Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengklaim perekonomian nasional bakal minus 17% jika memberlakukan karantina wilayah (lockdown) pada awal pandemi Covid-19, Maret 2020. Ketentuan tentang karantina wilayah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.
"Saya putuskan tidak lockdown meskipun tekanannya lockdown. Dan ternyata tidak salah. Itu kalau diputuskan lockdown, bisa [perekonomian] kita minus 17% saat itu. Ekonomi kita minus 17%," tuturnya saat menghadiri Perayaan Imlek Nasional di Jakarta, Minggu (29/1).
Saat perekonomian anjlok, Jokowi mengungkapkan, upaya pemulihannya bakal sulit. "Karena minusnya sudah langsung jatuh seperti negara-negara di Eropa."
Jokowi mengungkapkan, nyaris 80% para pembantunya mengusulkan lockdown dalam rapat kabinet pada awal pandemi. Mayoritas masyarakat pun mendorong demikian.
Wacana tersebut didorong menyusul banyak negara telah memutuskan lockdown guna memutus rantai penularan SARS-CoV-2. Namun, Jokowi tidak mengadopsi kebijakan serupa, yang diklaim diambil berdasarkan pertimbangan matang.
"Kita masih jernih dan tenang menghitung kekuatan rakyat di bawah seperti apa. Dikalkulasi kekuatan sampai berapa hari atau berapa minggu. Kalau salah memutuskan, mungkin enggak ada 2 minggu kita sudah rusuh saat itu," tuturnya.
"Tabungan kita lihat. Kita, kan, bisa 'nengok tabungan rakyat di bank itu berapa, tabungan gede berapa, tengah berapa, kecil berapa, lebih kecil lagi, dan bawah lagi semuanya kelihatan," sambungnya.
Pemerintah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSSB) per April 2020. Namun, diterapkan di daerah-daerah tertentu setelah usulan diterima Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Pada awal 2021, PSBB digantikan pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), yang tidak ada dasar hukumnya kecuali PSSB. Aturan pelaksanaan PPKM hanya bermodalkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri).
Sejak akhir tahun lalu, 30 Desember 2022, pemerintah akhirnya mencabut PPKM dengan dalih laju penularan Covid-19 terkendali. Namun, status kedaruratan kesehatan masyarakat masih berlaku karena mengikuti aturan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).