Jalan terjal menuju pertumbuhan ekonomi kembali 5%
Pemerintah berambisi membalik perekonomian yang kontraksi sepanjang tahun 2020 menjadi kembali positif. Tak tanggung-tanggung, laju pertumbuhan yang tercatat minus 2,07% di 2020 ditargetkan kembali positif di kisaran 5% pada 2021.
Memang, kini perekonomian Indonesia terus mengarah pada tren pemulihan. Sejak dihantam pandemi Covid-19 pada awal Maret 2020 perekonomian nasional nyungsep hingga -5,32% pada kuartal-II 2020. Ekonomi sedikit membaik pada kuartal-III 2020 dengan kontraksi 3,49% dan -2,19% di kuartal berikutnya.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto tren itu menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia sudah mulai pulih dari tekanan pagebluk. Hal itu pula yang membuat mantan Menteri Perindustrian ini pede mematok pertumbuhan di kisaran 4,5% - 5,5%, sama dengan yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2021.
Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani justru merevisi target pertumbuhan ekonomi 2021 di kisaran 4,3% - 5,5% dua minggu lalu. Meski mematok pertumbuhan di kisaran 5% pada tahun ini, pihaknya akan terus memantau realisasi pertumbuhan nasional pada Februari hingga Maret. Selanjutnya, jika pertumbuhan ekonomi cukup solid pada kuartal-I ini, pemerintah akan mempertahan dan meningkatkan kinerja tersebut.
“Supaya kuartal-II dan III rebound dan recovery-nya makin accelerated. Jadi, sampai sekarang range-nya mungkin agak bergeser, tapi tetap poin estimate ada di 5%,” tutur Sri Mulyani dalam pembukaan Indonesia Investment Authority di Istana Negara, Jakarta, Selasa (16/2) lalu.
Senada, Bank Indonesia (BI) juga memasang target pertumbuhan pada level 4,3% - 5,3%. Bahkan, Presiden Joko Widodo beberapa hari yang lalu mewanti-wanti seluruh pembantunya untuk bekerja keras, agar dapat mencapai pertumbuhan di level 5%.
“Target dalam APBN tahun ini growth pertumbuhan ekonomi kita harus mencapai angka kurang lebih 5%,” kata Jokowi saat membuka Rapat Kerja Nasional Kementerian Perdagangan Tahun 2021 di Istana Negara, Jakarta, Kamis (4/3).
Sebaliknya, lembaga-lembaga ekonomi dunia seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi nasional hanya akan berada di kisaran 4,4% dan 4,8%. Sementara beberapa lembaga pemerhati ekonomi Indonesia seperti CORE Indonesia dan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) meramalkan, pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun nanti hanya akan berada di kisaran 3% - 4% saja.
APBN 2021 |
4,5% - 5,5% |
Bank Indonesia | 4,3% - 5,3% |
Pemerintah | 4,3% - 5,5% |
CIMB Niaga | Kisaran 3,9% |
Bank Mandiri | Kisaran 4,43% |
CORE | 3% - 4% |
INDEF | Kisaran 3% |
Bank Dunia | Kisaran 4,4% |
Oxford Economics | Kisaran 6% |
IMF | Kisaran 4,8% |
Tidak hanya itu, menurut Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad, target pertumbuhan 5% yang dipatok pemerintah akan sulit tercapai. Mengingat masih tingginya kasus positif Covid-19 di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan, per 7 Maret 2021 mencatat kasus positif Covid-19 telah mencapai 1.379.622 dengan 1.194.656 pasien yang sembuh dan total 37.266 pasien meninggal akibat Covid-19.
Belum lagi, tambah dia, program vaksinasi baik yang berasal dari pemerintah maupun Gotong Royong baru akan selesai dilaksanakan pada Desember nanti. Akibatnya sektor konsumsi, utamanya masyarakat kalangan menengah ke atas masih tertahan.
“Mereka ini bukan berarti enggak punya uang, belanjanya takut, mau ke mal enggak berani, wisata dan ke restoran juga enggak berani,” kata Tauhid, saat berbincang dengan Alinea.id, Kamis (4/3).
Selanjutnya, daya beli masyarakat yang masih rendah juga turut menjadi hambatan ekonomi nasional bisa melaju kencang. Hal ini terlihat dari laju inflasi yang kian melemah dari bulan ke bulan. Data Bank Indonesia mencatat inflasi disepanjang 2020 ada pada level 1,68% secara tahunan (year on year/yoy). Angka itu kembali melemah pada periode Januari dan Februari 2021 yang secara berturut-turuthanya sebesar 1,55% dan 1,38%.
Tauhid bilang, jika penurunan inflasi terjadi pula pada Maret dan bulan-bulan berikutnya, maka akan semakin sulit bagi Indonesia untuk mencapai target pertumbuhan 5%. “Kalau gitu berarti butuh di kuartal-II, III dan IV rata-rata (pertumbuhan ekonomi) di atas 6,5% - 7%. Dan itu sangat sulit,” tegasnya.
Kemudian, faktor lain yang dapat membuat target pertumbuhan 5% hampir tidak mungkin dicapai adalah karena program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang masih kurang efektif. Sebab, banyak program-program, seperti bantuan sosial (bansos), insentif perpajakan, hingga bantuan untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang tidak tepat sasaran. Selain itu, tidak ada kenaikan signifikan pada nominal bantuan yang diberikan.
