close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Warga mencari informasi tentang pendaftaran program Kartu Prakerja gelombang kedua di Jakarta, Senin (20/4/2020). Foto Antara/Aditya Pradana Putra.
icon caption
Warga mencari informasi tentang pendaftaran program Kartu Prakerja gelombang kedua di Jakarta, Senin (20/4/2020). Foto Antara/Aditya Pradana Putra.
Bisnis
Kamis, 23 April 2020 18:43

Kartu Prakerja, lelucon di tengah pandemi Covid-19

Indef menyampaikan tiga kelemahan program Kartu Prakerja.
swipe

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai program Kartu Prakerja yang dijalankan pemerintah saat ini tidak efektif sama sekali dan harus disetop. Indef melayangkan banyak kritik untuk Kartu Prakerja, antara lain ketidaksesuaian dengan situasi ekonomi, program pelatihan yang abal-abal, serta lapangan pekerjaan yang tidak disediakan.

Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan krisis yang terjadi saat ini adalah penurunan daya beli masyarakat karena keterbatasan gerak dan ruang akibat Covid-19.

"Sebaiknya memang disetop model Prakerja seperti yang telah berjalan, karena sama sekali tidak efektif dalam menstimulus perekonomian. Ini daya beli anjlok, malah diberikan pelatihan online," kata Bhima kepada Alinea.id, Kamis (23/4).

Bhima juga menuturkan pelatihan yang diberikan pemerintah untuk pekerja yang terkena PHK tidak efektif. Sebab, yang terkena PHK bukan hanya pekerja dengan usia muda, tetapi juga berusia tua.

Pekerja PHK dengan usia tua ini, ujarnya, tidak semua melek teknologi dan memiliki perangkat canggih untuk mengikuti pelatihan Prakerja secara daring tersebut. Menurutnya, program Kartu Prakerja tersebut sebagai lelucon di tengah krisis.

"Korban PHK juga banyak berusia tua, bagaimana bisa ikut pelatihan online kalau laptop atau smartphone saja ada yang tidak punya. Jadi Kartu Prakerja ini lelucon saja di tengah krisis," ucapnya.

Sebaiknya, kata Bhima, anggaran sebesar Rp20 triliun yang disiapkan pemerintah untuk program Kartu Prakerja dialihkan ke bantuan sosial seperti bantuan langsung tunai (BLT) atau cash transfer untuk menopang kebutuhan dasar masyarakat yang terganggu oleh pandemi.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Kemitraan dan Komunikasi Project Management Office (PMO) Panji Ruky mengatakan Kartu Prakerja tidak diarahkan ke bantuan sosial (bansos) seperti BLT. Ini sesuai dengan sesuai amanat Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2020.

Untuk bansos, katanya, telah lebih dulu diatur dengan program jaring pengaman sosial sebesar Rp415 triliun, dan Kartu Prakerja tersebut hanya 5% dari total nilai bansos yang telah dianggarkan itu.

"Kenapa tidak BLT? Progam itu sudah ada dan anggarannya sudah lebih besar dan Kemensos bisa lebih tepat menjawab. Prakerja ini bantuan sosial juga tapi memang ada yang non tunai karena ini amanat dari Perpres," ujar Panji.

Materi pelatihan abal-abal

Di sisi lain, Bhima juga menilai materi pelatihan yang disediakan program Kartu Prakerja tidak memadai dan harus dievaluasi. Menurut dia, pelatihan yang disediakan oleh pemerintah dengan menggandeng delapan aplikator penyedia jasa pelatihan tersebut mirip dengan konten yang bisa diakses publik secara gratis di berbagai platform digital seperti YouTube dan Instagram. 

"Materi pelatihan harus dievaluasi. Kalau sekadar motivasi atau pengetahuan dasar, banyak di platform yang gratis. Jangankan YouTube, di Instagram juga banyak artis bagikan tutorial make up, chef bertaraf internasional bagikan video memasak secara cuma-cuma, enggak perlu bayar," ujarnya.

Oleh karena itu, dia menyarankan pemerintah untuk mempertajam konten yang akan diberikan. Selain itu, dia menyarankan agar yang diperluas adalah model pelatihan di balai latihan kerja (BLK), namun setelah pandemi usai. 

"Sebaiknya model pelatihan melalui BLK yang diperbesar, ada tatap muka dengan instruktur dan peralatan lengkap. Lulusan BLK juga diterbitkan sertifikat untuk bisa melamar kerja," tuturnya. 

Menjawab tudingan tersebut, Panji Ruky mengatakan, terdapat berbagai jenis pelatihan yang dapat diakses peserta dalam program Prakerja.

Dia pun mengatakan, tak kurang dari 1.500 jenis pelatihan dapat diakses dari delapan platform penyediaan layanan yang telah digandeng pemerintah, dan peserta dapat memilih secara bebas.

Menurutnya, peserta tentu tidak akan memilih pelatihan yang dapat diaksesnya secara gratis di YouTube. 

"Masyarakat saya rasa rasional. Mereka bisa memilah dan memilih, ada standar di program kita, tidak sekadar nonton. Kalau memang ada yang serupa dan gratis masyarakat tentu tidak akan membeli," katanya.

Panji pun menyanggah bahwa pelatihan tersebut memiliki kesamaan dengan konten di YouTube. Menurut Panji, pelatihan yang disediakan di program tersebut memiliki tingkatan yang berbeda-beda, tergantung kebutuhan dari peserta.

"Untuk lulusan SMP dan SMA ada tingkatan tertentu, dan lulusan perguruan tinggi juga ada. Mereka memilih tergantung kebutuhan dan tingkatannya," ujar Panji.

Lapangan pekerjaan tidak disiapkan

Hal lain yang dikritisi Bhima, yakni program Kartu Prakerja saat ini tidak memiliki ukuran yang jelas terkait serapan lulusannya di pasar kerja. Menurutnya, program tersebut telah gagal sejak sebelum dilahirkan.

"Saya tanya ini, 5,6 juta orang peserta Kartu Prakerja mau diserap di mana? Apa nama perusahaan penampungnya? Pemerintah tidak bisa menjawab. Jadi Kartu Prakerja gagal bahkan sebelum dilahirkan kalau caranya begini," tutupnya.

Sementara itu, Asisten Deputi Ketenagakerjaan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) Yulius mengatakan program Kartu Prakerja tidak diarahkan agar lulusannya diserap industri.

Menurutnya, program tersebut dirancang hanya untuk meningkatkan skill dan investasi pemerintah di bidang sumber daya masyarakat. Pasalnya, banyak kebutuhan industri yang belum terpenuhi karena SDM tidak memadai, sehingga masih menggunakan tenaga kerja asing.

"Konsep awalnya, ialah berupaya meningkatkan skill. Masyarakat nantinya bisa memenuhi permintaan industri yang saat ini ada miss match sekitar 50%, biar tidak menggunakan tenaga asing lagi," ujar Yulius.

Dia pun menuturkan serapan tenaga kerja bergantung kepada investasi dan industri yang masuk ke dalam negeri, dan tidak bisa diarahkan dari awal.

"Daya serap tenaga kerja fungsi dari investasi, jadu semakin tinggi Investasi maka daya serapnya semakin tinggi, jadi lapangan kerja ditentukan oleh investasi bukan dari dari pelatihan. Tentunya kalau investasi naik dan kebutuhan tenaga kerjanya naik," ucapnya.

img
Nanda Aria Putra
Reporter
img
Laila Ramdhini
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan