Kado akhir tahun: Babak belur ‘dihajar’ kebutuhan dapur
Telur balado menjadi meme yang menyebar di media sosial beberapa waktu lalu. Lauk telur dengan bumbu cabai halus itu dinilai menjadi hidangan mewah untuk menyambut pergantian tahun jelang 2022. Bagaimana tidak, bahan baku masakan khas Minangkabau itu yakni telur ayam, cabai rawit, dan minyak goreng harganya meroket. Belum lagi bahan bakar berupa gas LPG (Liquified Petroleum Gas) nonsubsidi juga mengalami kenaikan harga cukup signifikan.
“Iya banget nih, semua naik bikin menjerit. Sementara gaji enggak ada kenaikan,” tutur Icha (37), seorang ibu rumah tangga beranak dua saat berbincang dengan Alinea.id, Kamis (30/12).
Kondisi ini, kata dia, bahkan lebih parah bagi sebagian orang yang harus mengalami penurunan pendapatan di masa pandemi ini. Baik itu karena pemotongan gaji demi kelangsungan operasional perusahaan atau bahkan di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) imbas kondisi pandemi.
Hal senada juga diungkapkan Dian (36). Ia memilih tidak mengkonsumsi makanan yang terdiri dari bahan pangan yang harganya masih melambung. “Yah sementara enggak makan telur dulu deh, rekor harganya naik sampai Rp34.000 sekilo,” keluhnya.
Kenaikan harga beberapa bahan pangan sejatinya sudah terjadi sejak bulan November 2021. Rekor terbesar diduduki komoditas minyak goreng yang sudah mengalami kenaikan sejak medio tahun 2021. Berdasarkan laporan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS), pada awal April 2021, harga minyak goreng rata-rata masih di kisaran Rp14.750 per kilogram.
Kenaikan harga minyak goreng terlebih dahulu dialami pada minyak goreng kemasan sekitar bulan Mei yakni di kisaran Rp15.000. Menutup tahun 2021 yakni pada 31 Desember harga minyak goreng rata-rata melonjak jadi Rp19.900 per kilogram. Tercatat, harga minyak goreng curah mencapai Rp18.450 dan harga minyak goreng kemasan bermerek 1 Rp20.600 dan minyak goreng kemasan bermerek 2 mencapai Rp20.100 per kilogram. Kenaikan harga pun berlanjut hingga 3 Januari 2022 di mana harga minyak goreng rata-rata mencapai Rp20.000 per kilogram.
Kondisi serupa juga terjadi pada komoditas telur ayam. Laporan PIHPS mencatat harga telur ayam di minggu pertama Desember masih sekitar Rp24.850. Namun jelang akhir tahun, harga telur ayam melejit jadi Rp30.300 di hari terakhir tahun 2021. Bahkan, harga telur di beberapa daerah tercatat mencapai Rp34.000 sampai Rp35.000 per kilogram.
Demikian juga dengan harga cabai rawit merah yang naik drastis dari kisaran Rp48.000 pada akhir November menjadi Rp98.700 sehari sebelum hari raya Natal 2021. Pun dengan harga beras yang naik meski tipis di kisaran Rp11.000 untuk beras kualitas medium pada Desember 2021.
Di tengah lonjakan harga bahan pangan, masyarakat khususnya para ibu rumah tangga juga harus menghadapi realita kenaikan harga gas elpiji nonsubsidi (5 kg dan 12 kg). Pertamina menetapkan kenaikan LPG di angka Rp1.600-Rp2.600 per kilogram. Jika dikalkulasi, selisihnya mencapai lebih dari Rp20.000 untuk refill tabung gas 12 kg, atau dari semula berkisar Rp150.000 menjadi Rp170.000 per tabung.
Kenaikan harga kebutuhan-kebutuhan dapur ini seolah menjadi kado yang menghiasi akhir tahun 2021. Alhasil, inflasi yang semula cukup landai pada 2021 pun merangkak naik di penghujung tahun. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan laju inflasi sepanjang bulan Desember lalu mencapai 0,57% (month to month/mom). Naik cukup tinggi dibandingkan inflasi bulan November yang sebesar 0,17%.
Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan, dengan perkembangan tersebut, inflasi di akhir tahun 2021 tercatat 1,87% (year on year/yoy). Capaian inflasi 2021 masih berada di bawah kisaran sasaran Bank Indonesia (BI) yang sebesar 3% plus minus 1%. Namun, inflasi sepanjang 2021 masih lebih tinggi dibandingkan tahun 2020 yang sebesar 1,68% yoy.
“Andil terbesar inflasi berasal dari kelompok makanan, minuman, dan tembakau, serta kelompok transportasi,” kata Margo dalam jumpa pers virtual, Senin (3/1).
Ia memaparkan kelompok makanan, minuman, dan tembakau mencatat inflasi sebesar 1,61% (mom) dan secara tahunan 3,09% (yoy). Adapun andil kelompok ini pada inflasi Desember 2021 sebesar 0,41%. Inflasi kelompok makanan, minuman, dan tembakau didorong oleh peningkatan beberapa komoditas seperti cabai rawit dengan andil 0,11%, minyak goreng andil 0,08%, dan telur ayam ras dengan andil 0,05%.
Sedangkan kelompok transportasi mencatat inflasi 0,62% (mom) dan secara tahunan 1,58% (yoy). Kelompok ini menyumbang inflasi sebesar 0,07%. Adapun komoditas yang paling dominan menyumbang inflasi dalam kelompok ini adalah komoditas tarif angkutan udara yang memberikan andil sebesar 0,06%.
Ekonomi mulai pulih, daya beli masyarakat belum
Menanggapi lonjakan inflasi bulan Desember, Direktur Eksekutif Institute of Development Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai lonjakan harga beberapa komoditas pangan menjadi penanda mulai pulihnya perekonomian tanah air.
“Ekonomi dalam negeri mulai bangkit walau relatif terbatas, berakibat pada ekspektasi terjadi peningkatan permintaan sementara dari sisi suplai mengasumsikan pada situasi pandemi terjadi penurunan,” katanya kepada Alinea.id, Senin (3/1).
Kondisi pemulihan, lanjutnya, mulai terlihat sejak varian Delta terlihat menjinak pada Agustus 2021. Sejak itu beberapa komoditas pangan mulai mengalami kenaikan terutama pada kuartal terakhir.
Namun, dia menilai laju inflasi 1,87% sepanjang tahun 2021 masih relatif rendah dibanding kondisi normal sebelum pandemi menyerang. “Normalnya kan kita di (inflasi) angka 2,5 sampai 3%, meskipun pada posisi pemulihan tapi belum normal,” tambahnya.
Komponen inflasi sendiri terdiri dari inflasi inti (core inflation) dan inflasi non-inti yakni administered price (harga diatur pemerintah) dan volatile food. Menurut Tauhid, ancaman inflasi masih akan berlanjut sampai tahun 2022. Utamanya dari sisi administered price sehubungan dengan kebijakan pemerintah yang berencana menghapus premium dan pertalite, kenaikan tarif dasar listrik, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai dari 10% menjadi 11% hingga pengetatan subsidi gas elpiji 3 kg.
“Kalau saya lihat 2022 akan relatif tinggi pertama inflasi yang reguler seperti bahan pangan itu kan normalnya month to month sekitar 2%, tetapi begitu ada yang sifatnya administered price itu tahun 2022 berbarengan, banyak,” ungkapnya.
Karenanya, ia meminta agar pemerintah menunda beberapa kebijakan terkait administered price agar tidak membebani masyarakat secara bersamaan. Apalagi, pandemi Covid-19 telah memukul daya beli masyarakat sejak kuartal-II 2020. Baru pada Agustus 2021, konsumsi masyarakat tumbuh positif 5,93% pada kuartal-II 2021.
“Kalau semua (kebijakan kenaikan) bareng buat apa pertumbuhan ekonomi mendekati 5% kalau inflasinya di atas 3,5%,” ujarnya.
Apalagi, yang mengalami dampak inflasi tinggi adalah masyarakat miskin karena batas kemiskinan mengalami kenaikan. “Kebijakan Pertalite enggak boleh 2022 dimulai bertahap di 2023 atau 2024 ini kan kebijakan-kebijakan yang sifatnya populis tapi justru membuat pendapatan masyarakat secara riil kurang, apalagi kenaikan upah rata-rata 1% enggak ada daya dorong,” sebutnya.
Hal senada juga diungkapkan Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira. Kepada Alinea.id, ia mengungkapkan ancaman tingginya laju inflasi akan berlanjut sampai jelang Ramadan tahun 2022. Bahkan, ia memprediksi laju inflasi tahun 2022 bisa menembus angka 5%.
Pasalnya, pada Januari ini laju inflasi diperkirakan masih akan tinggi karena adanya kebijakan kenaikan harga elpiji nonsubsidi dan beberapa komoditas pangan. “Bulan Desember kenaikannya enggak wajar karena masih ada pembatasan sosial tapi inflasi 0,57% nah ini harus jadi warning karena inflasi sudah mulai merangkak naik dan Januari bisa meningkat padahal Januari adalah low season,” katanya, Senin (3/1).
Ditambah lagi adanya kebijakan kenaikan PPN mulai 2022, tarif dasar listrik, dan kenaikan tarif cukai rokok maka akan menambah bobot inflasi selain dari bahan pangan. Terutama bahan pangan yang bergantung pada kondisi cuaca serta bahan pangan impor. Keduanya rentan melambungkan harga pangan kian tinggi.
Baik Tauhid maupun Bhima meminta pemerintah lebih memperhatikan komponen inflasi dari harga bergejolak. Misalnya dengan menjaga suplai jangan sampai habis sehingga membuat harga melambung. Pun dengan mengganti bahan pangan impor dengan yang lokal dan menjaga nilai tukar Rupiah untuk mengurangi dampak imported inflation atau inflasi dari bahan pangan impor.
“Sebaiknya pemerintah punya instrumen cukup kuat untuk mengendalikan yang volatile dari sisi suplai utamanya cabai, minyak goreng karena mensuplai buat industri, telur juga sama DOC (Day Old Chick) untuk indukan telur kurang,” sebut Tauhid.
Sementara Bhima menekankan pentingnya penerapan DMO (Domestic Market Obligation) untuk komoditas minyak goreng. Menurutnya, hal ini sangat signifikan memenuhi suplai minyak goreng untuk dalam negeri yang relatif defisit selama ini.
Sementara itu, pakar kebijakan publik Achmad Nur Hidayat menilai pemerintah telah memberikan kado tahun baru yang pahit dan memberatkan masyarakat. “Ini adalah kado buruk tahun baru yang berlaku untuk semua. Administered price yang diatur pemerintah direncanakan dipastikan naik,” ungkapnya, Jumat (31/12).
Kenaikannya bersamaan dengan bahan pokok seperti minyak goreng curah dan kemasan, telur ayam, ikan teri, cabai rawit, kacang kedelai impor, tepung terigu dan beras premium. Menurutnya, kenaikan harga ini tidak dapat terbendung meski pemerintah melaksanakan tol laut.
“Pemerintah mengklaim sudah berhasil menurunkan disparitas harga di sejumlah wilayah timur Indonesia. Penurunannya drastis sekitar turun 15-20 %. Namun tahun 2022, tol laut tidak bermanfaat untuk menurunkan harga, baik di timur maupun barat Indonesia,” sebutnya.
Ia juga menilai kebijakan pemerintah untuk menghapus premium dan pertalite lebih berat pada target ramah lingkungan ketimbang melindungi masyarakat. Meskipun, kabar terbaru menyebutkan Presiden Joko Widodo mengubah aturan terkait pendistribusian dan juga harga jual eceran Bahan Bakar Minyak (BBM). Artinya, ada kemungkinan kebijakan penghapusan BBM oktan rendah ini akan ditunda.
“Perbedaan oktan selisih 1 angka tidak banyak memperbaiki kondisi lingkungan yang ada motif bisnisnya tinggi sekali,” ujarnya.
Begitu juga dengan kebijakan kenaikan harga elpiji nonsubsidi 17%. Achmad menilai alih-alih menarik subsidi gas dan energi sebaiknya pemerintah melakukan penghematan fasilitas kepada pejabat publik dan mencari sumber penerimaan negara selain pangan, sembako dan energi terutama sektor digital.
Penghimpunan data dipertanyakan
Di sisi lain, Achmad justru mengkritisi mekanisme pengumpulan data laju inflasi yang dihimpun BPS. Menurutnya, sampel data inflasi hanya pada pasar tertentu dan tidak semua kota besar. Alhasil, kenaikan harga-harga bahan pangan kurang tercermin dari laju inflasi
“Seharusnya inflasi atau Indeks Harga Konsumen (IHK), dihitung dengan sampel yang meliputi seluruh kota 541 kota/kab sehingga untuk menghitung tingkat inflasi dengan rerata total harga dari penjualan barang yang dibeli oleh konsumen di seluruh kota/kabupaten, bahkan di level desa RT/RW,” paparnya kepada Alinea.id.
Namun, menurut Ketua Forum Masyarakat Statistik Bustanul Arifin sampel pasar untuk observasi kenaikan harga masih relevan hingga saat ini. Namun, ia mengingatkan agar ada konsistensi data yang dipilih untuk melakukan analisis lebih lengkap.
“Jika sering mengambil data harga dari PIHPS Bank Indonesia, perbandingan pergerakannya perlu dari sumber data yang sama. Demikian juga jika menggunakan sumber data BPS, gunakan data itu seterusnya untuk analisis,” ujarnya kepada Alinea.id, Sabtu (1/1).