close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi. Foto Pixabay.
icon caption
Ilustrasi. Foto Pixabay.
Bisnis
Selasa, 26 Januari 2021 18:32

Kebijakan inkonsisten, target bauran EBT terancam tak tercapai

Bauran EBT di 2020 hanya mencapai 11,51% atau meleset dari target sebesar 13%.
swipe

Pengembangan Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) di Indonesia mengalami berbagai tantangan. Sepanjang 2020, bauran EBT hanya mencapai 11,51% atau meleset dari target sebesar 13%.

Head Center of Food, Energy and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov menuturkan, progres EBT di Indonesia masih tertinggal dari negara lain. Bahkan secara bauran, masih jauh dari target yang ingin dicapai pemerintah pada 2025, yaitu sebesar 23%.

"Pemerintah harus konsisten, regulasi itu tidak hanya dari sisi penawaran, tapi juga permintaan. Ketika kebijakannya tidak konsisten, EBT jadi tidak menguntungkan dan sulit berkembang," ujar Abra saat dihubungi Alinea.id, Selasa (26/1).

Dia mencontohkan, saat ini pemerintah di satu sisi ingin mengarahkan EBT dengan penggunaan kendaraan listrik. Namun, di sisi lain, listrik yang digunakan untuk mengisi daya kendaraan listrik, masih berasal dari batu bara.

"Inkonsistensinya di situ, dari permintaan didorong seolah EBT, tapi listriknya dari batu bara. Kebijakannya harus konsisten, artinya dari sisi suplai harus EBT seperti biomassa, surya, biogas, dan sebagainya," kata dia.

Abra melanjutkan, apabila pemerintah ingin mengakselerasi EBT, maka pemerintah harus memberikan insentif untuk meningkatkan daya saing EBT. Sebab, saat ini, investasi di bidang EBT masih tergolong mahal dibandingkan dengan batu bara

Insentif yang dimaksud Abra tidak harus berupa insentif fiskal. Menurutnya, insentif non-fiskal seperti konsistensi regulasi perlu dioptimalkan pemerintah.

Selain itu, menurutnya, pemerintah harus mampu memfasilitasi agar suplai EBT bisa terserap oleh pasar domestik. Dia melihat hal ini bisa menjadi salah satu bentuk afirmasi dari pemerintah terhadap investor dan produsen EBT.

Pembiayaan EBT jangan rusak lingkungan

EBT membutuhkan investasi besar, namun hingga kini pembiayaan berkelanjutan di sektor ini masih relatif kecil.

Belum lama ini, sejumlah lembaga keuangan menggelontorkan pembiayaannya ke sektor ini. Salah satunya PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) yang memberikan fasilitas kredit investasi ke anak usaha PT Kencana Energy Lestari Tbk. (KEEN), yaitu PT Bangun Tirta Lestari sebesar US$40 juta atau setara Rp563 miliar (kurs Rp14.086/US$).

Pembiayaan tersebut akan digunakan emiten penyedia energi terbarukan ini, untuk pembiayaan aset eksisting berupa Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Air Putih dengan kapasitas 3x7 MW di Bengkulu.

Mengenai pendanaan perbankan ke sektor EBT ini, Abra melihat hal ini telah diatur oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 51/2017 tentang Keuangan Berkelanjutan. POJK ini meminta perbankan meningkatkan portofolio pembiayaan, investasi, atau penempatan pada instrumen keuangan atau proyek yang sejalan dengan penerapan keuangan berkelanjutan.

Di sisi lain, dengan diwajibkannya pembiayaan berkelanjutan, Abra menilai, perbankan harus melakukan pengawasan terhadap pembiayaan jenis ini. Pasalnya, pembiayaan berkelanjutan juga mencakup perkebunan kelapa sawit dengan program Biodiesel 30% atau B30.

"Misalnya sawit yang nantinya diolah jadi B30 atau biodiesel, pemanfaatan lahannya seperti apa? Sejauh mana lahan yang sudah ada, bukan lahan perluasan, terutama lahan dari area hutan," tuturnya.

Dengan demikian, masuknya perbankan dalam membiayai perkebunan sekaligus juga harus memastikan agar tidak merusak lingkungan yang ada. 

img
Annisa Saumi
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan