close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Prabowo Subianto (kiri) dan Joko Widodo (kanan). Foto dokumentasi Setneg.
icon caption
Prabowo Subianto (kiri) dan Joko Widodo (kanan). Foto dokumentasi Setneg.
Bisnis
Jumat, 18 Oktober 2024 19:37

Kabinet gemuk Prabowo: Penghamburan uang negara di tengah beratnya ekonomi

Kabinet gemuk Prabowo Subianto disebut merupakan bentuk penghamburan uang negara.
swipe

Kabinet Prabowo Subianto dipastikan gemuk, terlihat seusai presiden terpilih itu memanggil calon menteri, wakil menteri, dan kepala badan ke kediamannya di Kertanegara awal pekan ini, serta pembekalan yang digelar di Hambalang, Bogor.

Pembantu Prabowo setidaknya berisi 108 orang, terdiri dari 49 nama yang dipanggil ke Kertanegara pada Senin (14/10), dan 59 nama yang dipanggil Prabowo ke lokasi yang sama pada Selasa (15/10).

Penghamburan anggaran 

Para ekonom mengkritik langkah Prabowo tersebut. Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan kabinet gemuk tersebut merupakan bentuk penghamburan uang negara di tengah kondisi ekonomi yang berat pada periode 2024-2029.

"Penambahan menteri dalam kabinet Prabowo-Gibran ini memicu pertanyaan serius: apakah penambahan ini benar-benar diperlukan untuk mencapai target-target pembangunan negara?" ujarnya, Jumat (18/10). 

Dia bilang, setiap pemerintahan memang memiliki prerogatif untuk menentukan struktur kabinet yang dianggap paling tepat guna mencapai tujuannya. Namun, harus mempertimbangkan faktor efisiensi dan efektivitas. 

Tak hanya memunculkan beban anggaran yang lebih besar, kabinet gemuk juga menimbulkan pertanyaan terkait kebutuhan dan urgensi. Penambahan tersebut dikhawatirkan lebih didorong oleh kepentingan politik ketimbang kepentingan rakyat. 

"Penambahan posisi wakil menteri, misalnya, sering kali dikritik sebagai upaya untuk mengakomodasi kepentingan politik partai-partai pendukung pemerintah, ketimbang kebutuhan nyata untuk mempercepat implementasi kebijakan, " ujarnya. 

Selain itu, penambahan jumlah menteri dan wakil menteri dapat menambah tumpang tindih dalam pengambilan keputusan dan birokrasi. 

Alih-alih mempercepat proses pemerintahan, struktur kabinet yang terlalu gemuk justru bisa memperlambat proses pengambilan kebijakan, karena semakin banyak aktor yang harus dilibatkan dalam diskusi dan persetujuan.

Menurut analisis Center of Economic and Law Studies (Celios), penambahan jumlah menteri dan wakil menteri ini  akan menguras anggaran negara hingga Rp1,95 triliun per tahun. Jumlah ini terdiri dari gaji dan tunjangan para menteri sebesar Rp150 juta per bulan, tunjangan wakil menteri Rp100 juta per bulan, serta anggaran operasional yang mencapai Rp500 juta per bulan untuk setiap menteri dan wakil menteri.

"Jika dibandingkan dengan kabinet era Jokowi yang hanya membutuhkan sekitar Rp387,6 miliar per tahun untuk gaji dan tunjangan menteri serta wakil menteri, peningkatan sebesar Rp1,95 triliun ini jelas merupakan beban besar bagi APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) di tengah ekonomi yang sulit, " katanya. 

Padahal, ekonomi nasional masih harus menghadapi beban utang yang terus meningkat, defisit anggaran, serta kebutuhan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Dia menyebut, dengan anggaran sebesar hampir Rp2 triliun itu, pemerintah dapat membiayai sektor-sektor yang lebih produktif, seperti pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal atau program bantuan sosial yang lebih tepat dan efektif. 

Lebih parah dari orde baru

Ekonom Senior Kwik Kian Gie  meragukan kemampuan APBN dalam mengakomodasi program maupun kebutuhan dari kementerian yang gemuk tersebut. Porsi anggaran rutin saat ini sudah cukup tinggi karena ruang gerak fiskal untuk membiayai biaya operasional pemerintah begitu sempit. Hal itu disampaikan Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan saat berbincang dengan Kwik.

Menurut Kwik, yang dituturkan oleh Anthony, ruang gerak APBN sangat sempit karena komposisi belanja rutin sangat besar. Sebut saja untuk belanja pegawai, belanja barang termasuk biaya pemeliharaan, pembayaran bunga utang, subsidi, hingga bantuan sosial.  

“Beberapa kementerian ini kan dipecah, nah kita lihat apakah evaluasinya berdasarkan profesional dalam arti memang kebutuhan untuk negara, untuk bangsa agar lebih efektif dan sebagainya atau hanya untuk membagi-bagi kekuasaan? Nah ini yang kami khawatir, jadi supaya anggota kabinetnya banyak maka jumlah kementeriannya juga banyak, misalkan ada perekonomian kreatif, ekonomi kreatif. Dulu kan dengan pariwisata, nah sekarang kan dipecah gitu kan. Apakah memang untuk membagi-bagi atau memang kita mau mengalahkan pariwisata gitu kan,” ungkapnya kepada Alinea.id, Rabu (16/10).

Melanjutkan obrolannya, Kwik melihat kondisi ini mirip waktu orde baru. Selama orde baru seluruh pendapatan negara habis untuk anggaran rutin. Pembangunan dibiayai sepenuhnya oleh utang dari IGGI/CGI yang disebut Pemasukan Pembangunan. IGGI/CGI merupakan organisasi internasional yang dibentuk untuk memberikan pinjaman bagi Indonesia.

“Kondisi ini mirip waktu orde baru. Selama orde baru seluruh pendapatan negara habis untuk anggaran rutin,” kata Kwik.

Sementara Anthony menghitung, dengan kondisi sosial masyarakat yang tidak banyak berubah dari yang terjadi selama 10 tahun terakhir ini, maka kebutuhan belanja subsidi dan belanja bantuan sosial di era Prabowo juga masih sama saja. 

“Bahkan kondisi sosial selama lima tahun belakangan ini malah memburuk, sehingga belanja subsidi dan bantuan sosial seharusnya naik. Tetapi di era pemerintahan Jokowi malah dipangkas,” katanya.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menganggap semakin gemuk kabinet, maka makin besar belanja rutin yang harus dikeluarkan untuk bayar pegawai maupun lainnya. Jumlah menteri dan pemborosan anggaran ini dinilai jauh lebih banyak dibandingkan orde baru.

“Kalau orde baru dulu malah tidak terlalu gemuk. Jumlah kabinet ramping dan hanya menteri, tidak ada wakil menteri,” ucapnya kepada Alinea.id, Kamis (17/10).

Untuk membiayai belanja negara, menurutnya, pemerintah perlu menggenjot sumber penerimaan dari sektor pajak dan bukan pajak. 

“Seharusnya pemerintah menaikkan PPh (pajak penghasilan) Badan, bukan PPN (pajak pertambahan nilai) kalau mau penerimaan pajak meningkat drastis,” ujarnya.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan