close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Industri tekstil nasional memenuhi kebutuhan Alat Pelindung Diri (APD). Alinea.id/OkyDiaz.
icon caption
Industri tekstil nasional memenuhi kebutuhan Alat Pelindung Diri (APD). Alinea.id/OkyDiaz.
Bisnis
Jumat, 24 April 2020 16:45

Jual APD di tengah pandemi, momentum kebangkitan industri tekstil?

Alat Pelindung Diri (APD) jadi peluang pasar yang baru bagi industri tekstil nasional.
swipe

Semenjak pandemi Coronavirus menerjang Indonesia, para pelaku usaha menyusun kembali strategi bisnis untuk bertahan hidup. Tak terkecuali industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang merosot sejak pertengahan tahun 2019. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor TPT secara year-on-year (yoy) telah mengalami tren penurunan dari 20,71% pada Triwulan II 2019 menjadi 7,17% pada Triwulan IV 2019. Turunnya pertumbuhan sektor ini kembali diperparah dengan adanya pandemi Covid-19 sejak Triwulan pertama 2020.

Salah satu perusahaan konveksi yang berbasis di Bogor, Jawa Barat, CV Greecio Nusantara, akhirnya banting setir memproduksi Alat Pelindung Diri (APD). Keputusan ini diambil sejak Maret silam ketika imbauan social distancing sudah diberlakukan. Konveksi yang semula memproduksi baju seragam kini disibukkan dengan pembuatan  hazmat suit dan masker kain non-medis.

Sang pemilik, Abu Ubaidah bercerita, waktu itu toko bahan baku banyak yang tutup dan berimbas pada terhambatnya produksi seragam. Di sisi lain, tutupnya sejumlah kantor, sekolah, dan kampus juga mengurangi pemesanan seragam.

“Kita pas pertengahan dan akhir Maret membaca peluang. Kedepannya, kemungkinan toko-toko bahan seragam tutup dan peminatnya akan sepi. Jadi kita borong barang. Kita cari investor yang siap duitnya dan kita cari dulu bahan bakunya,” ungkapnya kepada Alinea.id melalui sambungan telepon, Sabtu (18/4).

Abu menambahkan, keputusan itu dibuat untuk menghidupi mitra dan karyawan perusahaannya. Di sisi lain, langkah ini juga membantu program pemerintah dan mendukung tim medis di lapangan dengan tersedianya APD.

Sejak Maret, Greecio telah memproduksi lebih dari 20.000 masker kain dan lebih dari 3.000 APD berjenis hamzat suit. Untuk hamzat suit, perusahaannya memproduksi tiga jenis grade yaitu waterproof (anti air) 100%, waterproof maksimal 80%, dan waterproof minimal 75%. Grade pertama dan kedua dapat dicuci, sedangkan grade ketiga hanya sekali pakai.
 
“Kalau dari pemerintah harus ada filler (hamzat suit), enggak boleh ada lubang. Kita belum bisa mengikutinya karena alat-alat yang digunakan lumayan harganya. Kita masih bertahan yang ini. Kita habisin stok yang ada. Alhamdulillah masih diterima,” terangnya. 

Alumnus Institut Pertanian Bogor itu pun menyiasati pembuatan APD dengan berlapis-lapis. Tujuannya agar hamzat suit tetap mampu melindungi pengguna dari kebocoran masuknya virus. Produk APD Greecio pun langsung disambut oleh konsumen.

Sebagian besar pelanggannya berasal dari yayasan yang melakukan aksi donasi serta distributor yang kebanyakan berasal dari komunitas Tangan Di Atas (TDA), sebuah komunitas wirausaha dimana Abu menjadi salah satu anggotanya. Sisanya, dia menjualnya langsung kepada end user. Sementara untuk pembuatan seragam sebagai bisnis utama tetap dilakukan. Namun, pembuatannya hanya sekadar menyelesaikan pesanan yang sudah ada. 

Tidak hanya pelaku Industri Kecil dan Menengah (IKM) seperti Greecio yang mendiversifikasi usahanya. Inisiatif serupa juga dilakukan industri skala besar yang sudah mendunia seperti PT Sri Rejeki Isman Tekstil Tbk (Sritex). 

Penjahit memproduksi alat pelindung diri (APD) untuk tenaga medis di Bandung, Jawa Barat, Senin (13/4/2020). Penjahit spesialis seragam dinas dan jaket ini mengalihkan produksinya ke pembuatan APD untuk tenaga medis dalam penanganan pasien COVID-19 di sejumlah rumah sakit umum dan swasta di Jawa Barat dengan jumlah produksi 300 hingga 400 buah per minggu. Foto Antara/M Agung Rajasa/wsj.

Kepala Komunikasi Korporat PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) Joy Citradewi mengatakan, pihaknya mulai memproduksi masker kain dan APD lantaran minimnya pasokan dua produk tersebut di Tanah Air. Pihaknya sudah mulai memproduksi masker kain sejak minggu ke-3 Maret dan APD baju pelindung pada akhir Januari. 

“Kami melakukan uji tes seperti waterproof dan anti mikrobial. Untuk performance liquid resistance kami juga melewati uji tes ANSI / AAMI PB 70 yang merupakan American national standard,” ungkapnya melalui pesan singkat, Senin (20/4).

Joy mengatakan, pihaknya masih belum bisa berbicara tren penjualan lantaran baru kali ini memproduksi masker dan APD. “Namun permintaan hingga saat ini masih cukup kuat,” ujarnya.

Untuk Masker kain, Sritex menjualnya seharga Rp5.500 per buah dengan minimal pembelian sebanyak 1.000 buah. Per Maret 2020, kapasitas produksi masker SRIL telah mencapai 20.000 buah per harinya.

Meski peluang pasar terbuka lebar, APD tidak bisa diproduksi sembarangan. Ada pertaruhan resiko jika APD tak bisa menjadi tameng bagi penyebaran Coronavirus, terlebih bagi tenaga medis. Wakil Direktur Utama PT Pan Brothers Tbk (PBRX) Anne Patricia Sutanto menyadari bahwa APD tidak bisa diproduksi selayaknya garmen karena pada dasarnya merupakan peralatan kesehatan. 

“Kalau Pan Brothers melihatnya positif karena kita mengikuti (prosedur Kementerian Kesehatan) itu semua,” ungkapnya kepada Alinea.id, Senin (20/4).

Anne menjelaskan, perusahaannya telah memproduksi 10 juta masker kain, 100.000 hazmat suit yang dapat dipakai ulang, dan 20.000 hazmat suit sekali pakai. Adapun bahan baku masker kain sepenuhnya berasal dari dalam negeri, sedangkan untuk hazmat suit sebagian diperoleh dari luar negeri. 

PBRX sendiri mensyaratkan pembelian minimal 1.000 buah untuk APD dan 5.000 buah untuk masker. Ada tiga jenis masker yang ditawarkan yaitu tipe 1 (masker kain biasa), tipe 2 (ditambah anti virus dan anti mikroba), dan tipe 3 (tipe 2 ditambah anti air).

“Rencananya dalam 2-3 bulan ini akan produksi 10 juta disposable jumpsuit (hamzat suit sekali pakai) APD, 1 juta reusable jumpsuit (hamzat suit dapat dipakai ulang) APD, dan 100 juta masker kain,” paparnya. 

Adapun sekitar 80% produksinya akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan sisanya diekspor ke mancanegara. Menurutnya, penjualan APD dan masker berpotensi mendongkrak omset perusahaan yang terancam akibat menurunnya permintaan produk garmen. Namun, di sisi lain, perusahaan juga membuat pakaian untuk berbagai jenama mancanegara seperti Uniqlo, Prada, dan lainnya dan mengekspor produknya ke luar negeri. 

“Dengan demand APD kita juga, termasuk ekspor, kelihatannya tahun ini tidak akan ada penurunan proyeksi juga kalau bisa mengirimkannya tepat waktu,” katanya.

Produksi APD harus memenuhi standar

Sekretaris Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes Arianti Anaya mengatakan, penggunaan APD harus disesuaikan dengan resiko penularan pandemi Covid-19. Menurutnya, jatuhnya korban Covid-19 dari tenaga medis salah satunya akibat APD yang tak memenuhi standar.

Pihaknya telah menerbitkan dua pedoman sebagai acuan standar bagi penanganan dan manajemen Covid-19 yaitu standar APD dalam manajemen konflik Covid-19 dan petunjuk teknis APD untuk menghadapi wabah Covid-19.

"Diharapkan standar pedoman ini bisa digunakan oleh tenaga kesehatan dalam memilih APD yang dibutuhkan, dan juga kami mengharapkan industri bisa menggunakan pedoman ini sebagai acuan untuk membuat APD," katanya di Gedung Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jumat (17/4).

Arianti menjelaskan, terdapat tiga tingkat perlindungan APD bagi petugas kesehatan. Tingkat 1 yakni menggunakan masker bedah, baju kerja, dan sarung tangan karet sekali pakai. Tingkat 2, ditambah pelindung mata dan penutup kepala. Tingkat 3, baju pelindung coverall (menutupi seluruh tubuh), masker N95 atau ekuivalen, kacamata pelindung, pelindung kepala, sepatu boot, dan sarung tangan bedah karet sekali pakai. Adapun masyarakat umum cukup menggunakan masker kain atau tiga lapis masker bedah. Itu pun jika masyarakat memiliki gejala Covid-19.

"Jika tenaga kesehatan bekerja di area dengan infeksi yang sangat tinggi maka diharuskan menggunakan coverall yang mampu menahan cairan, darah, droplet, dan aerosol," katanya.

Material yang biasa digunakan untuk pembuatan baju pelindung coverall seperti hazmat suit juga harus memenuhi standar. Misalnya, bahannya yang non-woven (bukan tenunan) atau serat sintetis dengan pori-pori yang sangat kecil, yakni 0,2 sampai 0,54 mikron.

Karena itu, produsen pun harus melalui proses izin edar untuk memasarkan APD. Agar bisa lolos izin, produsen harus melakukan uji laboratorium terhadap material yang digunakan. Bila APD dinyatakan belum sesuai dengan standar, maka masih bisa digunakan di area-area dengan tingkat penularan Covid-19  yang rendah.
 
"Contohnya kita membutuhkan APD untuk tenaga kefarmasian, tenaga gizi, pengendara ambulance. Ini bisa digunakan APD non medis, dan untuk APD ini tidak memerlukan izin edar," tambahnya.

Kemenkes telah memperkirakan bahwa Indonesia membutuhkan sekitar delapan juta APD untuk penanganan kasus Covid-19 hingga Juni 2020 dengan jumlah kasus lebih dari 20.000. "Kementerian Kesehatan melakukan relaksasi memberikan kemudahan perizinan alat kesehatan yang dibutuhkan dalam penanganan Covid-19, termasuk APD. Untuk APD-APD yang sudah memenuhi syarat untuk bisa mendapatkan izin edar," jelasnya.

Besarnya kebutuhan APD ini akhirnya membuat Kementerian Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 34/PMK.04/2020. Aturan ini memberi keringanan berupa pembebasan bea masuk bagi impor 73 jenis barang yang didalamnya mencakup berbagai jenis APD seperti masker, baju pelindung, sarung tangan, dan lainnya.

“Ada kegiatan impor barang untuk penanganan Covid-19 ini yang sebelumnya belum terfasilitasi, seperti impor barang oleh swasta yang dipergunakan sendiri atau impor barang melalui perorangan (barang kiriman) maupun barang bawaan penumpang,” ungkap Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Heru Pambudi dalam keterangan tertulis, Minggu (19/4). 

Bahkan, barang dengan nilai FOB (Freignt on Board) di bawah US$500 tak perlu mengajukan permohonan dan cukup diselesaikan dengan Consignment Note (CN) untuk barang kiriman atau Customs Declaration untuk barang bawaan penumpang dari luar negeri.

Momentum kebangkitan industri tekstil?

Anne Patricia Sutanto yang juga Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengatakan, produksi APD dan masker yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan TPT dapat menjadi strategi untuk bertahan hidup di tengah pandemi Covid-19. “Tergantung owner dan manajemennya juga. Kalau manajamen dan ownernya gigih mempertahankan eksitstensinya dan prosedur dinkes (Dinas Kesehatan) dipatuhi, itu bisa survive,” ujarnya. 

Menanggapi pembebasan bea impor APD, Anne berpendapat bahwa kualitasnya harus memenuhi standar lantaran kebutuhan dalam negeri yang cukup besar dan belum semua pelaku usaha pertekstilan mampu memproduksi APD sesuai standar.

“Apakah Indonesia bisa memproduksi APD? Sangat bisa, bahkan demand untuk ekspor juga besar. Sebenarnya aneh juga kalau Indonesia malah impor, sedangkan kita bisa ekspor aneh juga. Kualitasnya harus sama, ada harga, ada barang,” tegasnya.

Menurut hasil pemetaan Kementerian Perindustrian (Kemenperin), sektor TPT adalah salah satu yang terdampak berat (hard hit/suffer) lantaran menurunnya permintaan di masa pandemi. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, industri TPT sudah merumahkan sebanyak 1,5 juta karyawan hingga Selasa (21/4). Namun, masih ada beberapa yang bertahan karena mampu secara cepat mendiversifikasi produknya ke pembuatan APD.

“Memang menarik, ada perusahaan dalam sektor yang sama (TPT) dia tetap exist bahkan melakukan ekspor, tapi ada juga yang suffer (terpukul),” ujarnya dalam telekonferensi bersama wartawan, Selasa (21/4). 

Agus mengatakan, pihaknya tidak menggelontorkan insentif khusus kepada IKM untuk memproduksi APD, namun sebanyak Rp92 miliar dari Rp113,15 miliar atau 81% anggaran Kemenperin yang direalokasi akan disalurkan kepada IKM. “IKM yang mempunyai inisatif sendiri untuk memproduksi APD dan masker sudah sangat banyak,” tambahnya.

Kemenperin mencatat, sebanyak 36 perusahaan memproduksi APD dengan kapasitas produksi 18,75 juta buah dan 34 perusahaan masker yang memproduksi masker dengan kapasitas produksi 330 juta buah.
“Sebut saja ada lembaga yang perhitungannya sangat konservaif bahwa kebutuhan APD 16 juta buah per bulan. Artinya, harapan kami dengan pendataan ini bahwa pada bulan awal Mei depan ini kita sudah bisa memproduksi dan menyuplai secara full APD dalam negeri,” ungkapnya.

Bahkan, dengan perhitungan tersebut, Agus menyebut Indonesia berpeluang mengekspor APD ke luar negeri. Ada dua negara yang berpotensi mengimpor APD Indonesia yaitu Amerika Serikat dan Jepang. “Kalau kita jeli dan kaitkan dengan kemungkinan realokasi anggaran, ini momentum yang sangat baik bagi Indonesia,” katanya.

Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Muhammad Khayyam menambahkan, sebanyak 28 perusahaan tekstil besar terlibat dalam produksi APD dengan kapasitas produksi 1 juta buah/minggu untuk APD sekali pakai dan 0,8 juta buah yang dapat dicuci. 

Kemudian, produksi masker per minggunya sudah mencapai 50 juta buah/minggu yang terdiri dari 20 juta buah/per minggu masker medis dan sisanya masker non-medis atau kain. 
“Dari 36 perusahaan, 25 sudah memiliki izin edar (APD sekali pakai) karena mendapat sertifikasi Balai Besar Tekstil di Bandung (Jawa Barat). Ini sudah memenuhi kriteria standarnya WHO,” ungkapnya.

Namun, peluang produksi APD bagi industri tekstil dinilai belum mampu membangkitkan industri yang kerap disebut sunset industry ini. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal pesimistis fenomena alih produksi garmen ke APD dapat menjadi momentum kebangkitan industri tekstil. Menurutnya, strategi tersebut sekadar untuk memenuhi tingginya permintaan pasar.

“Penyesuaiannya itu saja yang masih dibutuhkan karena itu bukan produk sophisticated, jadi lebih gampang penyesuaiannya bagi industri APD,” ujarnya melalui sambungan telepon, Senin (20/4).

Faisal mengungkapkan, permasalahannya yang dialami industri pertekstilan bukan terletak pada kapasitas produksi, melainkan rendahnya permintaan maupun ketatnya persaingan antar pelaku usaha. Oleh karena itu, dia menyarankan pemerintah memperkuat koordinasi secara komprehensif untuk memastikan kebutuhan APD dipenuhi oleh perusahaan dalam negeri terlebih dahulu, termasuk perusahaan TPT. 

Terkait pemenuhan bahan baku, Faisal berharap relaksasi pajak penghasilan (PPh) 22 dan 25 diterapkan secara konsisten dan cepat untuk membantu pelaku usaha pertekstilan dalam mendapatkan bahan baku.
“Berat bagi industri TPT untuk tumbuh karena permintaannya anjlok. Yang bisa bertahan paling industri yang terkait basic needs seperti industri makanan-minuman,” tambahnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho berpendapat, produksi APD dan masker yang dilakukan oleh sejumlah pelaku usaha TPT masih belum mampu membangkitkan sektor tersebut.

“Di sektor hilir pakaian jadi saat ini menghadapi tekanan permintaan turun ditandai oleh ritel yang menjual produk tekstil tutup atau tidak dibolehkan beroperasi,” katanya kepada Alinea.id, Selasa (21/4).
Dia memprediksi, pertumbuhan sektor TPT tidak setinggi tahun lalu. Menurutnya, pertumbuhan stagnan saja sudah sangat bagus bagi industri pertekstilan di tahun ini.

Soal kemungkinan ekspor APD, Andry menyangsikan kemampuan Indonesia sebagaimana yang dikatakan oleh Menteri Agus. Pasalnya, stok APD produksi lokal hingga saat ini belum mencapai surplus. Berdasarkan data Ikatan Dokter Indonesia (IDI), jumlah dokter dan perawat sebesar 1,385 juta orang. Dengan asumsi hanya setengahnya yang bertugas dan belum menghitung pergantian kerja tiga kali sehari, kebutuhan APD nasional per bulan bisa mencapai 20,775 juta buah. Angka ini melebihi kapasitas produksi nasional sebesar 18,75 juta buah sebagaimana catatan Kemenperin.

“Saya rasa pemerintah jangan cari untung di tengah musibah seperti ini. Kita perlu atur strategi agar ke depan kita bisa menghadapi puncak pandemi ini dengan perlengkapan yang mumpuni,” pungkasnya.
Industri tekstil meraih peluang dengan adanya kebutuhan Alat Pelindung Diri (APD) yang meningkat. Alinea.id/OkyDiaz.

img
Syah Deva Ammurabi
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan