Jokowi masih punya PR tangani masalah pangan
Satu tahun lagi, kepemimpinan Presiden Joko Widodo akan segera berakhir. Namun, mantan Gubernur DKI Jakarta ini masih menyisakan pekerjaan rumah penting yakni masalah pangan. Salah satunya adalah kebijakan penanganan harga minyak goreng yang sudah berlarut-larut selama dua tahun terakhir.
Pertengahan Januari tahun lalu, pemerintah mengeluarkan kebijakan satu harga minyak goreng yakni sebesar Rp14.000 per liter demi menstabilkan harga komoditas tersebut. Menteri Perdagangan saat itu, Muhammad Luthfi mengatakan kebijakan ini menjadi upaya pemerintah menjamin ketersediaan minyak goreng dengan harga terjangkau.
Lonjakan harga minyak goreng terjadi sejak bulan November tahun 2021 yakni berkisar Rp22.000-28.000 per liter, untuk jenis kemasan dengan variasi harga tergantung merek. Sedangkan, minyak goreng curah sudah berkisar Rp18.000 per liter atau Rp22.000 per kg.
Sebelum masa tersebut, harga minyak goreng masih berkisar Rp13.000 hingga Rp15.000 per kg, untuk kemasan maupun curah. “Melalui kebijakan ini diharapkan masyarakat dapat memperoleh minyak goreng dengan harga terjangkau dan di sisi lain produsen tidak dirugikan karena selisih harga akan diganti oleh Pemerintah,” ujar Luthfi pada Januari 2022 silam.
Secara teknis, penyediaan minyak goreng dengan satu harga akan dilakukan melalui ritel modern yang menjadi anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo). Adapun bagi pasar tradisional diberikan waktu satu minggu untuk melakukan penyesuaian.
Di mana pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), telah menyiapkan dana sebesar Rp7,6 triliun yang akan digunakan untuk membiayai penyediaan minyak goreng kemasan bagi masyarakat sebesar 250 juta liter per bulan atau 1,5 miliar liter selama enam bulan.
Namun, belakangan tepatnya pada April 2023, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyatakan pemerintah masih berutang kepada pengusaha tepatnya selisih harga minyak goreng alias rafaksi dari program satu harga pada tahun 2022 lalu. Hal ini meleset jauh dari janji semula pemerintah yang akan melunasi biaya selisih harga minyak goreng itu 17 hari setelah program satu harga tersebut dilakukan.
Program satu harga tersebut dilakukan mulai dari 19 Januari sampai dengan 31 Januari 2022 lalu. Artinya, pemerintah seharusnya telah membayarkan rafaksi tersebut adalah pada 17 Februari 2022 silam. Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey menyebut total utang yang harus dibayarkan oleh pemerintah kepada 31 pengusaha ritel yang ikut serta melancarkan program satu harga tersebut mencapai Rp 344 miliar.
Roy menjelaskan, program minyak satu harga dilakukan dalam rangka mematuhi Permendag Nomor 3 tahun 2022. Semua pengusaha ritel, khususnya peritel sektor pangan diminta untuk menjual minyak goreng seharga Rp 14.000 per liter, sementara pada saat itu harga minyak goreng di pasaran berkisar di Rp 17.000-20.000 per liter. Selisih harga atau rafaksi yang ada, dalam Permendag 3 Tahun 2022 disebut akan dibayarkan pemerintah.
"Rafaksi bukan kemauan ritel, karena ada regulasi Permendag itu. Semua dijual Rp 14.000 per liter, dari 19 Januari sampai 31 Januari 2022," kata Roy bulan April silam.
Polemik minyak goreng kian rumit kala Permendag 3 tersebut digantikan dengan Permendag 6 tahun 2022. Beleid baru tersebut seakan telah membatalkan peraturan yang ada sebelumnya terkait rafaksi. Padahal, program telah dijalankan, dan menurut Roy, pemerintah tetap harus membayarkan biaya selisihnya sebagaimana yang tertuang dalam Permendag Nomor 3 Tahun 2022. Pengusaha pun mengancam akan menyetop penjualan minyak goreng jika utang tersebut tak kunjung dibayarkan.
Polemik yang terus berlanjut ini dinilai menjadi sumber konflik Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) dengan pemerintah. Karena itu pula, Joko Widodo sebagai presiden harus bertindak cepat menyelesaikan persoalan ini.
"Pemerintahan Jokowi sebagai pemerintahan yang pro rakyat harus bertindak cepat. Keguncangan masalah pangan di Indonesia dapat menjadi kendala besar dalam pemilu 2024 yang akan diselenggarakan pada awal tahun 2024 ini," kata aktivis 98 Barita Ricky Richy, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (16/11) lalu.
Dia juga menekankan perlu ada perhatian khusus dan penanganan cepat dari pemerintah agar tidak ada pihak-pihak yang memperkeruh masalah. Dia juga meminta Jokowi bertindak tegas dalam polemik satu harga minyak goreng. “Utang pemerintah yang tidak terbayar sekitar Rp344 miliar ini dapat menjadi kendala besar pemerintah dalam menghadapi tantangan kelangkaan bahan pangan tahun 2024,” sebutnya.
Dia juga menilai utang yang tak kunjung dibayar ini menjadi perilaku tidak bertanggung jawab dan sangat berbahaya. “Karena dari kasus Aprindo dan BPDPKS ini akan mengganggu stabilitas ekonomi dan politik Indonesia dalam beberapa bulan kedepan. Jika tidak ditangani segera bisa merembet kemana-mana," kata Ricky.
Dia pun menyarankan agar Jokowi me-reshuffle Airlangga sebagai Menteri Koordinator Perekonomian karena tidak mampu secara tim menyelesaikan persoalan ini. Menurutnya, jangan sampai di ujung pemerintahan Jokowi ini meninggalkan kesan buruk bagi rakyat Indonesia. Terlebih, saat ini dunia tengah menghadapi kelangkaan pangan, di mana persoalan pangan dapat memicu gejolak sosial dan revolusi pemerintahan. Seperti halnya terjadi pada tahun 1998.
"Terjadinya peristiwa 98 salah satu penyebabnya adalah langka dan mahalnya bahan pangan, jangan sampai hal itu terjadi karena cost politiknya mahal bagi republik ini," tegas dia.
Sebelumnya, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai kebijakan minyak goreng sangat sulit diterapkan karena melawan hukum pasar. “Kalau kemudian barangnya tidak dikuasai pemerintah, barangnya tidak dimiliki pemerintah tetapi mencoba masuk intervensi yang melawan pasar hingga akhirnya dengan kebijakan yang melawan pasar itu toh akhirnya pemerintah menyerah yang kemudian mencabut HET itu,” ungkapnya beberapa waktu lalu.