close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/MT. Fadillah.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/MT. Fadillah.
Bisnis
Kamis, 16 September 2021 07:30

Jamu, warisan tradisional yang kian populer di masa pagebluk

Industri jamu skala kecil maupun besar mengalami lonjakan permintaan di masa pandemi.
swipe

Jamu, dikenal sebagai minuman kuno ala jaman dahulu. Namun kini, racikan dari bahan alami ini mulai mendapatkan popularitasnya kembali. Seiring dengan masuknya virus SARS-CoV-2 ke Indonesia, jamu pun ikut naik daun. 

Naiknya popularitas ramuan tradisional ini terlihat jelas dari kian menggeliatnya bisnis jamu herbal milik para pengusaha, baik yang ada di tingkat Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) hingga bisnis jamu dan herbal kawakan.

Salah satu pelaku UMKM jamu yang mendapat untung selama pagebluk ialah Niken Agustin (32). Pemilik usaha ‘Ngombe Jamu’ ini mengaku berjualan jamu sejak tiga tahun lalu. Namun, pihaknya baru merasakan untung besar-besaran di sepanjang tahun 2020 hingga saat ini. Dia bilang, keuntungannya bisa mencapai tiga hingga lima kali lipat dari biasanya.

“Sebelum pandemi juga sudah untung, banyak yang beli. Tapi pas pandemi bisa untung berkali-kali lipat,” ujar dia, kepada Alinea.id melalui sambungan telepon, Rabu (8/9) lalu.

Menurut Niken, naiknya permintaan jamu selama pandemi disebabkan oleh semakin banyaknya masyarakat yang kian sadar akan pentingnya menjaga kesehatan diri dan keluarganya. Dengan kondisi tersebut, jamu pun lantas menjadi alternatif bagi sebagian orang yang tidak ingin terus-menerus mengonsumsi obat-obatan kimia. 

“Karena jamu kan dibuatnya menggunakan bahan-bahan alami, seperti rempah-rempah atau empon-empon,” jelas ibu rumah tangga dengan tiga anak itu.

Warga Perumahan Palem Sewu Baru, Palem Sewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta itu juga terus berinovasi untuk menjaga bisnisnya tetap eksis. Misalnya dengan menambah variasi produk hingga mengubah kemasan produk jamu botol menggunakan botol kaca dan wedang rempah menggunakan eco-bag.

“Saya sebisa mungkin juga mengusahakan izin edar dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan-red) untuk semua produk Ngombe Jamu,” beber Niken.

Di saat yang sama, pihaknya juga terus berusaha memperluas cakupan pasar, yakni dengan bergabung ke berbagai e-commerce. Sebelumnya dia hanya memasarkan produk Ngombe Jamu melalui berbagai grup WhatsApp dan media sosial seperti Facebook dan Instagram.

Masih dari Yogyakarta, pelaku UMKM lain yang dapat meraup omzet berlipat dari berjualan jamu adalah Friski Purnamasari. Dara 27 tahun ini mengaku telah melakoni bisnis berjualan jamu sejak duduk di bangku sekolah. 

Wanita yang karib disapa Rizki itu bercerita, sebelum pandemi, dirinya mampu menjual produk jamu instan dan wedang uwuh setidaknya 10 pack per hari, dengan omzet sekitar Rp300.000. Namun, setelah pandemi COVID-19 melanda, omzetnya mengalami kenaikan hingga lebih dari 50% dengan jumlah pesanan 1.000 pcs dan omzet terbesar mencapai Rp1 juta per hari.

“Pemasarannya enggak cuma di area Jogja, tapi juga sampai Kalimantan sama Jakarta,” ungkapnya kepada Alinea.id, belum lama ini. 

Tidak hanya jamu instan dan wedang uwuh, Rizki juga menyediakan produk olahan jamu lainnya yang berbentuk sirup. Untuk sebotol sirup berukuran 250 mililiter, pihaknya memasarkan dengan harga Rp18 ribu. Sedangkan untuk satu pack jamu instan berukuran 100 gram, bisa didapatkan dengan harga Rp14 ribu. Sementara untuk jamu instan varian jahe merah dihargai Rp16 ribu dan wedang uwuh berisi 10 pcs dijual dengan harga Rp25 ribu.

Rizki mengaku tak membutuhkan modal besar untuk memulai bisnis jamu. Menurutnya, dengan banyaknya ketersediaan bahan baku jamu, masyarakat yang ingin menjajal bisnis minuman sehat ini semakin mudah. Meski begitu, pemilik merek jamu Rizki Barokah itu tak lupa mengingatkan masyarakat yang ingin berbisnis jamu untuk senantiasa memperhatikan bahan-bahan yang digunakan untuk membuat jamu.

Menurutnya, pengemasan produk pun tidak boleh sembarangan. Penjual harus memperhatikan kehigienisan, serta memastikan dengan teliti setiap detail dari packaging hingga ke pelabelan. Kemasan harus rapi dan bersih, kemudian tutup rapat agar tidak ada udara yang masuk, karena akan mempengaruhi daya tahan jamu.

Ilustrasi pengemasan produk jamu. Kartika Runiasari.

Sementara itu, Sido Muncul sebagai pemain besar juga mengalami lonjakan penjualan produk jamu selama masa pandemi Covid-19. Sepanjang kuartal-I 2021, PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk berhasil mencatatkan pendapatan Rp793 miliar, tumbuh 8,6% secara year on year (yoy).  Adapun, untuk laba bersih, perusahaan dengan kode emiten SIDO itu berhasil membukukan Rp269 miliar atau naik 16% secara yoy.

SIDO juga tercatat mulai mengalami pertumbuhan dari penjualan ekspor. Meski di sepanjang tahun lalu pasar ekspor SIDO hanya menyumbang sekitar 1% dari dari total penjualan perusahaan, namun pada tiga bulan pertama tahun ini, geliat ekspor mulai terlihat hingga mencapai 3% dari kontribusi penjualan. Peningkatan penjualan ekspor khususnya dari Malaysia dan Nigeria.

Kepada Alinea.id, Direktur Utama Sido Muncul David Hidayat mengungkapkan, kenaikan kinerja perusahaan utamanya disebabkan oleh melonjaknya permintaan produk-produk herbal dan juga minuman kesehatan. Berdasarkan data perseroan, segmen produk herbal & supplement serta segmen minuman kesehatan mencatatkan lonjakan permintaan di tahun 2021. Hingga semester-I 2021 keduanya berkontribusi masing-masing sebesar 65% dan 31% dari total pendapatan perseroan.  

"Permintaan produk herbal kami seperti Tolak Angin Cair, Tolak Linu Cair, Esemag, Anak Sehat serta supplemen herbal lainnya yakni sambiloto, sari kunyit dan JSH dan beberapa produk lainnya mengalami lonjakan permintaan yang luar biasa,” katanya, Sabtu (4/9). 

Lonjakan permintaan, menurut Hidayat, bahkan terus berlanjut hingga Agustus 2021. Hal ini didukung dengan perubahan kecenderungan berbelanja kebutuhan sehari-hari masyarakat yang saat ini beralih via daring. Sementara itu, dengan kondisi ini, pihaknya memproyeksikan kinerja perseroan di kuartal-III dan kuartal-IV akan jauh lebih baik dari dua kuartal sebelumnya.

Prospek kian cerah

Terpisah, Ketua Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI) Inggrid Tania, mengatakan, minat masyarakat untuk mengonsumsi jamu selama pandemi melonjak drastis ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, masyarakat banyak yang menyadari konsumsi jamu bisa meningkatkan imun seseorang, terutama di tengah pandemi.

“Jamu maupun olahan herbal itu bisa dikonsumsi oleh masyarakat sebagai tindakan preventif meningkatkan imun tubuh mencegah COVID-19, atau pun membantu pengobatan COVID-19 sebagai pendamping dari obat- obatan yang diberikan oleh dokter,” katanya, saat dihubungi Alinea.id, Selasa (14/9). 

Untuk pasien COVID-19, Inggrid menyarankan agar pasien memberi tahu tenaga medisnya pada saat mengonsumsi jamu atau olahan herbal. Sehingga obat yang diberikan dapat disesuaikan juga dengan manfaat dari jamunya. 

Rempah-rempah yakni jahe merah, kunyit, temulawak, sereh dan kayu manis yang siap diolah menjadi jamu. Kartika Runiasari.

Takaran untuk mengonsumsi jamu pun harus disesuaikan dengan kebutuhan kondisi tubuh. Jika pada orang yang sehat, maka disarankan konsumsi jamu dapat dilakukan dua kali dalam satu hari di pagi dan malam hari. Sementara untuk orang yang sedang sakit, konsumsi jamu bisa ditingkatkan menjadi tiga hingga empat kali dalam satu hari.

”Tidak boleh berlebihan. Kalau berlebihan, jamu malah bisa membuat orang jadi diare karena kandungan jamu kan memang lebih banyak seratnya,” ujar dia tegas.

Pada kesempatan lain, Ketua Gabungan Pengusaha (GP) Jamu Dwi Ranny Zamran mengatakan, saat ini prospek jamu dan obat herbal kian cerah. Hal itu terlihat dari kinerja industri jamu dan herbal yang tumbuh positif selama beberapa tahun terakhir seiring dengan tren back to nature di kalangan masyarakat. 

“Ditambah adanya pandemi ini jadi masyarakat semakin menyadari manfaat jamu, saat ini banyak industri farmasi juga sudah mulai melirik industri Jamu,” bebernya kepada Alinea.id, Selasa (14/9).

Meski cenderung mengalami kenaikan, Dwi tak menampik jika dampak pagebluk juga telah memukul beberapa pelaku usaha jamu. Beberapa industri jamu yang mengalami penurunan omset atau kinerja ialah industri jamu yang biasanya hanya memproduksi jamu obat luar seperti param atau minyak urut.

Produksi tanaman biofarmaka 2017-2020 (Sumber: Badan Pusat Statistik).
Jenis 2017 2018 2019 2020
Jahe 216.586.662 kg 207.411.867 kg 174.380.120 kg 183.517.778 kg
Lengkuas 63.536.065 kg 70.014.973 kg 75.384.910 kg 68.658.643 kg
Kencur 36.655.028 kg 35.966.755 kg 35.296.213 kg 44.823.793 kg
Kunyit 128.338.949 kg 203.457.526 kg 190.909.204 kg 193.582.819 kg
Lempuyang 7.728.410 kg 9.150.995 kg 6.609.056 kg 7.145.910 kg
Temulawak 24.561.046 kg 25.571.197 kg 29.637.119 kg 26.742.721 kg
Temuireng 6.407.704 kg 7.135.233 kg 6.969.556 kg 7.201.988 kg
         

Sedangkan untuk industri jamu yang memproduksi kapsul atau kaplet untuk daya tahan tubuh, jelas mengalami peningkatan luar biasa. Banyak pula industri kecil atau skala rumahan yang memproduksi berbagai jenis wedang, seperti Wedang Uwuh, wedang Jahe, Wedang Imun dan lainnya juga turut mencecap manisnya bisnis jamu selama pandemi.

Bahkan, beberapa industri jamu dan herbal yang sudah kerap kali melakukan ekspor, tercatat mengalami lonjakan kinerja selama hampir dua tahun terakhir. “Tapi untuk yang UMKM masih mengalami kesulitan untuk ekspor dikarenakan belum bisa memenuhi regulasi di negara tujuan,” ungkapnya.

Kendala meningkatkan daya saing

Selain kendala regulasi yang harus dialami UMKM jamu, pelaku usaha jamu juga harus dihadapkan pada berbagai tantangan lainnya. Dia bilang, ada dua jenis tantangan yang harus dihadapi, yakni tantangan internal dan eksternal.

Untuk contoh tantangan internal yaitu berupa Ketersedian SDM (sumber daya manusia) yang terbatas, kualifikasi SDM belum terpenuhi sesuai kemampuan perusahan, dan permasalahan QCD (Quality, Cost dan Delivery). Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT) juga belum kuat untuk pasar yang luas. 

Belum lagi kemampuan beberapa industri mengikuti aturan penggunaan ekstrak masih sulit karena harganya yang mahal. Hal itu lah yang kemudian membuat pelaku usaha jamu terpaksa menggunakan ekstrak dengan mutu rendah karena harga murah, sehingga standar produk kurang bagus.

“Untuk tantangan secara eksternal banyaknya Jamu BKO (Bahan Kimia Obat) yang secara otomatis merugikan para industri jamu dan menurunkan citra terhadap Jamu,” ujar Dwi.

Asosiasi telah memberikan fasilitas kepada para anggota untuk dapat berdiskusi dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kemenkes, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan dan lembaga lain yang berhubungan dengan jamu. Dwi bilang, hal ini penting dilakukan agar para pengusaha jamu bisa menyasar konsumen lebih luas lagi, hingga menyentuh ke berbagai negara di dunia.

“Kami juga bekerja sama dengan sekolah ekspor supaya industri yang siap ekspor bisa langsung bertemu dengan buyer,” imbuh dia.

Sementara itu, Asisten Deputi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Kewirausahaan Kemenko Perekonomian Chairul Saleh dalam kesempatan lain mengatakan, industri jamu nasional saat ini lebih banyak didominasi oleh UMKM, baik itu UKOT maupun Usaha Mikro Obat Trasional (UMOT).

Berdasarkan catatan BPOM, hingga November 2020 ada sekitar 216 UMOT yang tersebar di seluruh Indonesia. Sedangkan UKOT ada sebanyak 123 unit usaha dari berbagai wilayah dan Industri Obat Tradisional (IOT) ada sebanyak 123 unit. Di sisi lain, sampai saat ini hanya ada 12 unit Industri Ekstrak Bahan Alam di tanah air.

Dengan banyaknya pelaku usaha kecil dan menengah di sektor ini, pemerintah pun telah memberikan berbagai kemudahan dan fasilitas. Mulai dari bantuan kredit modal hingga pendampingan kepada UMKM yang ingin naik kelas. 

“Dari Kementerian Perindustrian itu sudah lakukan bantuan untuk memberikan kemudahan peningkatan mutu bahan baku ke pengusaha, Kementerian Pertanian dengan mengembangkan kawasan tanaman obat,” kata dia, kepada Alinea.id, Rabu (15/9).

Di saat yang sama, Kementerian Kesehatan juga memberikan bantuan berupa revitalisasi peralatan dalam rangka peningkatan kemampuan pusat pengolahan pascapanen tanaman obat (P4TO) dalam penyediaan bahan baku natural.

Ilustrasi Alinea.id/MT Fadillah.

Selain itu juga memberikan advokasi dalam rangka kemandirian produksi bahan baku obat alam, sosialisasi penggunaan jamu yang aman, bermutu dan bermanfaat. Kemudian ada pembinaan usaha jamu gendong dan usaha jamu racikan, coaching clinic untuk industri dan usaha obat tradisional, serta pelatihan untuk SDM industri jamu.

Dalam tataran Kementerian Koperasi dan UKM, pemerintah telah menyediakan standarisasi dan sertifikasi produk, memberikan fasilitas standarisasi produk dan manajemen mutu, serta fasilitas sertifikasi produk jaminan halal dan HKI (Hak Kekayaan Intelektual) bagi UMKM.

“Dan saat ini sertifikasi halal dan berbagai izin itu sudah bisa dengan mudah didapatkan,” tandas dia. 
 

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan