Kebijakan penangkapan terukur: Demi nelayan tradisional atau kapal-kapal besar?
Lima tahun lalu, Aziz (33), masih bisa menangkap ikan hanya di kedalaman laut 30 meter. Terkadang, ia juga bisa mendapati ikan di terumbu karang dekat pantai saat air surut. Namun kini, nelayan di Laut Maluku ini semakin sulit menjaring ikan di kedalaman dangkal.
“Sekarang sudah enggak tahu lari kemana ikannya,” kata Perwakilan Kelompok Koperasi Nelayan Usaha Baru, Maluku Tengah itu saat dihubungi Alinea.id, Selasa (1/3).
Sekarang, Aziz mau tak mau harus melayarkan perahu mesinnya ke tengah Laut Maluku dan mengganti tangkapannya dari ikan palagis kecil yang biasa hidup di tepi perairan menjadi ikan tuna, cakalang, atau jenis palagis lainnya. Untuk menangkap ikan-ikan ini pun juga bukan hal mudah lantaran pasokan ikan-ikan itu tak sebanyak beberapa tahun lalu.
“Ada juga kapal-kapal GT (Gross Tonnage) besar dan kapal asing kayak dari Vietnam yang sering datang. Kalau harus berhadapan sama kapal besar, kita jelas kalah,” keluh pria yang sudah melaut sejak lajang hingga kini mempunyai tiga anak itu.
Pemerintah memang terus mendorong upaya penetapan Provinsi Maluku sebagai lumbung ikan nasional. Letaknya yang strategis serta keanekaragaman sumber daya bawah lautnya membuat Laut Maluku dikenal dengan potensi perikanan yang berlimpah.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat potensi perikanan di laut ujung timur Indonesia ini diperkirakan mencapai 3,9 juta ton atau senilai Rp117 triliun. Dengan potensi besar itu, tak jarang kapal-kapal ikan baik lokal maupun asing memilih melaut di Perairan Arafura di Laut Maluku hingga Laut Timor bagian timur.
Sementara data Direktorat Jenderal (Ditjen) Perikanan Tangkap KKP mengungkap, pada 2005 hingga 2008 produksi perikanan tangkap Maluku memang mengalami peningkatan, walaupun bervariasi. Ironisnya, setahun berselang kondisinya berbanding terbalik.
Hampir seluruh jenis ikan di perairan tersebut mengalami kondisi eksploitasi tangkap maksimum (fully exploitated) dan tangkap lebih (over exploited). Akibatnya, produksi perikanan tangkap di sana berkurang hingga 15,44%.
Sayangnya, kondisi ini tidak lantas membuat membuat kapal-kapal ikan besar dari luar Maluku dan asing berhenti datang ke Laut Maluku. Akibatnya eksploitasi sumber daya ikan pun terus berlanjut. Selain ikan di laut dalam, ikan-ikan karang seperti palagis besar dan kecil dan tak jauh dari sisi pantai pun menjadi jarang.
Kondisi serupa juga dirasakan oleh nelayan-nelayan kecil di Perairan Natuna. Potensi besar hasil tangkapan ikan Natuna, kini kian terancam dengan hadirnya kapal-kapal besar luar daerah dan asing, khususnya Cina dan Vietnam yang masih sering berlalu-lalang.
Saat bertemu dengan kapal-kapal besar berbendera asing itu, para nelayan hanya bisa diam. Alasannya, dilaporkan kepada pihak berwajib atau instansi terkait pun percuma saja, karena tidak akan digubris. Selain itu, sikap diam para nelayan juga untuk meminimalkan terjadinya intimidasi oleh kapal-kapal besar tersebut.
Kini, yang ingin dilakukan nelayan-nelayan Natuna adalah untuk dapat menangkap ikan dengan tenang dan tanpa hambatan. Syukur-syukur, mereka dapat mendaratkan hasil perikanan berlimpah dalam sekali berlayar.
“Karena sekarang buat tangkap tuna sirip kuning (yellowfish tuna) pun sudah sulit,” ungkap Ketua Aliansi Nelayan Natuna (ANNA) Henri, saat dihubungi Alinea.id baru-baru ini.
Sebab, saat ini keberadaan ikan tuna sirip kuning yang merupakan salah satu komoditas utama Natuna itu kian menjauh ke tengah laut. Di saat yang sama, ukuran ikan ini pun semakin mengecil, seiring dengan over fishing yang terus berjalan.
Dengan kondisi tersebut, pria yang merupakan kapten kapal atau tekong ini khawatir, jika penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur yang rencananya bakal diterapkan pemerintah bulan ini akan lebih mencekik nelayan-nelayan Natuna.
Kebijakan penangkapan terukur melalui penetapan kuota tangkapan ikan, menurutnya, hanya kedok bagi pemerintah untuk melegalkan segelintir pelaku usaha perikanan skala besar.
“Dengan 80% untuk investor, 20% untuk puluhan juta nelayan tradisional,” ujarnya.
Demi ekonomi biru
Sejak pertengahan tahun lalu, pemerintah memang telah gencar menggembar-gemborkan kebijakan penangkapan ikan terukur untuk mewujudkan ekonomi biru Indonesia. Penangkapan ikan terukur sendiri merupakan kebijakan pemerintah untuk penangkapan ikan berdasarkan kuota dan zonasi. Kebijakan ini juga merupakan satu dari tiga fase utama yang dilakukan pemerintah dalam transformasi tata kelola perikanan nasional.
Dengan kebijakan ini, pemerintah berharap dapat menjaga ekosistem perairan sekaligus juga bisa mendongkrak ekonomi kelautan. Caranya, dengan memaksimalkan potensi perikanan nasional dan terus meningkatkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sumber daya perikanan.
Bagaimana tidak, dengan kebijakan ini Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Sakti Wahyu Trenggono memperkirakan akan terjadi perputaran uang hingga Rp281 triliun per tahun. Selain itu, jika efektif, kebijakan yang rencananya bakal dilakukan Maret ini bakal menyumbang PNBP hingga Rp3 triliun. Jumlah ini jelas lebih besar dari target PNBP sektor kelautan yang sebesar Rp1,6 triliun.
“Ini itung-itungan kami dari sisi perikanan tangkap,” kata Plt. Direktur Perizinan dan Kenelayanan Ditjen Perikanan Tangkap KKP Mochamad Idnilah, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (4/3).
Sementara itu, untuk pertama kali, kebijakan penangkapan ikan terukur akan dilakukan di Laut Arafura, perairan yang terletak di antara Papua dan Australia. Idnilah menjelaskan, Laut Arafura dipilih lantaran perairan tersebut sejak lama sudah menjadi favorit bagi para nelayan hingga perusahaan-perusahaan perikanan besar karena potensi hasil tangkapan ikannya yang sangat besar.
Saat ini saja, di laut yang terletak di Maluku Utara itu telah berlayar sedikitnya 1.700 kapal. Namun, potensi di laut tersebut dinilai masih tersisa cukup banyak. Oleh karena itu, KKP lantas berniat untuk menambah sekitar 3.000 kapal lagi.
Sehingga, saat kebijakan ini mulai berjalan, akan ada sekitar 5.000 kapal ikan di wilayah itu. Dengan ukuran kapal yang bisa mendapatkan izin adalah kapal ukuran besar atau sekitar 100 GT.
“Karena kan WPNRI (Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia) 718 yang meliputi Laut Arafura dan Laut Timor bagian Timur ini ada di Kawasan ZEE (zona ekonomi eksklusif) Indonesia, jadi yang ada di sana adalah kapal-kapal besar,” jelas dia.
Nantinya, secara keseluruhan kebijakan perikanan tangkap akan dilakukan di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPPNRI), yang dibagi ke dalam enam zonasi dengan kuota yang ditawarkan mencapai 5,99 juta ton per tahun. KKP mengklaim, angka ini setengah dari jumlah stok ikan di seluruh perairan Indonesia, yang sebanyak 12,5 juta ton.
Produksi perusahaan penangkapan ikan berdasarkan alat tangkap. (Sumber: Statistik Perusahaan Perikanan 2020, Badan Pusat Statistik)
Jenis Alat Tangkap |
2020 |
Pukat Tarik |
53.601 ton |
Pukat Kantong |
2.090 ton |
Pukat Cincin |
13.741 ton |
Jaring Insang |
12.707 ton |
Jaring Angkat |
67.981 ton |
Pancing |
23.000 ton |
Perangkap |
52 ton |
Lainnya |
14.100 ton |
Sementara itu, selain potensi tangkapan yang super besar, kebijakan perikanan terukur juga dinilai dapat membuka lebih lebar pintu investasi di sektor perikanan. Sebab, untuk melaksanakan kebijakan ini KKP akan membuka kesempatan investasi kepada pengusaha perikanan domestik dan asing melalui sistem lelang. Tidak hanya itu, nantinya pemerintah juga akan membuka kesempatan bagi swasta untuk mengelola pelabuhan.
Keadilan untuk nelayan tradisional
Dihubungi terpisah, Ketua Pelaksana Unit Kerja Menteri KKP Anastasia Rita Tisiana menambahkan, dengan adanya zonasi dalam kebijakan penangkapan ikan terukur, keadilan bagi nelayan-nelayan lokal dapat lebih terjamin. Di saat yang sama, pendaratan ikan tradisional (PIT) juga bisa lebih merata.
“Selama ini distribusi perikanan tangkap masih bersifat Jawa sentris. Banyak dari nelayan Jawa yang melaut di Perairan Maluku kemudian didaratkan di wilayahnya sendiri,” ucapnya, kepada Alinea.id, Kamis (3/3).
Di Jakarta misalnya. Tahun lalu, nilai perikanan tangkap di Jakarta bisa lebih dari Rp1 triliun, dengan total pendaratan ikan mencapai 33 ribu ton. Dari hasil tangkapan tersebut, kebanyakan justru berasal dari WPP (wilayah pengelolaan perikanan) 572 yang meliputi Samudera Hindia, WPP 773 yang meliputi Laut Flores dan Selat Makassar dan WPP 718 yang mencakup Laut Aru, Laut Arafura dan Laut Timor bagian Timur.
“Ini jelas tidak adil untuk nelayan lokal karena mereka akan kehilangan pendapatannya dan bagi daerah 3 WPP tadi, karena dengan itu mereka akan kehilangan pendapatan asli daerah (PAD) mereka,” lanjut Anastasia.
Terlepas dari tujuan mulianya, kebijakan perikanan terukur justru mendapatkan penolakan dari berbagai pihak. Bagi para nelayan, kebijakan ini ditakutkan justru akan membuat mereka semakin termarginalkan.
Saat pemerintah membuka zonasi dan mendatangkan kapal-kapal besar dengan peralatan penangkapan ikan canggih dan berskala besar, nelayan tradisional jelas akan tertinggal. Baik dari sisi peralatan tangkap hingga hasil tangkapan yang akan didaratkan.
“Alat tangkap mereka skalanya besar. Sedangkan kita hanya menggunakan pancing dan jaring. Kapal juga paling besar 10 GT,” kata Ketua Aliansi Nelayan Natuna (ANNA) Henri.
Belum lagi, dengan zonasi nelayan lokal dengan ukuran kapal bertonasi kurang dari 30 GT, hanya diperbolehkan melakukan penangkapan sampai 12 mil. Karena di atas 12 mil sudah merupakan zona penangkapan ikan bagi penangkapan industri.
Padahal, saat melaut, Henri selalu melampaui jarak tersebut. Bahkan, tidak jarang nelayan Henri dan dua anak buah kapalnya (ABK) melaut hingga ke Laut Maluku atau Teluk Tomini di Riau.
“Kami tidak mau, tidak terima jika tangkapan untuk nelayan tradisional dibatasi,” tegasnya.
Di sisi lain, penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur ini juga dinilai akan memuluskan jalan bagi kapal-kapal asing untuk menguasai perairan Indonesia. Sebab, untuk mencapai target PNBP Rp12 triliun di 2024, pemerintah justru membuka kesempatan bagi korporasi perikanan asing untuk ikut ke dalam lelang zonasi WPP.
Belum lagi, saat lolos lelang, kapal-kapal ikan asing atau eks asing akan diberikan kontrak penangkapan ikan hingga 20 tahun lamanya. Meskipun nantinya, kuota tangkapan ikan akan ditentukan lebih lanjut oleh Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) dan mensyaratkan agar kapal-kapal asing tersebut merekrut nelayan lokal sebagai ABK mereka.
“Ini sama saja menjadikan nelayan lokal sebagai buruh. Mereka nangkap ikan di laut mereka sendiri, tapi untuk asing dan uangnya untuk asing,” kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati, saat dihubungi Alinea.id, Rabu (2/3).
Selain itu, alih-alih mencoba menerapkan ekonomi biru melalui penangkapan ikan berkelanjutan, kebijakan dengan masa kontrak 20 tahun ini justru dirasa sebagai salah satu bentuk eksploitasi sumber daya perikanan nasional. Padahal, sampai sekarang tidak ada data jelas yang mendukung pernyataan pemerintah bahwa stok ikan nasional masih sangat banyak.
Sebaliknya, kini para nelayan, utamanya nelayan kecil justru semakin kesulitan untuk mendaratkan ikan dari tepi hingga tengah laut. “Coba bayangkan kalau kemudian mereka memperbarui kontrak 2-3 kali. Akan jadi seperti apa laut kita?” ujarnya.
Di saat yang sama, saat pemerintah membuka kesempatan pengelolaan pelabuhan pada swasta, Susan semakin khawatir, jika nantinya nelayan-nelayan lokal akan semakin sulit untuk mendaratkan hasil tangkapan mereka. Seperti diketahui, pertengahan Februari lalu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengajak para investor untuk bekerja sama di bidang kepelabuhanan, baik konsesi, kerja sama pemanfaatan, persewaan, kontrak manajemen, hingga kerja sama operasi.
Sebab, dengan pengelolaan pelabuhan oleh swasta ini akan menjadikan seluruh wilayah pelabuhan akan berada di bawah aturan perusahaan tertentu. Artinya, baik dari sisi pengelolaan, hingga pendaratan hasil perikanan akan diatur seluruhnya oleh swasta.
“Dan ini kejadian di Pelabuhan Bitung. Itu nelayan mencoba mendaratkan tuna di sana tapi tidak boleh oleh perusahaan yang mengelola. Padahal itu perusahaan besar. Terus juga nelayan yang mau masuk juga dikenai retribusi,” ungkap Susan.
Namun demikian, jika pemerintah tetap kekeuh untuk menerapkan kebijakan ini, Susan berharap agar pemerintah akan lebih memperhatikan kesejahteraan nelayan tradisional. Misalnya, dengan mengembangkan kemampuan para nelayan, sekaligus juga membekali mereka dengan peralatan penangkapan ikan yang lebih maju.
“Karena kalau tidak ada upgrade kemampuan dan alat, nelayan tradisional jelas akan kalah dengan kapal-kapal besar,” katanya.
Di lain kesempatan, Pengamat Ekonomi Kelautan dan Perikanan Suhana mengatakan, jika akan tetap dijalankan kebijakan penangkapan ikan terukur, pemerintah sebaiknya perlu mendorong adanya komunitas pesisir dan nelayan sebelum melaksanakan penerapan kuota penangkapan. Dus, perikanan skala kecil dapat dilakukan secara community-based co-management.
Artinya, hak kelola ada pada komunitas pesisir dan komunitas nelayan. “Dengan konsep seperti ini, nelayan tradisional yang tergabung dalam asosiasi nelayan atau komunitas pesisir bisa menjadi partner pengelolaan di dalam KUB (kelompok usaha bersama),” jelas dia kepada Alinea.id, Kamis (3/3).
Sedangkan nelayan-nelayan besar (Industri) dan asing baiknya didorong untuk di perairan laut lepas. Sebab nelayan dan badan usaha perikanan nasional sangat mampu mengelola sumberdaya ikan yang ada di WPPNRI.
Sementara itu, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Abdi Suhufan mengatakan implementasi penangkapan ikan terukur oleh KKP mestinya sudah menghitung tingkat kesiapan, risiko dan manfaatnya secara ekonomi, sosial dan lingkungan.
Ia mengingatkan pemerintah agar jangan sampai manfaat ekonomi yang didapat melalui PNBP tidak sebanding dengan tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan masifnya penangkapan ikan dengan segala jenis alat tangkap.
Belum lagi munculnya konflik sosial antara nelayan kecil dengan korporasi yang mendapatkan kuota penangkapan ikan. Dengan sistem kuota kontrak, perusahaan penangkapan ikan akan mendapat keistimewaan luar biasa sebab 66,6% kuota sudah dikuasai oleh perusahaan dan bisa tambah sampai 95% dari 5,9 juta ton.
“Sebab kita tahu kondisi koperasi perikanan kita tidak kuat bersaing dengan syarat kontrak yg ditetapkan KKP," tutur Abdi, saat dihubungi Alinea.id, Rabu (23/2) lalu.