Jalan terjal swasembada gula dan energi dari tebu
Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sedang merampungkan peta jalan (roadmap) turunan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati. Jika tak ada aral melintang, beleid untuk peningkatan produktivitas tebu ini akan rampung pada akhir Maret 2024.
“Roadmap sudah tinggal finalisasi. Intinya, kami sambil jalan juga, kami sambil cari potensi lahan untuk dioptimalkan. Kedua juga bagaimana kami mengintensifkan (lahan tebu),” kata Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian Dida Gardera, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dida bilang, untuk mewujudkan swasembada gula dan bioetanol di tahun 2028 dan 2030, ketersediaan lahan masih menjadi tantangan utama. Apalagi, pemerintah menargetkan peningkatan produktivitas tebu sekitar 93 ton per hektare (ha), dari saat ini yang hanya mencapai 60 ton per ha.
Padahal, sebelumnya pemerintah telah berusaha memaksimalkan penanaman tebu di lahan kelapa sawit rakyat yang sedang dalam masa peremajaan. Di mana saat masa tunggu, yang berlangsung sekitar empat tahun, lahan dapat ditanami dengan tanaman tebu.
“Seperti kemarin kami menggalakkan untuk bagaimana meningkatkan peremajaan sawit rakyat, ternyata di perjalanan dari mulai nanem sampai tumbuh itu kan butuh empat tahunan, nah yang empat tahunan ini bisa tanaman sela,” kata Dida.
Untuk mencapai swasembada gula dan bioetanol, dalam Perpres 40/2023 pun pemerintah menargetkan penambahan lahan seluas 700.000 ha, yang bersumber dari lahan perkebunan, lahan tebu rakyat dan kawasan hutan. Dengan upaya ini, yang dibarengi dengan efisiensi serta peningkatan kapasitas pabrik yang ada, rendemen tebu ditargetkan dapat mencapai 11,2%.
“Teknologi ada dan sekarang yang kami coba rumuskan adalah roadmap-nya. Dalam kurun waktu enggak sampai satu bulan ini, akhir bulan Maret sudah ada dalam bentuk Kepmenko (Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian),” imbuh dia.
Sulit terealisasi?
Ambisi pemerintah untuk mencapai swasembada gula dan bioetanol pada empat dan enam tahun lagi itu pun disangsikan oleh banyak pihak. Apalagi, produksi tebu dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi dan tak bisa memenuhi kebutuhan konsumsi gula nasional, hingga membuat pemerintah harus memenuhinya melalui skema impor.
Perlu diketahui, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi gula pada 2019 tercatat sebesar 2,23 juta ton, meningkat dari tahun sebelumnya yang sebanyak 2.170 ton. Sementara pada tahun 2020, produksi gula turun menjadi 2,12 juta ton dan pada 2021 serta 2022 secara berturut-turut meningkat menjadi 2,35 juta ton dan 2,40 juta ton.
Di sisi lain, impor gula Indonesia terus tumbuh, dari 5,029 juta ton di 2018 menjadi 6,008 juta ton di 2022. Sebaliknya, impor tetes tebu tercatat fluktuatif, namun cenderung turun pada periode yang sama.
Dengan realisasi di 2018 sebesar 100.000 ton, kemudian turun menjadi 95.000 ton di 2019 dan 81.000 ton pada 2020. Setelah itu, pada 2021 impor tetes tebu naik menjadi 86.000 ton, sebelum akhirnya turun lagi di 80.000 ton pada 2022.
Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (Ikabi) Tatang H. Soerawidjaja menilai, untuk mencapai swasembada gula dan bioetanol, Indonesia harus melalui jalan terjal. Ini mengingat riwayat rendemen tebu yang setelah mencapai titik maksimumnya pada 1941 lalu, terus mengalami penurunan.
“Kemudian pabrik-pabrik gula yang dimiliki pemerintah seperti PTPN (PT Perkebunan Nusantara III) juga kalah efisien ketimbang swasta seperti Sugar Group,” ujarnya, saat dihubungi Alinea.id, Kamis (14/3).
Selain itu, Tatang juga menyangsikan tebu akan tumbuh subur jika ditanam di wilayah-wilayah yang ditargetkan pemerintah sebagai lahan tebu untuk program ini, yakni di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Pasalnya, tanaman tebu hanya bisa tumbuh dengan baik apabila ditanam di daerah dengan curah hujan cukup, bukan yang terlalu kering.
Alih-alih mengupayakan swasembada gula, ujarnya, pemerintah akan lebih untung jika mencari sumber lain untuk memenuhi kebutuhan gula dari tanaman selain tebu. Upaya ini dapat dilakukan sebagai upaya guna mengurangi ketergantungan konsumsi gula tebu.
“Yang dibutuhkan sebetulnya gula (sukrosa) atau pemanis? Pemanis kan tak perlu gula (sukrosa). Saya sebetulnya menganjurkan agar pemanis untuk minuman dalam kemasan yang pakai gula sukrosa, memakai (sirop) fruktosa,” jelas dia.
