Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan meminta PT Pertamina (Persero) untuk memperbaiki proses produksi dan pengolahan siap jual (lifting) minyak dan gas bumi (migas) agar lebih andal.
"Terutama dibikin mekanisme yang lebih kompetitif lah lawan produsen-produsen asing," kata Jonan usai membuka acara Gas Summit Exhibition 2019 di Jakarta, Rabu (31/7).
Jonan menyatakan rata-rata operator lain juga mengalami penurunan untuk lifting migas, seperti yang dialami Pertamina. Namun, Jonan mengingatkan, operator-operator papan atas seperti Exxon masih mampu melakukan lifting sesuai rencana awal.
"Prosesnya menurut saya harus lebih cepat. Kalau tidak nanti makin lama produksinya bisa tidak memenuhi target," ujarnya.
Pada pekan lalu, SKK Migas mengumumkan bahwa realisasi lifting migas pada semester I-2019 tidak mencapai target dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dalam APBN, target lifting migas sebesar 2 juta barel per hari, sedangkan yang terealisasi hanya 1,8 juta barel per hari.
Di sisi lain, Jonan menepis anggapan bahwa hal itu menjadi penyebab pengelolaan Blok Corridor menggunakan sistem transisi.
"Concern kami adalah produksinya bisa sesuai dengan yang direncanakan. Ini kan bukan keputusan politik. Kalau mau bikin plan semua tanda tangan kok," kata Jonan.
PT Pertamina kini memiliki hak partisipasi (participation interest) sebesar 30% untuk mengelola Blok Corridor, yang akan dimulai setelah 2023. Naik dari sebelumnya hanya 10%.
Ini merupakan langkah awal dari masa transisi pengelolaan blok migas tersebut yang akan jatuh ke Pertamina pada 2026 mendatang.
Paradigma lama
Dalam kesempatan terpisah, Guru Besar Tetap Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (FMIPA UI) Abdul Haris menyebut minimnya kegiatan eksplorasi, inovasi dan pengembangan teknologi baru dalam eksplorasi migas telah menjadi tantangan produksi migas nasional.
Haris menjelaskan produksi migas di Indonesia sejak tahun 1990-an terus mengalami penurunan yang berkelanjutan.
“Penurunan tersebut tidak sebanding dengan jumlah kebutuhan yang terus meningkat,” ujar Haris dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Tetap bidang Ilmu Geofisika FMIPA Universitas Indonesia di Depok, Rabu (31/7).
Padahal, migas memiliki peran penting dan strategis dalam sejarah perkembangan bangsa Indonesia, khususnya sebagai sumber pendapatan negara, memenuhi kebutuhan bahan bakar domestik, sumber bahan baku industri dan menciptakan efek berantai kegiatan ekonomi.
Indonesia, lanjut Haris, juga memiliki peluang untuk mengembalikan kekuatan sektor migas karena cadangan minyak nasional masih cukup banyak. Menurut dia, teknologi sekarang memungkinkan Indonesia mencari inovasi yang bisa membangkitkan minyak yang tersimpan.
“Karena pada dasarnya minyak yang tersimpan itu masih lebih dari 50%. Secara recovery factor (yang telah dieksploitasi) itu hanya 30%,” katanya.
Secara rinci, ada 60 cekungan migas di Indonesia, di mana 22 cekungan di antaranya belum dibor, 13 cekungan telah dibor tapi belum ada penemuan, 8 cekungan dengan penemuan tapi belum berproduksi, dan 16 cekungan produksi.
Lebih lanjut, Haris mengungkapkan perlu ada paradigma baru dalam eksplorasi migas menyusul kegiatan tersebut masih terus menggunakan model konvensional sejak beberapa dekade lalu.
Paradigma baru dalam kegiatan eksplorasi migas itu antara lain dengan tidak hanya menyasar pencarian cadangan sistem petroleum tapi juga ke batuan induk sebagai penyuplai migas.
“Pengembangan teknologi ini dikenal dengan shale hidrokarbon,” ujarnya.
Paradigma lainnya, yakni menentukan prospek cadangan tidak lagi hanya didasarkan pada porositas primer tapi juga pada porositas sekunder. Kemudian, “basement” yang selama ini menjadi batuan dasar dalam lapisan sedimen ternyata memiliki potensi yang besar sebagai reservoir migas.
“Paradigma baru ini harus menjadi fokus pengembangan inovasi dan teknologi eksplorasi migas,” katanya. (Ant)