Jalan berliku menuju cashless society
Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah yang dimotori Kementerian Hukum dan HAM gencar menyosialisasikan perlunya pembatasan transaksi uang kartal. Maklum, pemerintah dan DPR telah menyepakati RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal untuk masuk prolegnas prioritas 2018.
Setidaknya ada dua dimensi yang melatarbelakangi pemerintah menyusun RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal (PTUK) sejak 2014 lalu. Yaitu, mengurangi tindak pidana pencucian uang. Serta mengubah perilaku dan pola pikir masyarakat terhadap transaksi penggunaan uang kartal menjadi sistem transaksi non tunai
Karena itu, kendati RUU ini dimotori oleh Kementerian Hukum dan HAM, beberapa Kementerian, Lembaga/Intansi juga terkait erat. Misalnya PPATK, Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Kejaksaan Agung.
Pemerintah mengklaim, kelak ketika RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal disahkan pemerintah, akan banyak manfaat yang dirasakan. Khususnya dari sisi pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi dan juga menciptakan efisiensi perekonomian.
Hal itu berulang kali dikatakan oleh Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Kiagus Ahmad Badaruddin. Seperti saat Diseminasi RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, Selasa (17/4).
Kiagus mengatakan, riset analisis PPATK mengindikasikan peningkatan tren transaksi uang kartal. Tren tersebut disinyalir untuk mempersulit upaya pelacakan asal-usul uang yang berasal dari tindak pidana. Pelaku berusaha memutus pelacakan aliran dana kepada pihak penerima dana dengan melakukan transaksi tunai. Ini berbeda dengan transaksi nontunai dalam jumlah besar yang bisa dilacak PPATK.
Mungkin ada benarnya. Mengingat, hampir setiap bulan masyarakat mendapatkan informasi mengenai aparat hukum yang menangkap tangan pelaku tindak pidana korupsi. Berdasarkan data PPATK, ada beberapa kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang melibatkan uang tunai.
Salah satu tugas menyosialisasikan penggunaan e-money memang berada di pundak Bank Indonesia. Program terbarunya adalah dengan meluncurkan Program Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) diyakini dapat mengarahkan Indonesia untuk menjadi cashless society.
Hal itu nampaknya membuahkan hasil. Berdasarkan catatan Bank Indonesia (BI), nilai transaksi e-money per Desember 2017 sebesar Rp1,95 triliun dengan volume transaksi lebih dari 163 juta kali. Kemudian pada Januari, nilainya melonjak menjadi Rp3,49 triliun dengan lebih dari 215 juta kali transaksi. Pada Februari mencapai Rp3,36 triliun dengan lebih dari 187 juta kali transaksi. Sedangkan pada Maret Rp3,45 triliun dengan lebih dari 209 juta kali transaksi.
Pada Desember 2017, uang tunai yang beredar sebesar Rp694,8 triliun. Januari 2018 Rp622,3 triliun. Februari 2018 Rp618,8 triliun. Pada Maret, jumlah uang kartal yang beredar kembali meningkat menjadi Rp638,5 triliun.
Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo mengatakan, untuk jumlah tertentu, penggunaan uang tunai masih diperlukan. Tetapi kalau ingin menjadikan perekonomian lebih efisien, tentu akan lebih baik dilakukan secara non tunai.
Infrastruktur belum siap
Dalam implementasi RUU PTUK ini, Bank Indonesia telah melakukan edukasi secara luas dan intensif kepada masyarakat, mengenai tujuan dan manfaat PTUK dan transaksi secara non tunai. Sekaligus terus mendorong penggunaan transaksi non tunai melalui gerakan nasional non tunai (less cash society). Tentunya juga memperkuat sistem infrastruktur maupun kapabilitas SDM untuk melakukan pengawasan sistem pembayaran termasuk kewajiban PJK dalam mendukung implementasi PTUK.
Tetapi dari sudut pandang ekonomi, pembatasan transaksi uang kartal tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Bank Indonesia memang telah mencanangkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) sejak Agustus 2014. Tetapi itu saja tidak cukup. Mengingat masih banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilannya. Salah satunya adalah kesiapan infrastruktur jaringan internet, listrik maupun literasi masyarakat, khususnya di pedesaan.
Menurut Pengurus Harian YLKI Sularsih pembatasan transaksi uang kartal merupakan kebijakan yang baik. Hanya saja, pemerintah atau pengambil kebijakan harus terlebih dahulu menyelesaikan persoalan yang mungkin terjadi akibat pembatasan transaksi tersebut.
Misalkan saja, mengedukasi masyarakat pedesaan untuk belajar mempergunakan e-money. Sehingga ketika peraturan tersebut diterapkan, tidak ada masyarakat yang tertinggal akibat minim pengetahuan mengenai penggunaan e-money. Apalagi, biasanya masyarakat di pedesaan yang memiliki usaha lebih suka membawa uang tunai dalam bertransaksi daripada mempergunakan e-money.
Persoalan lainnya yang juga harus diperhatikan adalah kesiapan jaringan telekomunikasi dan listrik. Pemerintah pastinya sadar kalau jaringan ataupun layanan internet dan listrik di daerah terpencil ataupun pedesaan tidak sebaik di kota. Jangan sampai ada kasus masyarakat pedesaan tidak bisa bertransaksi karena buruknya jaringan telekomunikasi dan listrik.
Oleh karena itu, pemerintah harus membuat aturan main agar konsumen tidak dirugikan dengan adanya ketentuan tersebut. "Harus ada jaminan perlindungan buat konsumen. Khusunya perlindungan dari alat dan bank yang dipergunakan konsumen," tutur dia.
Hal lainnya yang juga harus diperhatikan adalah, adanya perlindungan data konsumen. Sebab dengan mempergunakan e-money berarti akan banyak data rahasia yang tersimpan di kartu tersebut. Jangan sampai data penting tersebut berhasil disebarluaskan oknum tak bertanggungjawab.
Sementara Wakil Ketua Umum Kadin DKI Jakarta Sarman Simanjorang berharap pemerintah mau mengkaji lagi rencana tersebut lebih dalam. Jangan sampai niat baik pemerintah untuk mengantisipasi terjadinya tindak pidana korupsi malah berdampak negatif bagi masyarakat kelas menengah, khususnya pelaku usaha yang tinggal di kawasan pedesaan.
Apalagi pada kenyataannya, berdasarkan data Bank Indonesia penggunaan uang kartal masih mendominasi untuk bertransaksi daripada e-money. Ini karena sebagian besar masyarakat Indonesia masih terkendala dalam mempergunakan e-money. Di antaranya adalah keterbatasan infrastruktur jaringan telekomunikasi dan listrik.
Kalaupun mau dipaksakan, ada baiknya dilakukan secara bertahap. Agar masyarakat maupun pelaku usaha kecil tidak terkejut dengan aturan tersebut. Sebab hampir di seluruh pelosok pedesaan, banyak terjadi transaksi dengan uang tunai yang nilainya mencapai ratusan juta.
"Mungkin ada baiknya pemerintah berkaca pelaksanaan UNBK (ujian nasional berbasis komputer). Banyak terjadi persoalan karena keterbatasan listrik dan jaringan telekomunikasi. Jangan sampai pelaku usaha gagal bertransaksi akibat keterbatasan jaringan listrik dan telekomunikasi," papar dia.
Dengan melihat kondisi tersebut, nampaknya perlu bagi pemerintah untuk melakukan transisi, setidaknya hingga lima tahun ke depan sebelum diberlakukan menjadi undang-undang. Bersamaan dengan itu, mulai membenahi jaringan telekomunikasi maupun listrik yang masih menjadi persoalan di sejumlah daerah. Dengan begitu, semua pihak bisa siap mengurangi transaksi dengan mempergunakan uang tunai.