Jeritan jelata di tengah kenaikan harga-harga
Rina (38) harus menarik napas panjang kala mengetahui harga-harga beberapa bahan pokok yang melejit. Kenaikan harga paling mencolok terjadi pada minyak goreng yang kini mengikuti harga pasar. “Bulan puasa tahun lalu Rp100 ribu masih dapat minyak goreng 4 liter-an, sekarang cuma dua liter,” ujarnya saat berbincang dengan Alinea.id, beberapa waktu lalu.
Padahal, dalam sebulan ia cukup boros menggunakan minyak sawit itu, yakni mencapai 6 liter. Konsumsi minyak goreng juga makin bertambah kala bulan Ramadan tiba. “Yah bisa sampai 7 liter-an kalo pas Puasa, soalnya saya masak terus,” tambahnya.
Ibu rumah tangga ini kian pasrah ketika mengetahui harga beberapa bumbu seperti bawang merah, cabai rawit merah dan kebutuhan dapur seperti gula dan terigu juga merangkak naik. Belum lagi dengan harga ayam dan daging yang memang tak pernah absen naik harga.
“Sekarang sudah enggak kepikiran masak daging, yang penting bisa makan,” sebut ibu dua anak ini.
Tak hanya Rina, Nur Hidayah (47) pun mengalami kegelisahan yang sama. Kondisi ini kian berat karena Nur juga menambah uang belanja dengan menjual lauk-pauk ke warga di sekitar rumahnya. Kenaikan harga-harga sontak membuat Nur bingung menentukan harga jual.
“Agak repot juga ya, bingung ngaturnya apalagi kita buat jual lagi. Soalnya harga jual saya naikin sedikit,” sebutnya kala berbincang dengan Alinea.id, Jumat (8/4).
Komoditas yang harganya sangat terasa mencekik adalah minyak goreng yang kini terbilang sangat mahal di mana Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) mencatat rata-rata di seluruh provinsi kini mencapai Rp26.000 per kilogram. Harga tertinggi dialami Provinsi Sulawesi Tenggara yang mencapai Rp52.500 per kg.
Untungnya, meski menaikkan harga jual dengan tipis namun ia masih memperoleh sedikit marjin. “Kalau untung kita bisa ikut makan aja setiap harinya,” ujarnya.
Karenanya, ia sangat berharap pemerintah bisa mengendalikan harga-harga bahan pangan terutama minyak goreng dan gas 3 kg. Sementara beberapa harga komoditas pangan memang biasa naik saat bulan puasa.
Kenaikan harga bahan-bahan baku pangan juga cukup dirasakan pengusaha Warung Tegal (Warteg). Di tengah kondisi yang babak belur gara-gara pandemi, usaha Warteg tak jua menemukan titik terang untuk terus bertahan. Padahal, dari jumlah Warteg di kawasan Jabodetabek yang mencapai 50 ribu-an, terdapat 25 ribu-an atau setengahnya tutup karena anjloknya omzet.
“Dampaknya cukup besar bagi pengusaha Warteg, pengusaha kecil dengan kenaikan harga pokok. Karena kita jualnya juga susah kan daya beli masyarakat belum pulih jadi kami susah ini untuk memproyeksikan harga yang harus kami jual.” keluh pemilik Warteg di kawasan Bekasi, Jawa Barat, Mukroni kepada Alinea.id, Kamis (7/4).
Ketua Umum Komunitas Warung Tegal Nusantara (Kowantara) ini juga mengaku bisnisnya masih merangkak setelah pandemi menyerang Indonesia awal 2020 lalu. Kala itu, social distancing membuat jumlah pengunjung merosot hingga Warteg lambat laun kehilangan pelanggan.
Dua tahun berlalu, penjualan Warteg nyatanya tak juga membaik. Bahkan, saat Ramadan tahun ini pun Mukrino tidak melihat ada lonjakan penjualan. “Lama kelamaan kita bisa rugi dan tutup,” tambahnya.
Padahal, pihaknya sempat berharap penjualan akan kembali pulih setelah kasus Covid-19 menurun pasca merebaknya varian Omicron dan pembatasan sosial kian longgar. Namun, alih-alih meningkatkan penjualan, omzet ternyata masih landai semata. Di sisi lain, untuk menaikkan harga jual juga tak bisa langsung dilakukan.
“Sepi karena daya beli enggak ada, masyarakat ini uangnya cekak, karena ada keperluan, apalagi di keluarga pengeluaran sebagainya banyak,” ungkap dia.
Kini, meski situasi penyebaran Covid-19 mereda, namun Warteg kembali dihadapkan pada kenaikan harga-harga pangan. Minyak goreng, tahu-tempe, cabai, dan lain-lain mengerek jumlah belanja harian setiap harinya.