“Jadi mereka lebih leluasa untuk melakukan aktivitas ekonomi,” ujar Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (6/3).
Selain itu, tambah Yusuf, pemerintah juga masih memiliki ruang atau waktu yang lebih lama dalam menyusun APBN. Dengan kondisi ini, masalah-masalah terkait evaluasi dari penyaluran PEN dapat diantisipasi lebih awal. Beda halnya dengan tahun lalu ketika pemerintah harus mengubah postur APBN di tengah jalan agar bisa segera mencairkan bantuan untuk masyarakat yang terdampak wabah.
Waspada varian Covid-19 baru
Namun demikian, pemerintah juga harus waspada dengan virus Covid-19 varian baru yang telah masuk ke Indonesia. Terlebih virus ini memiliki karakteristik lebih cepat menular. “Tentu ini bisa berpotensi mengganggu penanganan kesehatan yang tengah dilakukan pemerintah,” kata Yusuf.
Karena itu, ia menegaskan, pemerintah perlu memitigasi varian baru Covid-19 itu secara cepat. Hal ini juga diungkapkan epidemiolog asal Griffith University Australia Dicky Budiman.
Dia menilai jenis virus Covid-19 baru yang bernama B117 ini selain memiliki kemampuan lebih cepat menular, juga mempunyai tingkat kematian yang lebih tinggi ketimbang virus yang sudah menyebar sebelumnya di Indonesia.
“Padahal, penyebaran varian virus yang sebelumnya saja belum mencapai puncak,” jelas Dicky kepada Alinea.id melalui sambungan telepon, Minggu (7/3).
Bahkan, menurutnya, penyebaran virus SARS-CoV-2 di Indonesia semakin tak terkendali, lantaran pemerintah tidak serius dalam melakukan testing, tracing dan treatment (3T). Belum lagi, isolasi karantina di Indonesia juga dinilai terlalu singkat. Tidak seperti di negara-negara lain yang berhasil menangani pandemi, dengan masa isolasi paling singkat sepuluh hari.
Selain itu, baik pemerintah maupun masyarakat juga tidak menerapkan 5M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas) dengan ketat. Dicky bilang, jika hal ini terus berlanjut, pihaknya khawatir, kasus Covid-19 di Indonesia tidak juga akan mencapai puncaknya hingga Agustus nanti atau bahkan sampai akhir tahun.
“Jadi bukan hanya ekonominya yang enggak bisa pulih, ini juga akan menimbulkan korban nyawa yang lebih besar,” tandasnya.
Pada kesempatan lain, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir optimistis, Indonesia dapat mencapai pertumbuhan 5% di tahun ini. Hal ini sejalan dengan apa yang dicita-citakan pemerintah sebelumnya dalam APBN 2021.
“Target pemerintah kan di APBN 2021 4,5% sampai dengan 5,5% mengingat risiko Covid kan masih tinggi. Kalau di range tersebut kemungkinan bisa dicapai,” katanya, kepada Alinea.id, melalui pesan singkat, Minggu (7/3).
Untuk merealisasikan target itu, pemerintah hingga saat ini tengah berusaha mendorong konsumsi dan belanja masyarakat. Hal ini dilakukan dengan percepatan penyaluran bantuan sosial untuk masyarakat kelas menengah ke bawah.
Di sisi lain, pemerintah juga sedang berupaya mempercepat program vaksinasi. Harapannya, program ini akan meningkatkan kepercayaan masyarakat kelas menengah atas, sehingga dapat meningkatkan konsumsi pada level itu.
Investasi dan ekspor jadi kunci
Secara bersamaan, dengan adanya Undang-undang Cipta Kerja, pemerintah juga akan terus meningkatkan investasi serta mendorong kinerja ekspor. “Dan peningkatan pengeluaran pemerintah dengan APBN (2021) atau anggaran PEN. Selain tentunya memberikan insentif fiskal untuk industri, UMKM dan korporasi,” imbuh Iskandar.
Bahkan, menurutnya, ke depan APBN 2021 akan terus diarahkan untuk mendorong pemulihan ekonomi. Namun, dengan tetap mempertahankan defisit di angka 5,7% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Peneliti Senior Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Ragimun menambahkan dalam rangka pemulihan dan penguatan ekonomi 2021, pemerintah akan membagi langkah kebijakannya ke dalam dua fase. Fase pertama, pada semester-I 2021, pemerintah akan berusaha untuk menjaga agar tren pertumbuhan positif terus berlanjut.
Menurutnya, ada beberapa instrumen yang dapat dimainkan untuk menguatkan fase ini, antara lain dengan melanjutkan paket insentif bagi dunia usaha yang sudah ada dan kebijakan terpadu Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Kebijakan tersebut memang dibuat untuk meningkatkan pembiayaan dunia usaha dalam rangka mempercepat pemulihan ekonomi.
“Fase kedua dilakukan pada semester-II 2021, yaitu fase pemulihan,” ujarnya kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu.
Pada fase ini, instrumen yang dimainkan adalah pemberian dukungan bagi dunia usaha secara lebih terpusat. Utamanya pada sektor-sektor potensial seperti pertanian, teknologi informasi dan komunikasi, jasa kesehatan, serta UMKM. Pemerintah juga akan mendorong efektivitas paket kebijakan terpadu, baik moneter maupun fiskal untuk mendorong ekspansi dunia usaha.
“Diharapkan fase ini akan menjadi motor penggerak pertumbuhan berkelanjutan,” tandasnya.