga memiliki potensi yang cukup besar untuk investasi yang mengurangi emisi karbon," kata Direktur Regional IFC untuk Asia Timur dan Pasifik Vivek Pathak.
Di sisi lain, Country Manager untuk Indonesia, Malaysia, dan Timor Leste Azam Khan mengatakan bahwa, "IFC menawarkan layanan investasi, konsultasi, dan manajemen aset untuk mendorong keterlibatan sektor swasta yang akan dibutuhkan untuk menunjang peluang investasi iklim di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia."
Laporan ini merinci perkiraan potensi investasi di Jakarta yaitu bangunan ramah lingkungan senilai US$16 miliar, limbah sebesar US$725 juta, transportasi umum sebesar US$660 juta, energi terbarukan sebesar US$3 miliar, air bersih sebesar US$3 miliar, dan kendaraan listrik sebesar US$7 miliar.
Senada dengan laporan tersebut, Deputi Gubernur Jakarta untuk Perencanaan Tata Ruang dan Lingkungan Oswar Mungkasa mengungkapkan bahwa, "Salah satu ambisi utama kami adalah menjadikan kota Jakarta lebih bersih dan kami dapat mengatasi ini dengan berbagai cara. Salah satu caranya adalah melalui bangunan ramah lingkungan. Peraturan wajib untuk kode bangunan ramah lingkungan disahkan beberapa tahun yang lalu, yang akan membantu mengurangi konsumsi energi dan air secara substansial. Karena peraturan ini, penghematan biaya energi berpotensi mencapai US$90 juta per tahun. Kami ingin Jakarta dikenal sebagai kota yang unggul untuk bangunan ramah lingkungan, dan akan menarik minat sektor publik dan swasta untuk mewujudkan hal ini, serta masyarakat dan warga setempat."
Mengatasi perubahan iklim merupakan prioritas strategis untuk IFC. Sejak tahun 2005 IFC telah menginvestasikan senilai US$22,2 milyar dalam bentuk pendanaan jangka panjang dari dana IFC sendiri dan memobilisasi US$15,7 milyar lainnya melalui kemitraan dengan investor untuk proyek-proyek yang terkait dengan iklim. Laporan terbaru tersebut adalah bagian dari seri laporan Peluang Investasi Iklim yang diprakarsai oleh IFC sejak 2016 silam.
Kesimpulan laporan ini menyatakan, perencanaan, kebijakan, dan proyek kawasan Asia Pasifik memiliki potensi investasi peduli iklim tertinggi di dunia, dengan peluang terbesar di gedung ramah lingkungan yang diperkirakan mencapai US$17,8 triliun pada 2030.