Data inflasi yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setiap bulannya menuai polemik karena dituding tidak valid, seiring mencuatnya kasus manipulasi data di sejumlah pemerintah daerah (pemda). Lembaga penyedia data statistik itu harus independen dalam mengolah data.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menilai, seharusnya masalah data bisa didapatkan secara transparan. Caranya dengan memastikan proses bagaimana data itu didapat, diproses, dan hasilnya.
Selain itu juga perlu satu metode yang sama untuk memproses data yang ada. Dia mengutip istilah dalam dunia komputer, yaitu garbage in-garbage out. Artinya, jika data yang masuk merupakan sampah, maka akan menghasilkan data sampah. Atas dasar ini, data BPS dipertanyakan dan perlu didalami lebih lanjut guna menentukan kesahihannya.
“Sebab kalau tidak, maka hasilnya juga tidak dapat dipercaya dan ini hal yang sangat membuat bingung kita semua karena betapapun data inflasi atau deflasi adalah data penting agar kita mengetahui konsumsi daya beli masyarakat karena memang kita suka bertanya-tanya sepertinya kita bagus mengendalikan inflasi karena angkanya bagus, tapi ternyata daya beli di masyarakat yang turun,” katanya kepada Alinea.id, Senin (7/10).
Menurutnya, data terkait inflasi dan deflasi yang diolah BPS harus independen meskipun ada tekanan dari pemda atau pemerintah pusat. Dengan demikian, data yang dihasilkan valid sehingga kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah bisa tepat sasaran.
"Kalau tidak, seolah-olah ekonomi membaik atau stabil tapi di belakang ternyata tidak seperti itu,” lanjutnya.
Sebelumnya Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan beberapa oknum kepala daerah mengakali angka inflasi agar mendapatkan insentif. Pemerintah pusat melalui Kementerian Keuangan menggelontorkan Dana Insentif Daerah (DID) dengan nominal jumbo mencapai Rp6 miliar hingga Rp10 miliar untuk daerah yang dinilai berhasil mengendalikan inflasi. Dana ini akan diberikan tiga bulan sekali.
Saat acara Anugerah Hari Statistik Nasional 2024 yang disiarkan di Youtube BPS, Jumat (27/9), Tito mengatakan modus paling umum yang dilakukan oleh oknum tersebut adalah mendatangi langsung kantor BPS di wilayahnya dan meminta secara langsung agar data inflasi bisa dikondisikan.
"Modus barunya para kepala daerah ini datang langsung ke kantornya BPS kabupaten/kota masing-masing. Tolong dong bikin angkanya (angka inflasi) kami ini bagus," beber Tito dikutip Senin (7/10).
Atas hal ini, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati meminta pemerintah daerah untuk tidak memanipulasi data inflasi daerah. Meski terjadi namun hanya sedikit daerah yang melakukannya dan data yang dimanipulasi pun sudah dikoreksi.
"Dalam hal ini karena kami memberikan reward jangan sampai reward itu menciptakan suatu sikap atau tindakan yang justru mendistorsi angka inflasi itu," ujarnya saat ditemui di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (4/10).
Angka deflasi dipertanyakan
Isu ini menyebabkan angka deflasi nasional yang dirilis BPS dipertanyakan publik.
Kendati demikian, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan deflasi lima bulan beruntun sejak Mei hingga September 2024 merupakan sinyal kondisi ekonomi tidak baik-baik.
"Deflasi yang terjadi hingga saat ini adalah wujud menuju krisis ekonomi. Mengingat pada tahun 1999, 2008, dan tahun 2000 sempat menunjukan gejala serupa," katanya kepada Alinea.id, Senin (7/10).
Jika data BPS menjadi sorotan lantaran adanya manipulasi data, dia bilang, ada yang salah pada Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). Apalagi, tim tersebut di bawah koordinasi pemerintah pusat seperti Kementerian Koordinator Perekonomian; Bank Indonesia (BI); pemerintah daerah seperti satuan kerja perangkat daerah; Bulog; dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Dus, terjadinya manipulasi data mengindikasikan pengawasan yang kurang ketat.
“Seharusnya ini tidak mungkin terjadi manipulasi data karena TPID di bawah koordinasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, Bulog, dan BUMD. Jika terjadi, artinya monitoring dan evaluasi kurang ketat,” katanya.
Di samping itu, ujarnya, deflasi terjadi karena bank sentral mengurangi jumlah uang beredar dan mengerek tingkat suku bunga acuannya. Kemudian dari sisi permintaan masyarakat, mengalami penurunan.
Untuk itu, kata Esther, pemerintah perlu menurunkan suku bunga, dan menggunakan instrumen moneter lainnya seperti giro wajib minimum untuk menahan agar tak terjadi krisis ekonomi.
Intervensi kebijakan moneter seharusnya tidak hanya fokus pada stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), tetapi juga stabilitas harga. Terlebih stabilitas harga tidak hanya di level nasional, tetapi juga di level daerah karena karakteristik inflasi regional setiap daerah berbeda.
“Untuk mengatasi deflasi harus mengeluarkan kebijakan ekspansif,” jelasnya.