Kala iming-iming insentif IKN belum disambut positif
‘Ada gula ada semut’. Ibarat gula, insentif untuk Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara diharapkan menjadi pemanis yang akan dikerubungi banyak pihak. Beragam insentif ditebar oleh pemerintah untuk para Aparatur Sipil Negara (ASN) agar mau pindah dan tinggal di IKN. Pun demikian dengan beragam diskon dan fasilitas pajak untuk para investor yang menanamkan modalnya di ibu kota baru yang terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur ini.
Semula, pemerintah menargetkan ada 500 ribu penghuni awal ibu kota baru. Namun yang terbaru, pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) menyiapkan ASN, TNI, dan Polri yang dipindahkan di tahap awal sebanyak 16.990 orang pada 2024. Pemerintah juga menyediakan beragam fasilitas untuk kenyamanan ASN yang pindah ke IKN Nusantara, seperti sarana olah raga, lahan hijau, apartemen, danau, dan lain sebagainya.
“Total 11.274 ASN dari 35 kementerian dan lembaga yang akan pindah,” kata Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Abdullah Azwar dalam acara Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di Balikpapan, Kalimantan Timur, Jumat (24/02) lalu.
Lantas pemanis apa sih yang menjadi iming-iming pemerintah untuk membujuk ASN agar mau pindah?
Kabarnya, ASN akan menerima sejumlah insentif yang cukup ‘wow’. Mulai dari tunjangan kemahalan minimal sebesar Rp50 juta per bulan, hunian seluas 92 meter persegi, hingga tunjangan packing untuk kepindahan ke IKN dan tiket pesawat one way menuju IKN. Selain itu pemerintah juga akan menggelontorkan tunjangan keluarga untuk 1 istri, 2 anak, dan 1 ART (asisten rumah tangga), penyewaan mobil selama satu bulan, tunjangan kebutuhan yang disesuaikan dengan kebutuhan ASN, hingga uang harian.
“Insentifnya kan banyak banget, kayaknya ini yang bikin orang jadi ‘ya udah deh enggak apa-apa pindah ke IKN’,” kata seorang ibu muda yang menjadi istri seorang ASN, Nuri saat berbincang dengan Alinea.id, Kamis (6/4).
Namun, Nuri sendiri mengaku masih galau karena realisasi rencana pemerintah memboyong ASN ke ibu kota baru hanya tinggal sebentar lagi yakni pada tahun depan. Nuri menceritakan instansi tempat suaminya bekerja masuk dalam klaster pertama yang pindah karena harus menyiapkan infrastruktur dasar di IKN.
Ibu dua anak di bawah usia lima tahun ini kian resah karena nama suaminya masuk dalam daftar personel yang akan dipindahkan. “Kemarin ada tes kompetensi gitu, sepertinya yang ikut tes kompetensi kisaran umurnya relatif muda, nah nama yang masuk list yang lulus tes,” ungkapnya.
Ia mengaku suaminya tahun ini memasuki usia 35 tahun dan masih masuk perhitungan personel yang akan dipindahkan. Meski sang suami cenderung pasrah, namun ia tetap resah. Pasalnya, saat ini ia mengaku sudah sangat nyaman tinggal di sebuah perumahan di Tangerang Selatan. Nuri pun galau kalau harus pindah ke kota yang dahulunya hutan dan jauh dari keramaian.
“Belum ada jaminan disana akan lebih nyaman dari di sini kan. Terus karena di sana kota baru, apa udah lengkap sarana untuk pemenuhan kebutuhan hidup, termasuk kayak sekolah anak gitu,” bebernya.
Namun, Nuri masih memercik harap setelah melihat presentasi tentang tahapan pembangunan IKN yang menjanjikan. Belum lagi, ASN yang akan dipindahkan terutama adalah mereka yang belum berkeluarga.
Lalu, dengan beragam insentif tersebut, apakah ‘gula-gula’ ini mampu menggerakkan ASN untuk mau pindah ke kota baru? Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira mengatakan tantangan untuk memilih ASN yang harus pindah ke IKN seharusnya jangan dilihat dari usia maupun status pernikahan semata. Menurutnya, yang lebih penting adalah melihat apakah ASN bersangkutan sudah mempunyai aset properti di Jakarta dan sekitarnya.
Pasalnya, jika ASN sudah memiliki rumah maka akan menjadi beban tersendiri, terlebih bila rumah tersebut masih dalam proses KPR (Kredit Kepemilikan Rumah). Jika terpaksa harus menjual dalam waktu cepat, bukan tidak mungkin harga aset tersebut akan jatuh.
“Jomblo pun kalau sudah punya rumah di Depok dan harus melunasi (KPR) 30 tahun juga akan mikir kalau pindah ke IKN,” ujarnya kepada Alinea.id, Rabu (5/4).
Menurutnya, segala insentif yang ditawarkan pemerintah untuk para ASN belum menjamin proses kepindahan ASN berjalan mulus. Pasalnya masih banyak risiko yang bisa terjadi dengan adanya kepindahan puluhan ribu personel kementerian/lembaga (K/L).
“Dalam setahun jangan sampai pemindahan ASN malah mengganggu pelayanan birokrasi dan mengganggu masyarakat, bagaimana nanti pelayanan publiknya, susunan orang di setiap bidang akan berubah, koordinasinya gimana,” cetusnya.
Hal senada juga diungkapkan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad. Menurutnya salah satu pekerjaan terberat transisi ibu kota adalah memfasilitasi agar ASN cepat pindah ke sana. “Ini kan dilakukan bertahap, kalau swasta melihat di sana masih sedikit penghuni artinya masih sedikit pasarnya,” ungkapnya kepada Alinea.id, Jumat (1/4).
Dia menilai dari target kepindahan ASN ke IKN dari semula 500 ribu menjadi hanya puluhan ribu saja juga mempengarunhi investor. Pasalnya, investor melihat tingkat kepadatan penduduk di sana masih minim.
“Pada akhirnya yang siap pindah adalah kelompok muda yang belum punya aset kendaraan, rumah dan sebagainya,” ungkapnya.
Aset tersebut menjadi tantangan karena harus dibiayai oleh para ASN. Sementara jika pindah ke ibu kota baru cicilan aset tersebut tetap harus dilunasi. Belum lagi, tambahnya, indeks kemahalan konstruksi dan indeks biaya hidup di sana lebih tinggi.
“Di Jabodetabek pecel lele Rp20.000, di sana bisa Rp30.000 sampai Rp35.000, lumayan mahal di sana. Jangan sampai gaji ASN enggak cukup apalagi di Kaltim banyak orang kaya dengan gaya hidup tinggi,” ungkapnya.
Pertimbangan investor
Mengapa kepindahan ASN menjadi begitu penting? Hal ini tak lain akan mempengaruhi keputusan investasi perusahaan-perusahaan baik asing maupun dari dalam negeri di ibu kota baru. Ia menilai tingkat kepadatan penduduk akan menjadi pertimbangan investor. Apakah tingkat kepadatan penduduk masih jarang atau sudah rapat. Hal ini akan menjadi perhitungan investor misalnya dalam membangun kapasitas rumah sakit yang sesuai. Pun dengan pembangunan sekolah terutama untuk tingkat dasar.
“Kalau sekolah SMA ada di ibu kota provinsi, akhirnya nanti bisa banyak yang senang tinggal di Balikpapan atau Samarinda,” tambahnya.
Menurutnya, jika pemerintah tidak bisa memastikan jumlah ASN di IKN maka investor akan pikir ulang. "Misal fasilitas umum masih sepi, dan bangunan fisik apa yang sudah ada atau bangunan dasar-dasar aja,” bebernya.
Jika dalam waktu dua tahun setelah kepindahan belum ada kepastian jumlah penghuni, maka investor menilai hal ini sebagai faktor risiko yang bisa mendatangkan kerugian. Apalagi, sejauh ini pihak swasta masih melihat wacana pemindahan ibu kota belum sustain, termasuk dalam hal anggaran.
Untuk diketahui, anggaran pembangunan IKN berdasarkan hitungan Bappenas mencapai Rp466,9 triliun. Dana dari APBN sendiri hanya 20% atau Rp90 triliun.
“Anggaran ini sudah keluar 2024 Rp40-50 triliun. Sisanya itu terlalu besar kalau swasta menanggung dan enggak menguntungkan, karena pemerintah hanya menanggung pembangunan 20%,” kata Tauhid
Meski Badan Otorita sudah menyebutkan beberapa perusahaan yang tertarik berinvestasi namun menurutnya ini belum riil. “Investor masih wait and see,” tambahnya.
Terakhir, menurutnya, yang tak kalah penting, investor swasta melihat IKN sebagai pusat administrasi pemerintahan. Mengacu pada negara-negara lain, kota pemerintahan bakal cenderung sepi karena bukan pusat ekonomi. “Sulit industri masuk karena pelabuhan jauh di Balikpapan/Samarinda, padahal industri pasti dekatnya di pelabuhan,” kata Tauhid.
Imbasnya, hal ini membuat putaran ekonomi IKN relatif lebih kecil dan tidak bisa diandalkan dari ASN semata. Lalu, adakah pihak swasta yang bakal menjadi penghuni IKN juga? “Swasta harus hidup dengan aktivitas eko non-pemerintahan,” bebernya.
Sementara itu, Bhima Yudhistira menilai di Kalimantan Utara ada proyek besar kawasan industri hijau. Hal ini di mata investor lebih komersial ketimbang IKN. Menurutnya, investor tentu akan melakukan uji kelayakan seberapa banyak penduduk di IKN yang bisa mendatangkan keuntungan.
“Bagi investor ke IKN ini pertaruhan yang sangat besar dan butuh modal yang besar belum lagi untuk infrastruktur pendukung dasar harus disediakan pemerintah dulu dalam hal ini Badan Otorita IKN bersama pemda,” ungkapnya.
Sedangkan beragam insentif yang digelontorkan pemerintah seperti Pajak Penghasilan (PPh) Badan hingga nol persen, Hak Guna Usaha (HGU) hingga 190 tahun, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) hingga 80 tahun, serta fasilitas pekerja asing belum tentu menarik di mata investor.
“Karena ini bukan bisnis jadi enggak mengandalkan insentif,” cetusnya.
Apalagi di Perpres Nomor 63 Tahun 2022, disebutkan pula IKN menjadi financial center dengan berbagai fasilitas pajak. Hal ini menurut Bhima justru membuat investor bingung. Untuk itu, ibu kota baru harus clear sebagai pusat pemerintahan atau bisnis.
Terlebih di negara maju, perusahaan swasta tidak bisa masuk ke negara yang menerapkan diskon pajak secara jor-joran. “Ada global minimum tax minimal 15%, kita sampai 0%, enggak bisa karena di negara asal bisa bermasalah, dianggap rest to the bottom kejar-kejaran menarik investasi, enggak fair,” papar Bhima.
Untuk itu, sebagian investor justru tertarik menanamkan modal dalam bentuk pembelian Surat Utang Negara (SUN) atau Surat Berharga Negara (SBN). Namun, hal ini tidak bisa disebut sebagai investasi namun lebih kepada utang. “Nanti malah pemerintah menambah beban utang dan bunga karena imbal hasilnya kan 7%,” tambah dia.
Sebelumnya, dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi II DPR RI, Badan Otorita melaporkan pihaknya telah menerima 167 surat minat atau letter of interest (LoI) untuk investasi di IKN Nusantara. Kepala Otorita IKN Nusantara, Bambang Susantono, mengatakan dari jumlah tersebut, 50% diantaranya merupakan minat dari dalam negeri atau domestik dan 50% lainnya dari investor asing.
"Kami sedang dalam proses seleksi mana yang sesuai dan serius dalam mengajukan permohonan untuk ikut membangun di IKN," kata Bambang, Senin (3/4).
Pada kesempatan tersebut, Bambang memastikan aktivitas pembangunan fasilitas infrastruktur lain masih berlangsung sesuai dengan jadwal pelaksanaan. Badan Otorita juga mencatat, ada 2 investor nasional baru yang telah mendapatkan letter to proceed atau Surat Izin Prakarsa Proyek (SIPP) dari Otorita IKN (OIKN) untuk membangun hunian Aparat Sipil Negara (ASN) di Nusantara yakni konsorsium PT Perintis Triniti Properti Tbk. (Konsorsium Triniti), dan PT Nindya Karya.
Di mana konsorsium Triniti menanamkan modal Rp1,8 triliun untuk mengerjakan 7 tower dan Nindya mengucurkan investasi Rp1,42 triliun untuk membangun 8 tower.
Lalu sebelumnya, juga ada tiga investor yang mendapatkan SIPP yaitu PT Summarecon Agung Tbk. (Summarecon), Konsorsium Nusantara (RBN CCFG) dan Korean Land and Housing Corporation (KLHC). Para investor tersebut ditargetkan untuk menuntaskan pekerjaannya pada 2024.
Dia menambahkan dengan skema Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), akan ada pembagian risiko antara pihak pemerintah dan investor beserta insentif dan penalti pada pelaksanaannya dalam penyediaan layanan dan atau infrastruktur publik.
“Dipastikan dengan skema KPBU, negara sama sekali tidak dirugikan,” tegasnya.
Momen tidak tepat
Namun demikian, Bhima Yudhistira menyoroti kepindahan ibu kota yang bertepatan dengan momen Pemilihan Umum (Pemilu). Presiden Jokowi sendiri sering menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) atas dasar kondisi kedaruratan. Bisa jadi, Bhima bilang, suatu saat nanti pemerintahan yang baru menggagalkan proyek IKN yang dirintis pada era Jokowi.
“Kan enggak jelas berapa lama proyek ini bisa saja nanti IKN jadi taman bermain atau taman konservasi orangutan ini bisa bermasalah, ini proyek bukan dua tiga tahun ada risiko politik,” jelas Bhima.
Sejauh ini, kata dia, kandidat calon presiden yang ada belum memperjelas kelanjutan proyek IKN di tangan mereka. Padahal, tambah dia, Indonesia masih mempunyai tantangan dalam hal ketidakstabilan kebijakan yang masuk lima besar dalam peringkat kemudahan berusaha/Ease of Doing Business (EoDB). Ranking Indonesia sendiri masih mandek di posisi 73 dalam tiga tahun terakhir.
Pada 2014, Indonesia berada pada posisi di 120. Tapi pada 2018, peringkat kemudahan berusaha atau EoDB Indonesia sempat melonjak dari posisi 91 di tahun sebelumnya menjadi peringkat ke-72. Sayangnya pada 2019 posisi Indonesia sedikit turun ke urutan 73.
“IKN bisa terwujud, tergantung presiden selanjutnya komit atau enggak, karena untuk biayai pembangunan lagi-lagi APBN harus mengucur, ini kan proyek panjang bertahun-tahun,” tutup Tauhid Ahmad.