close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Debbie Alyuwandira.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Debbie Alyuwandira.
Bisnis
Senin, 25 Juli 2022 18:05

Jalan terjal bebas PMK demi peternak sejahtera

Kerugian peternak sapi potong dan sapi perah sangat besar namun bantuan dan ganti rugi belum terealisasi maksimal.
swipe

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) hampir genap tiga bulan mewabah di Indonesia. Diawali pada kasus pertama yang ditemukan di Kabupaten Gresik, Jawa Timur pada 28 April 2022 lalu. Meski baru seumur jagung, penyebaran penyakit yang disebabkan oleh virus foot and mouth disease virus (FMDV) jelas tidak bisa dianggap remeh.

Bagaimana tidak, berdasarkan catatan Kementerian Pertanian (Kementan) hingga Jumat (22/7) kemarin PMK sudah meluas ke 22 provinsi dengan total kasus ternak terserang PMK mencapai 416.979 ekor dan kasus aktif sebanyak 234.561 ekor. Dari total kasus tersebut, 174.704 ekor diantaranya dinyatakan sembuh, 4.704 ekor ternak dipotong bersyarat dan 3.006 ekor mati.

Jumlah itu jelas lebih banyak ketimbang dua minggu sebelumnya. Di mana PMK masih tersebar di 21 provinsi di Indonesia, dengan jumlah total kasus sebanyak 336.729 ekor dan kasus aktif terdekteksi pada 215.462 ekor ternak. 

Selain itu, jumlah hewan ternak yang dipotong bersyarat pun juga mengalami kenaikan dari sebelumnya sebanyak 215.462 ekor dan ternak mati mencapai 2.126 ekor. Sementara itu, jumlah ternak yang dinyatakan sembuh ada sebanyak 116.208 ekor.

Jumlah ini merupakan gabungan dari total hewan ternak berkuku genap, seperti sapi, kerbau, kambing, domba, dan babi yang terinfeksi PMK. “Tapi, di lapangan jumlah ternak yang terserang PMK bisa jadi lebih banyak dari data pemerintah. Karena banyak yang tidak terdata,” ungkap Dewan Pakar Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Rochadi Tawaf, kepada Alinea.id, Senin (25/7).

Hewan berkuku belah seperti sapi sangat rentan terjangkit PMK. Foto Pixabay.com.

Dengan terus bertambahnya jumlah ternak terjangkit PMK itu, potensi kerugian yang harus ditanggung peternak jelas semakin besar. Dia mencontohkan, jika mengacu pada data total kasus PMK dari Kementan yang sebanyak 416.979 ekor, maka kerugian peternak diperkirakan mencapai Rp4,1 triliun.

Hitungan kasar kerugian tersebut, lanjut Rochadi, didapatkan dari harga jual sapi yang menjadi hanya sekitar Rp10 juta setelah terjangkit PMK. Dari yang sebelumnya dapat mencapai Rp25 juta per ekor. Selain itu, jumlah tersebut juga belum termasuk kerugian peternak yang hewan ternaknya mati atau dipotong paksa akibat PMK.

“Ini baru hitungan untuk sapi, belum hewan ternak lain yang berpotensi terkena PMK, seperti kerbau, kambing, domba, dan babi. Saya belum bisa menghitung rinci, karena data dari pemerintah masih sangat rancu,” katanya.

Sebelumnya, Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Yeka Hendra Fatika memperkirakan, total kerugian yang harus diderita peternak, dalam hal ini ialah peternak sapi, mencapai Rp788,8 miliar per bulan untuk peternak sapi potong dan Rp1,7 triliun per bulan bagi peternak sapi perah.

Secara ekonomi, kerugian sapi perah memang bisa jadi lebih tinggi ketimbang peternak sapi potong. Sebab, dengan terjangkitnya PMK, produksi susu sapi perah akan mengalami penurunan kuantitas dan kualitas. Dus, penjualan susu oleh peternak pun jelas ikut anjlok.
Produksi susu sapi di Jawa Barat misalnya, yang turun menjadi sekitar 137,1 ton, di Jawa Tengah sekitar 66 ton, dan Jawa Timur sekitar 535,7 ton.

Sementara berdasarkan data Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) hingga Rabu (13/7), sapi perah yang terinfeksi PMK sudah sebanyak 19.267 ekor di Jawa Barat, 5.189 ekor di Jawa Tengah, dan 55.478 ekor di Jawa Timur.

“Lalu dari sapi mati atau dipotong paksa itu jelas,” katanya, di Jakarta, Kamis (14/7).

Penurunan produksi susu

Galabah peternak akibat PMK ini dirasakan oleh para peternak yang tergabung dalam Koperasi Produksi Susu (KPS) Bogor. Peternak yang juga Kepala KPS Bogor Zamroni Burhan bercerita, pada Kamis (14/7) lalu, koperasi yang diampunya itu hanya mampu memproduksi susu sapi sebanyak 4,5 ton saja. Padahal, dalam kondisi normal, produksi susu per hari dapat mencapai 11 ton. 

Penurunan produksi susu itu, tak lain disebabkan oleh banyaknya sapi perah milik anggota KPS Bogor yang mati. Padahal, beberapa sapi perah yang mereka miliki dibeli dengan dana Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) atau bank-bank nasional.

Foto Pixabay.com.

“Anggota kami yang mendapat fasilitas KUR kurang lebih 20 anggota dari Bank BNI, dari Kemenkop ada 72 anggota. Sekarang lagi dalam proses penundaan kredit. Ada beberapa anggota yang sapinya habis sama sekali karena mati, dia dapat fasilitas 2 ekor, semua mati dipotong paksa,” bebernya kepada Alinea.id, Jumat (22/7).

Kemudian, ada pula peternak yang mendapat fasilitas 20 ekor sapi, namun saat ini hanya tersisa 12 ekor sapi saja. Dengan sapi-sapi yang terus bertumbangan, koperasi pun praktis mengalami kesulitan operasional. Karena berkurangnya produksi susu, koperasi juga kesulitan untuk membayar upah para peternak.

Jika PMK terus berlanjut dan kian parah, Zamroni khawatir nantinya para peternak akan kesulitan bahkan tidak bisa menunaikan kewajiban mereka untuk membayar kredit yang telah diberikan pemerintah maupun perbankan. 

“Karena kita kan penghasilan didapat dari produksi susu itu. Kalau sekarang susunya enggak ada, saya khawatir bulan berikutnya mereka masih tidak bisa membayar karena memang udah enggak produksi lagi,” keluhnya.

Kisah pilu juga terjadi di Semarang, tepatnya di Dukuh Tegalsari, Kelurahan Mangunsari, Kecamatan Gunungpati. Seorang peternak bernama Sutikno mengungkapkan, dari 21 ekor sapi potong yang dimilikinya, hanya sisa 3 sapi yang masih sehat dan belum tertular PMK. Sedangkan sapi lainnya sudah terpapar, bahkan 4 ekor terpaksa dipotong paksa.

Akibat pemotongan paksa tersebut, dirinya pun harus menanggung kerugian hingga ratusan juta rupiah. Bagaimana tidak, setelah menjalani pengobatan tradisional yang menghabiskan biaya hingga jutaan rupiah, sapi-sapi tersebut pada akhirnya harus disembelih lantaran tak bisa bertahan lagi.

Update PMK di Indonesia per Jumat 22 Juli 2022 (ekor)

Tanggal

Total Kasus

Kasus Aktif

Sembuh

Potong Bersyarat

Mati

Hewan Divaksin

Jumlah Provinsi

22 Juli

416.979

234.561

174.704

4.709

3.006

616.416

22

8 Juli 

336.729

215.462

116.208

2.933

2.126

423.660

21

24 Juni

254.553

168.580

82.185

2.367

1.421

3.174

19

8 Juni

81.880

81.880

28.538

607

524

-

18

Sumber: Kementerian Pertanian

Setelah dipotong paksa pun, hanya daging sapi saja yang dapat dijual karena masih layak konsumsi dan dapat diolah, sedangkan bagian lainnya terpaksa dibuang. “Tapi harga dagingnya saja itu juga harganya sudah turun. Terus kan sapi yang terkena PMK itu juga bobotnya berkurang, jadi dagingnya juga sedikit,” jelas dia, saat dihubungi Alinea.id beberapa waktu lalu.

Dari hitungannya, harga satu ekor sapi sehat dapat mencapai Rp23 juta. Setelah terserang PMK, harganya dapat turun menjadi hanya Rp16 juta atau bahkan lebih rendah. Kemudian, untuk sapi yang dipotong paksa, harganya bisa hanya sebesar Rp8 juta sampai Rp10 juta.

“Makanya, kerugian bisa sangat besar. Apalagi penularannya juga cepat sekali. Di kandang saya, cuma butuh beberapa hari saja sebelum semua tertular,” kata peternak 45 tahun itu.

Tagih janji ganti rugi

Di tengah nestapa para peternak tersebut, janji-janji pemerintah terkait pemberian ganti rugi bagi para peternak yang sapinya terpaksa dipotong hingga pemberian keringanan KUR bagi peternak terdampak PMK, terasa bagai angin segar bagi mereka. Setidaknya, pemberian ganti rugi dengan nominal paling besar Rp10 juta per ekor atau penundaan pembayaran kredit dapat sedikit meringankan beban mereka.

“Tapi ternyata kok sampai sekarang enggak jelas ini kabarnya. Aturannya memang sudah ada, tapi realisasinya katanya minggu depan, minggu depan terus,” ujar Asep, salah satu peternak dari Kabupaten Bandung Barat, kepada Alinea.id, Minggu (24/7).

Pada Kamis (7/7) lalu, pemerintah memang telah menerbitkan peraturan terkait pemberian ganti rugi bagi peternak terdampak PMK. Aturan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 518/KPTS/PK.300/M/2022 tentang Pemberian Kompensasi dan Bantuan dalam Keadaan Tertentu Darurat Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).

Sekretaris Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Makmun mengungkapkan, pihaknya telah menyiapkan dana sekitar Rp150 miliar bagi 15.000 peternak terdampak PMK. Di mana dana diambil dari dana PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional).

"Anggarannya dari pusat. Dananya akan dicairkan nanti kalau sudah ada klaim dari daerah," ujarnya, saat dikonfirmasi Alinea.id, Senin (25/7).

Foto Pixabay.com.

Rinciannya, pemerintah melalui Kementerian Pertanian akan memberikan ganti rugi senilai maksimal Rp10 juta per ekor untuk pemotongan paksa sapi dan kerbau terdampak PMK. Sedang kambing, domba dan babi senilai Rp1,5 juta per ekor.

"Dana ganti rugi tersebut akan disalurkan sejak dilakukannya pemotongan bersyarat terhadap hewan ternak," jelas Direktur Pembiayaan Pertanian Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan Indah Megahwati kepada Alinea.id, Kamis (14/7).

Namun demikian, tidak semua peternak akan mendapatkan ganti rugi atas pemotongan bersyarat hewan ternaknya. Dalam aturan ini, dana ganti rugi diprioritaskan bagi peternak berskala mikro, kecil dan menengah.

Tidak hanya itu, peternak juga harus memenuhi syarat administratif yang meliputi fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) peternak atau ketua kelompok peternak, hewan telah didata dan dilaporkan ke dalam Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional (iSIKHNAS), memiliki surat keterangan kepemilikan hewan, serta melampirkan surat keterangan pemusnahan hewan ternak dari dokter hewan dan foto pemusnahan.

"Kemudian, ada kriteria-kriteria yang berkaitan (untuk ganti rugi)," lanjut Indah.

Kriteria tersebut antara lain, hewan sebelumnya sehat namun menurut pertimbangan dokter hewan berpotensi menularkan dan menyebarkan PMK pada hewan ternak lainnya. Kemudian, hewan ternak juga tidak diasuransikan atau tidak mendapatkan penggantian dari APBD provinsi, kabupaten atau kota.

Karenanya, untuk merealisasikan aturan ini, Kementerian Pertanian nantinya akan bekerja sama dengan dinas-dinas pertanian atau peternakan yang ada di setiap daerah. Hal ini dilakukan agar pemerintah lebih mudah untuk mematok 'harga' atau seberapa besar biaya ganti rugi bagi hewan ternak yang dipotong paksa.

"Tapi untuk bagaimana cara penilaiannya saya belum bisa katakan, karena masih dibahas," imbuh dia.

Selain ganti rugi bagi peternak, Kementerian Pertanian pun juga tengah mengusahakan pemberian keringanan kredit dan perpanjangan tenor pembayaran kredit bagi para peternak yang masih memiliki sapi hidup. Sedangkan bagi peternak yang sapinya habis karena mati atau dipotong paksa, Kementan tengah berupaya untuk memberikan kredit sebesar Rp20 juta per ekor untuk membeli lagi pedet atau anakan sapi.

"Kalau bisa ditangani langsung, seperti apa kreditnya, bisa di top up lagi, jadi bisa diperpanjang (jangka waktu pembayaran kredit)," tutur Indah.

Namun, sebulan sudah sejak pemerintah mengumumkan pemberian dana ganti rugi, hingga hari ini kebijakan belum juga direalisasikan. Lamanya realisasi itu membuat para peternak semakin gelisah dan juga kecewa.

"Kalau begini mending enggak usah diomongin aja. Yang penting langsung turun bantuannya," ujar Asep.

Hal ini pun diamini oleh Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika. Menurutnya, semakin lama realisasi ganti rugi maupun pemberian kredit dilakukan akan semakin besar pula dana yang harus dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini sejalan pula dengan penanganan PMK oleh pemerintah yang dinilainya sangat lambat.

Mengutip data dari siagapmk.id setidaknya jumlah hewan yang diberikan vaksin PMK hanya sekitar 600 ribu ekor. Jumlah tersebut bahkan lebih sedikit dari target pemerintah yang bakal mendatangkan setidaknya 800 ribu dosis vaksin pada tahap pertama. Padahal jumlah hewan ternak, khusus sapi potong saja data pada tahun 2021 populasinya mencapai 18 juta ekor.

"Padahal seharusnya vaksin dan ganti rugi ini sangat cepat dilakukan," tegasnya.

Vaksinasi, kata dia dilakukan untuk menyelamatkan sapi-sapi atau hewan ternak lain yang masih sehat. Sedangkan ganti rugi dan bantuan pembiayaan diperlukan agar peternak dapat berproduksi kembali dengan ternak baru.

Karenanya, Ketua PPSKI Nanang Purus Subendro dalam kesempatan lain menilai, agar pemerintah dapat segera merealisasikan janji-janjinya kepada para peternak. "Ketika penanganan yang diberikan pemerintah cukup lambat, maka kerugian yang dialami oleh peternak bakal semakin besar," kata Nanang, kepada Alinea.id, Senin (25/7).

Ilustrasi Alinea.id/Debbie Alyuwandira.

 

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan