Jumlah penduduk miskin mencatatkan penurunan menjadi 24,06 juta orang pada September 2024 dari 25,22 juta orang pada Maret 2024. Tetapi, ketimpangan ekonomi justru meningkat, menunjukkan laju konsumsi tak merata.
Data terbaru yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase kemiskinan pada September 2024 mencapai 8,57% dari total populasi atau turun dari posisi Maret 2024 yang sebesar 9,03% dari total populasi. Persentase kemiskinan pada September 2024 tersebut merupakan yang terendah sepanjang sejarah.
"Kemiskinan September 2024 menjadi capaian terendah dalam sejarah Indonesia sejak pertama kali angka kemiskinan diumumkan pada 1960,” kata Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, Rabu (15/1).
Garis kemiskinan pada September 2024 tercatat sebesar Rp595.242 per kapita per bulan, naik 2,21% dari Rp583.932 per kapita per bulan pada Maret 2024.
Namun, disparitas kemiskinan antara wilayah perkotaan dan pedesaan masih cukup lebar. Pada September 2024, penduduk miskin di pedesaan mencapai 11,34%, jauh lebih tinggi dibandingkan perkotaan yang hanya sebesar 6,66%.
Ketimpangan melebar
Meski penduduk miskin secara nasional menurun, namun jurang antara yang kaya dan miskin semakin melebar. Rasio gini, indikator ketimpangan pengeluaran, berada di level 0,381, naik dibandingkan Maret 2024 yang tercatat sebesar 0,379.
“Nilai gini ratio berada di antara 0 dan 1. Semakin tinggi nilai gini ratio, semakin tinggi ketimpangan di suatu wilayah. Pada September 2024, angka ini meningkat menjadi 0,381,” ujar Amalia.
Terdapat tujuh provinsi dengan rasio gini di atas rata-rata nasional. Tingkat ketimpangan tertinggi tercatat di DKI Jakarta dengan angka 0,431, sedangkan yang terendah terjadi di Kepulauan Bangka Belitung sebesar 0,235.
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan peningkatan rasio gini mencerminkan kegagalan pembangunan dalam mengurangi jurang antara kelompok masyarakat termiskin dan terkaya. Pemerintah belum berhasil menarik kelompok termiskin ke atas garis kemiskinan secara berkelanjutan.
Dia bilang, turunnya angka kemiskinan disebabkan oleh kenaikan tipis garis kemiskinan akibat deflasi pada Mei 2024 hingga September 2024 serta pencairan bantuan sosial alias bansos seperti Program Keluarga Harapan (PKH) pada Juni 2024. Walakin, masih terdapat permasalahan dalam penyaluran program unggulan pemerintah tersebut, sehingga tak semua masyarakat miskin mendapatkan bantuan. Dus, ketimpangan semakin melebar.
"Kelompok miskin tetap stagnan atau hanya sedikit terbantu oleh bansos. Dengan adanya pencairan bansos, secara statistik kemiskinan turun, tetapi dampak jangka panjangnya terbatas," ujar Huda kepata Alinea.id, baru-baru ini.
Di sisi lain, redistribusi kekayaan melalui pajak juga belum efektif menekan akumulasi kekayaan kelompok kaya. Pendapatan kelompok kaya disebut meningkat signifikan tanpa dikenakan pajak yang proporsional.
"Kelompok kaya diuntungkan karena redistribusi melalui pajak kurang optimal. Ketimpangan ini menunjukkan tantangan besar dalam pembangunan ekonomi," katanya.
Dengan dinamika ini, tantangan pemerintah di tahun 2025 adalah memastikan pertumbuhan ekonomi tidak hanya menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga mampu menekan ketimpangan sosial secara signifikan. “Rasio gini harus menjadi perhatian utama karena pembangunan yang berkelanjutan tidak hanya tentang pertumbuhan, tetapi juga pemerataan,” tutur Nailul.