“80% belanja itu untuk minyak goreng, sekitar 4 liter. Yah naiknya sekitar 20%-an lah buat belanja setiap hari, kita kan enggak bisa nyetok bahan-bahan segar,” sebutnya.
Sembari menunggu langkah pemerintah menstabilkan harga pangan, Mukrino dan pengusaha Warteg lainnya mengaku akan terus mengetatkan ikat pinggang meski bisnis melandai. “Teman-teman asal jualan aja tidak kurang tidak lebih, menunggu perkembangan ekonomi pulih,” ungkapnya.
Mukrino yang dahulu sempat merekrut karyawan pun kini hanya menjalankan bisnis Warteg dengan bantuan tenaga semua anggota keluarga. Pasalnya, di tengah ketidakpastian ini ia belum sanggup kembali menggaji karyawan. Apalagi dirinya masih harus memikirkan biaya sewa tempat.
Lebih lanjut, ia mengharapkan pemerintah tidak menaikkan harga Pertalite atau BBM subsidi serta gas 3 kilogram di masa-masa ini. “Biarkan rakyat bernapas dulu, semua naik Pertamax, minyak goreng di satu bulan, April. Jadi pemerintah harus memperhatikan dengan menunda sampai daya beli pulih untuk dapat pendapatan. Ini apa lagi yang mau diperas sudah nangis darah,” keluhnya.
Stabil naik
Kenaikan harga pangan paling mencolok adalah minyak goreng. Lambat namun pasti, kenaikan harga minyak goreng sudah terlihat sejak tahun 2021. Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) mencatat pada Desember 2020, harga minyak goreng masih di kisaran Rp14.400 per kilogram.
Lalu sejak bulan Mei 2021, harga minyak goreng stabil naik hingga akhir tahun 2021 mencapai Rp19.400 per kilogram. Puncaknya, sampai Maret 2022 harga minyak goreng menyentuh Rp20.850 secara rata-rata untuk jenis minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan.
Setelah sempat ‘melawan’ pasar dengan mensubsidi harga minyak goreng yakni menjadi Rp14.000 per liter, pemerintah akhirnya menyerah. Minyak goreng dengan harga yang ditekan jadi langka di pasaran. Per 17 Maret lalu, harga minyak goreng akhirnya dilepas mengikuti harga pasar.
Selain minyak goreng, PIHPS mencatat harga bahan pangan lain yang naik adalah bawang merah yang mencapai Rp34.850 per kg rata-rata semua provinsi. Lalu, cabai rawit merah di kisaran Rp65.450 per kg, gula pasir di kisaran Rp15.200 per kg, dan daging sapi di kisaran Rp130.850 per kg.
Peneliti senior Core Indonesia Piter Abdullah menilai kondisi pandemi membuat banyak orang terkena PHK dan pemotongan gaji. “Jadi di tengah kondisi itu ditambah kenaikan harga, semakin jelas dampak kenaikan harga pangkas daya beli,” ungkapnya kepada Alinea.id, Kamis (7/4).
Ancaman inflasi ini juga diperkirakan tidak hanya terjadi pada bulan April namun berlanjut hingga bulan-bulan berikutnya, bahkan sampai akhir tahun. Apalagi konflik Ukraina-Rusia yang belum berujung akan mempengaruhi harga-harga komoditas dunia.
“Inflasi bisa di atas 4%,” sebutnya.
Hal senada juga diungkapkan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance Tauhid Ahmad. Ia menilai kondisi pandemi dan kenaikan berbagai macam bahan pangan telah memukul daya beli masyarakat. Hal ini khususnya akan berdampak pada laju inflasi tahun 2022 yang diperkirakan akan melebihi dari target pemerintah.
“Target pemerintah inflasi 3% sampai Desember, ini belum ada tengah tahun inflasi ytd (year to date) sudah 1,6% hantu ekonomi kita adalah inflasi yang cukup tinggi terutama kenaikan harga pangan dan energi,” paparnya kepada Alinea.id, Kamis (8/4).
Tauhid memperkirakan laju inflasi sepanjang 2022 bisa menembus 4% dan membuat pemulihan ekonomi pascapandemi makin tersendat. Dampak lanjutan inflasi yang tinggi pun akan membuat konsumsi masyarakat semakin terpukul.
Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi yang masih didominasi sumbangan dari konsumsi masyarakat akan ikut turun. “Pertumbuhan ekonomi global targetnya turun dari 3,6% jadi 2%, Indonesia juga akan terancam turun, pemerintah targetkan pertumbuhan 5,2%, kalau Indef proyeksikan hanya 4,3%,” bebernya.
Hal ini didasari oleh ancaman serius pada daya beli masyarakat yang turun. Selain itu, ancaman lanjutannya adalah target pengurangan angka kemiskinan yang akan stagnan. Meski angka kemiskinan tidak melonjak, kata dia, namun setidaknya angka pengurangan kemiskinan akan menurun. Pasalnya, pemerintah masih mengucurkan bantuan sosial demi menjaga daya beli masyarakat menengah ke bawah.
“Kalau enggak ada bantalan bansos, target pengurangan kemiskinan bisa turun drastis,” sebutnya.
Karenanya, Tauhid menekankan bantuan sosial adalah kunci untuk menjaga daya beli dan ekonomi secara keseluruhan. Program ini, kata dia, sebaiknya masih digulirkan hingga akhir tahun 2022.
Dengan catatan, tambahnya, bansos benar-benar dinikmati oleh kalangan menengah ke bawah. Pasalnya, saat ini bansos juga dinikmati oleh kalangan menengah ke atas yang pada akhirnya tidak membelanjakan bantuan tersebut.
Untuk diketahui, bantuan sosial yang masih dijalankan pemerintah adalah Bantuan Subsidi Upah (BSU) untuk 8 juta pekerja senilai Rp1 juta per orang. Bansos ini menyasar para pekerja dengan gaji di bawah Rp3,5 juta.
Pemerintah juga mengucurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) minyak goreng. Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan, program ini masuk dalam rumpun bansos pangan Kementerian Sosial dan Bantuan Tunai Pedagang Kaki Lima, Warung, dan Nelayan (BTPKLWN) oleh TNI/Polri.
"Targetnya minggu depan sudah selesai. Mudah-mudahan sudah mulai bisa disalurkan TNI/Polri," Ucap Susi dalam konferensi pers BLT Minyak Goreng, Jumat (8/4).
Dia menegaskan, BLT minyak goreng ini harus tersalur sebelum hari raya Idul Fitri sesuai arahan Presiden Joko Widodo. Adapun penyaluran dari rumpun bansos pangan Kemensos akan menyasar pada 20,65 juta KPM (Keluarga Penerima Manfaat), yang terdiri dari 18,8 juta penerima BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai) Kartu Sembako dan 1,85 penerima yang tidak menerima BPNT.
Penyaluran juga menyasar 2,5 juta PKL (pedagang kaki lima) dan pemilik warung, utamanya adalah PKL dan warung makanan atau gorengan di 514 kabupaten/kota. Masing-masing KPM akan menerima bantuan Rp100.000/bulan selama 3 bulan, yang diberikan sekaligus Rp300.000 pada bulan April 2022.
Sumbangan energi
Selain kenaikan harga pangan, kenaikan harga Pertamax menjadi Rp12.500 per liter pada 1 April lalu juga dipastikan mempengaruhi daya beli masyarakat. Apalagi, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sudah melempar sinyal menaikkan harga bensin Pertalite dan gas LPG 3 Kilogram (kg).
Tauhid menilai langkah kenaikan energi ini dipastikan akan semakin memukul masyarakat. “Kita desak jangan dulu, tunggu sampai situasi membaik,” katanya.
Ia pun mengusulkan agar ada realokasi anggaran apakah dari anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), anggaran kementerian/lembaga (K/L) atau kenaikan pendapatan negara dari naiknya harga minyak, batu bara, dan komoditas lainnya imbas konflik Rusia-Ukraina.
“Ini bisa menambah anggaran untuk bansos,” cetusnya.
Pemerintah, tambah Tauhid, juga harus transparan soal data kenaikan pendapatan negara dari komoditas yang melejit. Ia menghitung, realokasi anggaran ini bisa menutupi desakan kenaikan harga energi.
Adapun Piter Abdullah tidak memungkiri kenaikan harga energi semakin mendesak karena Pertalite sudah jauh di bawah harga keekonomian. “Padahal Pertalite sudah bukan bensin subsidi, bebannya ditanggung Pertamina,” ungkapnya.
Meskipun, sejauh ini belum diketahui masing-masing beban yang ditanggung baik oleh pemerintah maupun Pertamina terkait kenaikan harga minyak yang bertengger di atas US$100 per barel. Buntutnya, pemerintah pun menaikkan harga Indonesia Crude Price (ICP) atau indeks minyak mentah Indonesia sebesar US$17,78 per barel dari semula US$95,72 per barel menjadi US$113,5 per barel.
“Wajar saja kalau dibilang akan naik tapi pemerintah harus pertimbangkan kenaikan Pertalite nanti gelombang tekanan masyarakat bawah semakin tinggi, inflasi tinggi, daya beli terpangkas habis dan akan berdampak besar pada proses pemulihan ekonomi kita,” paparnya.
Karenanya, hal ini juga akan mempengaruhi capaian pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan pemerintah. Namun, secara umum Piter meyakini asumsi makro dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2022 akan banyak yang meleset.
“Harapannya pemerintah menahan enggak naikkan dulu Pertalite dan gas 3 kg, jangan sampai beban masyarakat ditambah lagi,” tutupnya.