Sebab, tingkat kemanisan fruktosa 1,5 kali lebih besar dari sukrosa. Lebih penting, fruktosa bisa dibuat tidak hanya dari sukrosa, melainkan juga dari aneka pati dari singkong, sagu, ubi jalar, dan lain sebagainya.
Sementara itu, ketika pasokan gula nasional saja belum cukup, Tatang juga tak yakin pemerintah bisa memaksimalkan potensi tebu sebagai bioetanol. Jika tetap dipaksakan, dikhawatirkan justru akan muncul masalah pada pasokan tebu yang digunakan untuk konsumsi pangan dan bioetanol.
“Makanya kalau bioetanol bisa dibuat dari nira non-tebu, seperti nira sorgum manis,” saran Tatang.
Terpisah, Juru Kampanye Bioenergi Trend Asia Amalya Reza menilai, ambisi swasembada gula dan bioetanol dengan menambah lahan baru bukan soal cukup atau tidaknya produksi tebu yang dihasilkan untuk dua kepentingan itu. Masalahnya, ambisi pemerintah untuk merdeka gula dan peningkatan produksi bioetanol justru akan mengulang tragedi penciptaan B35, bioenergi yang bersumber dari minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO).
Amalya bilang, program pengembangan B35 di Indonesia telah mengakibatkan deforestasi akibat ekspansi sawit untuk bio-solar. Dalam hal ini, jumlah tutupan hutan pun berkurang seluas 3,3 juta ha akibat pemutihan sawit dalam kawasan hutan.
Belum lagi, pembukaan lahan sawit juga telah menyulut konflik antara perusahaan dan masyarakat. Selain itu, setelah produksi berjalan, telah terjadi pula persaingan antara stok CPO untuk kebutuhan minyak goreng dan produk konsumsi lainnya dengan CPO untuk biofuel.
“Yang saya yakin, program tebu ini akan menghadapi hal yang sama. Atau bisa jadi program ini hanya justifikasi korporasi skala besar untuk memperluas penguasaan atas lahan. Justifikasinya adalah untuk kebutuhan gula dan transisi energi lewat energi yang katanya terbarukan,” kata Amalya, kepada Alinea.id, Kamis (14/3).
Sementara itu, jika melihat praktik yang sudah dilakukan pemerintah, yakni menanam tebu di lahan sawit yang sedang dalam masa peremajaan dan lahan food estate, keberlanjutan pasokan akan menjadi masalah baru. Apalagi, ke depannya pasti akan ada peningkatan permintaan (demand), terutama untuk energi, seiring dengan meningkatnya target bauran energi Indonesia.
“Peningkatan demand itu akan ada, dengan bauran yang meningkat, apakah pemerintah yakin tidak akan membuka lahan baru untuk itu? Kita belum menghitung ambisi ekspor, sama seperti ekspor CPO untuk biofuel. Pada saatnya nanti, dengan meningkatnya demand, ekspansi akan terjadi,” imbuhnya.
Jika pembukaan dan ekspansi lahan terjadi, Amalya tak yakin, pemerintah bersedia membuka data hak guna usaha (HGU) lahan tebu. Bahkan, ketika tebu untuk produksi gula dan bioetanol ditanam di lahan sawit.
“Akuntabilitas dari pernyataan tidak akan ada deforestasi dari tebu karena ditanam di lahan sawit, itu meragukan. Siapa yang bisa cek dan ricek kalau tidak terbuka datanya. Akuntabilitasnya jadi dipertanyakan,” tutur dia.
Ditambah, belajar dari pengembangan bioenergi sebelumnya, program peningkatan bauran energi melalui penciptaan energi bersumber daya hayati, hanya menguntungkan segelintir pihak saja. Pada pengembangan bioefuel misalnya, mulai dari pasar hingga pemberian subsidi oleh pemerintah hanya diperuntukkan bagi perusahaan-perusahaan besar seperti Grup Wilmar, atau biomassa untuk Grup Sampoerna dan Sinar Mas.
Dengan banyaknya praktik buruk yang terjadi, Amalya menilai, seharusnya pemerintah dapat betul-betul menghitung aspek keberlanjutan dan keadilan dari sumber daya yang akan digunakan sebagai sumber energi hijau. Selain itu, alih-alih mendorong pengembangan tebu sebagai bioetanol, akan lebih baik jika pemerintah mengembangkan energi bersih dari sumber-sumber yang sudah tersedia di alam dan melimpah di Tanah Air, seperti surya, hidro dan bayu.
“Seharusnya potensi energi terbarukan yang banyak dikembangkan adalah berdasarkan potensi lokal dan mendukung inisiatif komunitas masyarakat. Selama ini bioenergi yang dikembangkan pemerintah adalah skala masif, oleh korporasi, dan pasti membuka lahan,” tutur Amalya.