Peralihan industri otomotif dalam negeri ke era elektrifikasi telah dikebut pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, berbagai tantangan besar menghantui masa depan industri kendaraan listrik, mulai dari ekosistem, keterbatasan pendanaan, hingga minimnya akses pasar ekspor.
Pemerintahan Jokowi telah meneken regulasi untuk merajut ekosistem kendaraan elektrifikasi dari hulu sampai ke hilir yang mengejar target net zero emmission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Ekspor bijih nikel pada 2020 telah dihentikan untuk mendorong hilirisasi komoditas tambang di Tanah Air. Nikel adalah salah satu bahan baku utama pembuatan baterai kendaraan listrik yang berlimpah di Indonesia.
Namun pertumbuhan kendaraan elektrifikasi tak mulus.
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara mengakui, Indonesia masih jauh dari menciptakan ekosistem kendaraan listrik yang terintegrasi.
Tantangan utamanya adalah keterbatasan infrastruktur pengisian daya. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, hingga 2024, jumlah stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) hanya sekitar 700 unit, jauh dari kebutuhan ideal yang diperkirakan mencapai lebih dari 10.000 unit.
Selain itu, Indonesia juga masih memiliki ketergantungan pada baterai impor. "Meski Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, industri hilir baterai masih dalam tahap awal, dengan kontribusi terbatas terhadap nilai tambah ekonomi," ujarnya.
Harga yang tidak kompetitif juga menjadi tantangan industri ini. Biaya produksi kendaraan listrik di Indonesia masih tinggi, membuatnya sulit bersaing dengan produk impor.
Sejatinya, kata Kukuh, sejumlah negara memiliki peluang besar menjadi pasar ekspor, seperti Afrika dan Eropa Timur.
“EV (electric vehicle/kendaraan listrik) kita harusnya jalan. Peluang ekspor ada beberapa, Afrika belum banyak kita jamah dan Eropa Timur yang mengalami kemajuan ekonomi cukup bagus, bisa menjadi peluang baru, terutama dengan meningkatnya biaya produksi di Jerman,” ujar Kukuh, baru-baru ini.
Namun, realisasi ekspor ini terhambat oleh minimnya standar internasional. Kendaraan yang diproduksi di Indonesia sering kali tidak memenuhi standar emisi dan kualitas di pasar global, seperti Euro 6 di Eropa.
Dominasi pasar oleh negara lain juga menjadi tantangan. Menurutnya, pasar-pasar baru seperti Afrika dan Eropa Timur sudah dikuasai oleh produsen otomotif asal Tiongkok dan India yang menawarkan produk lebih murah dan kompetitif.
Lalu, masih adanya keterbatasan infrastruktur logistik. Biaya pengiriman produk otomotif dari Indonesia ke pasar ekspor masih tinggi, sehingga mengurangi daya saing harga.
Meski demikian, dia optimistis industri otomotif bisa berkembang pesat. Penjualan kendaraan bermotor pernah mencapai 1 juta unit pada 2009 ketika ekonomi tumbuh di atas 6%. Jika pertumbuhan ekonomi bisa tembus 8% seperti yang ditargetkan oleh Presiden Prabowo Subianto, maka industri otomotif diyakini berkembang pesat.
Keterbatasan dana
Di sisi lain, minimnya investasi di sektor kendaraan listrik juga menjadi salah satu kendala besar dalam pengembangan industri ini. Konsultan Senior dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Toto Pranoto, mengatakan dibutuhkan lembaga strategis yang mampu menyediakan pendanaan besar, seperti Badan Pengelola (BP) Danantara.
Namun, hingga kini, BP Danantara masih dalam tahap awal pengembangan dan belum mampu memberikan dampak nyata bagi pembiayaan industri otomotif.
“Kalau hanya mengandalkan pada keranjang APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) saja, stimulate (pertumbuhan ekonomi) 8% itu sulit. Perlu cara lain, kalau kita bisa buat suasana atmosfer investasi lebih baik,” ujar Toto.
Menurutnya, pertumbuhan industri otomotif menghadapi hambatan. Yakni, keterbatasan infrastruktur, ketergantungan pada bahan impor, regulasi yang belum siap, hingga minimnya akses pasar ekspor.
Tanpa langkah konkret untuk mengatasi masalah ini, target ambisius pertumbuhan ekonomi 8% disebut hanya sekadar mimpi, sementara industri otomotif nasional tertinggal dari negara-negara pesaing yang sudah lebih maju.
“Untuk itu bagaimana harapan pada BP Danantara. Saya kira modelnya, Danantara bukan sekadar sovereign wealth fund, tapi dia juga akan bergerak menjadi strategic investment fund,” ucapnya.
Sementara data Gaikindo mencatat penjualan domestik mobil listrik mencapai 17.147 unit sepanjang 2023. Pada tahun yang sama, Indonesia juga mengekspor mobil listrik sebesar 1.504 unit. Sedangkan penjualan mobil hybrid sepanjang tahun 2023 mencapai 54.656 unit dan ekspor mobil hybrid sebesar 27.710 unit.