close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi konsumsi masyarakat. Foto Freepik.
icon caption
Ilustrasi konsumsi masyarakat. Foto Freepik.
Bisnis - Makro Ekonomi
Kamis, 24 Oktober 2024 19:43

Kebijakan pro-kelas menengah yang harus diterapkan pemerintah

Kelas menengah dianggap sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia.
swipe

Kelas menengah dianggap sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia yang memainkan peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi domestik, investasi, dan inovasi. Diperlukan kebijakan yang pro-kelas menengah untuk menyelamatkan mereka dari kemunduran ekonomi.

Survei terbaru Inventure 2024 menunjukkan 49% dari kelas menengah Indonesia mengalami penurunan daya beli. Jika tidak ditangani secara serius, masalah ini tidak hanya akan merugikan kelompok ini, tetapi juga seluruh perekonomian Indonesia. 

Mengapa kelas menengah penting?

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta  Achmad Nur Hidayat mengatakan kelas menengah Indonesia telah berkembang pesat dalam dua dekade terakhir seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan peningkatan urbanisasi. 

Menurut World Bank, kelas menengah di Indonesia tumbuh dari hanya sekitar 7% dari populasi pada tahun 2002 menjadi lebih dari 20% pada 2022. Kelompok ini motor penggerak konsumsi, yang menyumbang lebih dari 55% terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional.

"Selain itu, kelas menengah adalah pembayar pajak terbesar, sehingga stabilitas ekonomi mereka sangat penting bagi pendapatan negara," kata Achmad, Kamis (24/10).

Namun, kelas menengah mengalami pelemahan akibat sejumlah faktor. Achmad menyebut inflasi, terutama pada sektor pangan dan energi, menjadi salah satu penyebab yang menggerus daya beli kelas menengah. 

Analisisnya, inflasi pangan melonjak lebih dari 10% pada beberapa bulan terakhir tahun 2024, jauh di atas tingkat inflasi umum yang berkisar 5%. "Ini sangat berdampak pada kelas menengah yang sebagian besar pendapatannya digunakan untuk konsumsi kebutuhan pokok," ujarnya.

Faktor lain, kelas menengah, terutama yang tinggal di perkotaan besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, menghadapi kenaikan biaya hidup yang signifikan. Harga properti, biaya pendidikan, serta biaya kesehatan yang terus meningkat membebani kelompok ini.

"Survei Inventure menunjukkan 67% dari kelas menengah merasa kesulitan mengimbangi kenaikan biaya hidup," katanya.

Kemudian, semakin menyempitnya peluang kerja. Ketidakpastian ekonomi global, termasuk dampak dari perang dagang dan perlambatan ekonomi China, telah mengurangi peluang kerja di sektor-sektor formal yang selama ini menjadi sandaran kelas menengah. 

Selain itu, dia bilang, automatisasi dan digitalisasi juga membuat beberapa jenis pekerjaan menjadi usang, menciptakan ketidakpastian pekerjaan bagi kelas menengah yang kurang terampil.

Tak hanya itu, kelas menengah juga dibebani oleh kebijakan perpajakan yang cenderung progresif. "Peningkatan tarif pajak penghasilan pribadi dan kurangnya insentif pajak bagi kelompok ini telah menambah tekanan keuangan mereka," katanya.

Selain faktor eksternal, ada beberapa kebijakan pemerintah yang turut membebani kondisi kelas menengah. Yakni, pengalihan subsidi energi dari kelompok menengah ke kelompok bawah, kebijakan pajak yang tidak inklusif, serta kurangnya dukungan pemerintah terhadap wirausaha kelas menengah.

"Kebijakan pemerintah yang cenderung fokus pada sektor korporasi besar sering kali melupakan kebutuhan UKM (usaha kecil dan menengah). Akses terhadap kredit yang murah dan bantuan teknis sangat terbatas, sehingga menyulitkan mereka untuk bertahan di tengah tekanan ekonomi yang semakin besar," katanya.

Solusi menyelamatkan kelas menengah

Achmad mengatakan pemerintah harus menerapkan kebijakan yang secara khusus dirancang untuk mendukung stabilitas ekonomi kelas menengah. Yakni, perlunya melakukan reformasi pajak yang lebih inklusif bagi kelas menengah. Pengurangan pajak penghasilan bagi yang berpendapatan menengah ke bawah dapat membantu meningkatkan disposable income kelas ini. 

"Insentif pajak untuk biaya pendidikan dan kesehatan juga perlu diperkenalkan guna meringankan beban finansial kelas menengah," lanjutnya.

Lalu, pemerintah harus melakukan pengendalian inflasi, terutama pada kebutuhan pokok seperti pangan dan energi. Menurutnya, cadangan pangan nasional kudu diperkuat guna menstabilkan harga dan memastikan ketersediaan pasokan. Di sisi lain, kebijakan subsidi energi ditinjau kembali agar lebih proporsional dan tidak sepenuhnya dialihkan dari kelompok kelas menengah.

Kebijakan lain, realisasi program peningkatan keterampilan dan pelatihan kerja. Seiring dengan perubahan di pasar tenaga kerja akibat otomatisasi dan digitalisasi, pemerintah harus memperluas program peningkatan keterampilan atau upskilling untuk kelas menengah. Langkah ini dapat dilakukan melalui pelatihan teknis yang relevan dengan kebutuhan industri saat ini, sehingga dapat bersaing di pasar kerja yang semakin kompetitif.

Di samping itu, pemerintah perlu memperkuat dukungan terhadap UKM yang dimiliki oleh kelas menengah. "Akses yang lebih mudah terhadap kredit murah, insentif pajak bagi usaha kecil, serta bantuan teknis dapat membantu UKM bertahan dan berkembang di tengah tantangan ekonomi global," katanya.

Terakhir, kelas menengah juga harus dilibatkan dalam program bantuan sosial. Meskipun bantuan langsung tunai (BLT) umumnya ditujukan untuk kelompok miskin, namun kelas menengah yang terancam jatuh miskin juga perlu diberikan akses terhadap bantuan ini, terutama di masa-masa krisis ekonomi seperti saat pandemi.

"Kelas menengah adalah pilar penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Penurunan daya beli dan meningkatnya jumlah mereka yang terancam jatuh miskin adalah ancaman serius bagi perekonomian nasional," tuturnya.

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bustanul Arifin mengatakan selama lima tahun terakhir, masyarakat kelas menengah mengalami penurunan sebesar 9,48 juta orang atau turun sebanyak 16,5%. Penurunan tersebut berdampak negatif terhadap ekonomi Indonesia, karena kelas ini berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi, tata kelola, dan reformasi kebijakan.

"Penurunan ini berkaitan dengan transformasi struktural dari sektor pertanian ke manufaktur, yang kontribusinya terhadap PDB terus menurun sejak 1995," ujar Bustanul dalam paparannya terkait 'Menggapai Dekade Ekonomi yang Hilang: Penurunan Kelas Menengah dan Strategi ke Depan', dikutip Kamis (24/10).

Menurutnya, pemerintah harus melakukan kebijakan untuk mendukung kelas menengah dengan melakukan transformasi sistem pangan dan pertanian guna memperkuat industrialisasi, meningkatkan nilai tambah, dan menciptakan lapangan kerja baru.

"Fondasi ekonomi lebih kuat, kelas menengah lebih agile tangguh," ujar Bustanul.

Kemudian, menerapkan strategi industrialisasi, dari pertanian dan perdesaan, modernisasi industri, digitalisasi, basis pengetahuan, pemanfaatan big data, kecerdasan tiruan atau AI, hingga penguatan ekonomi daerah, dukungan riset dan pengembangan, serta ekosistem inovasi; peningkatan insentif untuk ekonomi kreatif, budaya kreatif dan pencarian dan penemuan pasar baru, kemitraan usaha besar, kecil dan menengah inklusif; serta reformasi sistem pendidikan, baik dasar hingga menengah dan tinggi, sinergi peningkatan kapasitas, pengembangan sumber daya manusia (SDM), serta modal sosial (trust) dalam masyarakat.

img
Satriani Ari Wulan
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan