Jokowi minta UMKM tak dikuasai asing 100%
Presiden Joko Widodo meminta kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution agar UMKM tidak dikuasai investor asing 100%.
Menteriko Perekonomian Darmin Nasution memastikan lima sektor usaha terkait usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan Koperasi tidak lagi masuk dalam revisi Daftar Negatif Investasi (DNI) sesuai arahan dari Presiden Jokowi.
"Yang saya tahu, mengeluarkan yang UMKM itu, dari yang dikeluarkan, dikembalikan lagi jadi DNI. Jadi ada lima," kata Darmin di Jakarta, Rabu (28/11) malam.
Darmin memastikan lima sektor usaha UMKM dan Koperasi ini tetap termasuk dalam daftar negatif yang tertutup bagi investasi asing dan tidak lagi masuk revisi DNI sesuai dengan draf awal.
Ia mengakui pengusaha mengeluhkan masuknya lima sektor usaha UMKM dan Koperasi ini dalam revisi DNI karena takutnya kebijakan ini dapat mematikan potensi pelaku usaha kecil dan menengah.
Namun, menurut Darmin, lima sektor UMKM dan Koperasi ini sebenarnya tidak terbuka seluruhnya 100% untuk asing, karena terdapat batasan investasi minimum modal dari luar sebesar Rp10 miliar.
Meski demikian, ia menerima keputusan untuk meniadakan lima sektor UMKM dan Koperasi tersebut dan tidak mau lagi berpolemik, walau sudah berupaya menjelaskan kepada para pengusaha.
"Tentu sudah kita jelaskan juga, ya aneh memang kalau sudah persepsi itu memang susah menjelaskan," ujar Darmin.
Lima bidang usaha yang dikembalikan ke DNI pada awalnya terdapat pada kelompok A dan B dalam draf awal revisi Perpres Nomor 44 Tahun 2016.
Untuk kelompok A, terdapat empat bidang usaha yang dikeluarkan dari kelompok dicadangkan untuk UMKM-K, sedangkan di kelompok B terdapat satu bidang usaha yang dikeluarkan dari persyaratan kemitraan.
Dengan demikian, masih tersisa 49 bidang usaha yang masuk revisi DNI, yaitu 25 bidang usaha terbuka 100% untuk asing dan 24 bidang usaha terbuka bagi asing namun tidak sampai 100%.
Kemudahan investasi
Paket kebijakan ekonomi XVI yang diluncurkan pemerintah diharapkan dibarengi oleh kemudahan berinvestasi agar tidak menimbulkan risiko kepada perekonomian.
Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menjelaskan, liberalisasi dengan membuka pintu masuk bagi investor asing di 25 sektor bisa berdampak negatif bagi perekonomian masyarakat di Indonesia.
"Investor boleh masuk, tapi harusnya ada sharing dengan pemain lokal dan saham pengendali di pengusaha lokal, bukan 100% diberikan ke asing," ujar Bhima saat dihubungi Alinea.id belum lama ini.
Risikonya, kata dia, pertumbuhan ekonomi semakin tidak inklusif, karena hanya dikuasi investor skala besar. Apabila ada keuntungan dari investor, maka keuntungan tersebut akan dikirimkan kepada negara induknya.
Hal itu juga yang akhirnya, kata Bhima, dapat membuat neraca pembayaran Indonesia terus mengalami tekanan. Pendapatan investasi defisit US$31,2 miliar, karena transfer modal keluar negeri. Repatriasi modal keluar negeri ujungnya merugikan rupiah dalam jangka panjang.
Sebelumnya, pemerintah melalui PKE X pada tahun 2016 telah membuka ruang untuk inevestasi asing cukup besar. Ada 101 bidang usaha yang diperluas bagi investor asing.
"Tapi 51 bidang usaha buktinya tidak diminati oleh investor. Lho kenapa sekarang makin diperluas? Saya bingung logikanya. Dampak dibukanya DNI kepada asing juga tidak berpengaruh pada investasi yang masuk," kata Bhima.
Dampak dibukanya DNI kepada asing tidak berpengaruh pada investasi yang masuk. Menurut dia, hasilnya pertumbuhan realisasi investasi tidak signifikan.
Bahkan, pada kuartal III-2018 lalu, investasi asing langsung atau FDI terperosok minus 20,2% dibanding posisi yang sama tahun 2017.
"Jadi saya heran, resep pemerintah menarik investasi dengan relaksasi DNI, enggak nyambung dengan investasi yang masuk. Kok resep enggak manjur dicoba lagi dipakai ke-16," papar Bhima.
Selain itu, mengenai perluasan Tax Holiday, kata Bhima juga baru akan terasa dalam jangka panjang. Dia menilai, tanpa insentif pun, ekonomi di Indonesia sudah berkembang pesat. Bahkan dari pengamatannya, start-up pada tahun ke-3, sebagian mencatat rugi atau loss.
"Seperti Go-Jek, jadi mereka otomatis enggak bayar pajak penghasilan. Sebenarnya daripada memperluas ke sektor baru, pemerintah fokus saja membenahi mekanisme tax holiday. Paket (kebijakan ekonomi) 1-15 sudah banyak bicara insentif pajak tapi tidak berjalan optimal. Itu yag harus dievaluasi," ujarnya.
Oleh karena itu, Bhima menyarankan agar pemerintah bisa melihat pada akar masalah yang struktural. Perizinan memulai usaha juga dirasa masih sulit.
Seperti diketahui, Indeks Kemudahan Berbisnis 2018 (Ease of Doing Business Index) yang dirilis Bank Dunia menunjukkan, hingga saat ini Indonesia masih berada di peringkat 144 dari 190 negara dalam indikator memulai bisnis.
"Itu yang harus diselesaikan dulu, baru investor akan masuk. Ini paket saya bilang setengah matang, tidak ada yang spesial dan prematur," paparnya.
Senada, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman, mengatakan, kebijakan paket ekonomi XVI patut diapresiasi.
Namun, terobosan seperti itu juga perlu diikuti oleh reformasi serupa, yakni kemudahan memulai berbisnis.
"Karena fase ini sangat krusial. Mencerminkan wajah bisnis di Indonesia. Sekali lagi, perbaikan birokrasi di fase ini juga penting, untuk mendukung efektivitas terobosan lain yang dilakukan pemerintah," ujar Ilman.
Lebih lanjut, Assyifa menilai, untuk memulai bisnis di Indonesia, dibutuhkan waktu selama kurang lebih 23 hari untuk melewati dan menyelesaikan berbagai tahapan birokrasi yang ada.
Pencapaian ini relatif tertinggal dibandingkan dengan negara di Asia Tenggara lainnya, seperti Vietnam dengan 22 hari, Malaysia dengan 18 hari, dan Thailand yang hanya 5 hari.
Satu langkah yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mengoptimalkan sistem Online Single Submission (OSS) yang sudah pemerintah miliki dengan mensinkronisasi aturan di tingkat pusat dan daerah. Pemerintah juga perlu memberikan pendampingan dan supervisi kepada pemerintah daerah dalam penerapan kebijakan OSS tersebut.
Oleh karen itu, kata Ilman, agar pemerintah dapat mendorong masuknya investasi asing, membuka peluang investasi yang dilakukan dengan merevisi DNI ini juga harus diiringi dengan kemudahan dalam melakukan bisnisnya.
Sehingga pada akhirnya, investasi asing langsung (Foreign Direct Investment) dapat terealisasi lebih cepat dan membantu membuka lapangan pekerjaan.