Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) mengulas pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 2020. Hal ini menjadi topik utama dalam Public Expose: Kalaedoskop Ekonomi Indonesia 2020 pada Senin (21/12) yang dihadiri oleh Komite Sosial Ekonomi KAMI, yaitu Muhammad Said Didu, Erni Sri Hartati, dan Anthony Budiawan.
Deklarator KAMI Muhammad Said Didu menyatakan, perekonomian Indonesia saat ini dalam keadaan yang buruk. Pasalnya pada tahun ini, 45% dari pendapatan negara digunakan untuk membayar hutang.
"Selain itu, mental pengelolaan ekonomi juga bermasalah,” ujarnya dalam acara tersebut.
Menurut Said, korupsi anggaran mungkin saja terjadi, mengingat pada UU Nomor 20 Tahun 2020 berisikan kebebasan pemerintah untuk mengatur APBN. Kalau tidak ada pengendalian yang tetap, dia perkirakan pada 2020, hutang negara akan bertambah Rp1.200 triliun.
Senada dengan itu, peneliti dari Indef Enny Sri Hartati mengatakan, kondisi ekonomi Indonesia tidak dalam kondisi yang baik, dan dapat dilihat dari kondisi ekonomi yang stagnan selama empat tahun terakhir.
“Dari berbagai indikator ekonomi makro yang memburuk, hingga hal teknis seperti sulitnya masyarakat mendapat pekerjaan dalam beberapa tahun terakhir, tax rasio yang berada di bawah 10%, dan suku bunga yang relatif stabil tetapi masih tinggi,” jelasnya.
Lebih lanjut, Enny menyebutkan, hal tersebut sudah terjadi sejak sebelum pandemi. Oleh karena itu, ini menunjukkan bahwa Covid-19 bukan satu-satunya penyebab ekonomi Indonesia memburuk.
“Ada lembaga internasional yang mengapresiasi bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang menangani Covid dengan baik di dunia. Padahal kontraksi yang dialami Indonesia memang lebih kecil dibandingkan negara lain, seperti Singapura dan Malaysia,” tuturnya.
Pemulihan ekonomi Indonesia karena pandemi membutuhkan upaya yang lebih konkret. Apalagi ekonomi Indonesia cenderung tertutup, yang berarti sebagian besar pendapatan ekonomi berasal dari dalam negeri.
“Pendapatan ekonomi berasal dari sektor penopang ekonomi, yaitu konsumsi rumah tangga sebanyak 58% dan investasi sebanyak 32%. Dua komponen tersebut tidak berubah secara signifikan dalam waktu dekat. Untuk itu, pemerintah yang menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 5,4%, jelas itu tidak realistis,” jelasnya.
Apalagi konsumsi rumah tangga sejalan dengan pendapatan rata-rata masyarakat. Sementara itu, pendapatan rata-rata merupakan kunci dari lapangan kerja, dan lapangan kerja merupakan kunci dari adanya investasi.
“Kalau sampai November saja penjualan ritel dan pertumbuhan sektor penopang ekonomi masih negatif, bagaimana mungkin kuartal keempat bisa mencapai target 5%,” katanya.
Enny berkata, untuk memulihkan daya beli sektor rumah tangga, pemerintah perlu melakukan upaya kebijakan untuk menekan jumlah pengangguran dengan cara menciptakan lapangan pekerjaan.
“Apakah dengan Omnibus Law dapat serta merta menghadirkan lapangan kerja? Seandainya pun regulasi ini tepat, setidaknya membutuhkan waktu. Sementara saat ini, ada hal yang harus segera diselesaikan, yaitu menghentikan penularan Covid dan memulihkan ekonomi,” katanya.
Kemudian Enny berharap, ke depannya pemerintah membuat tujuan yang lebih realistis dan membuat kebijakan yang logis. Saat tujuan pemerintah tidak realistis, kemungkinan besar kebijakan yang dilakukan pun tidak tepat sasaran.
Di sisi lain, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021 cenderung stagnan atau bahkan melemah. Selain itu, dunia internasional berpotensi menilai Indonesia gagal dalam mengatasi Covid-19.
“Pemerintah tidak tegas melakukan pembatasan sosial.Ssebagai konsekuensinya beberapa negara asing akan melarang warganya berkunjung ke Indonesia. Jadi, untuk tahun depan sektor pariwisata belum bisa diandalkan untuk pemulihan ekonomi,” katanya.
Anthony juga menyebutkan, APBN tidak akan memberi dampak yang signifikan jika dari sisi konsumsi masyarakat masih sulit. Selama tidak ada peningkatan lapangan pekerjaan, daya beli masyarakat masih bergantung dengan fiskal.
Padahal kalau bantuan fiskal tidak ekspansif, maka daya beli masyarakat cenderung menipis. Di sisi lain, investasi juga masih tertahan karena dalam kondisi seperti ini, dunia usaha cenderung belum melakukan ekspansi.
Penerbitan UU Cipta Kerja cenderung memberikan stimulus untuk melakukan produksi, padahal permasalahannya terletak pada jumlah konsumen yang berkurang.
“Hal yang harus dilakukan pemerintah adalah peningkatan konsumen secara besar-besaran bukan meningkatkan produksi. Prediksi ekonomi yang dilakukan pemerintah selalu meleset,” tukasnya.